Nurel Javissyarqi
(kupasan keempat dari paragraf kedua, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Kini marilah mengudar pahamnya Jean-Paul
Sartre, “Man is condemned to be free” (Manusia dikutuk untuk bebas), yang saya benturkan dengan kalimat bernada kentir, “Man is blessed to be free” (Manusia diberkahi untuk bebas)?
Ini bukan hendak mensejajarkan pendapat SCB! Hanya pengertian bahwa “puisi adalah
alibi kata-kata” memang selembek gudir yang tidak
banyak keluarkan tenaga, yang bisa dicuik
pakai sendok atau langsung disikat dengan jemari saja. Sosok Sartre terpaksa menyadari ‘dirinya’ dilahirkan
sebagai insan
sekondisional pada keterpaksaan Nabi Adam AS yang diturunkan ke bumi bersama Siti Hawa. Kutukan
tersebut dipahaminya sebagaimana manusia yang
menjelajah mencari obat, lewat menyusuri semak berduri pertaubatan yang selalu diuji dalam segenap tingkap situasi yang melingkupi.
‘Orang-orang yang terkutuk’ sadar akan kedudukannya
dalam menafaskan aura kesejatian, sedari awal
lawatannya ke tangga keinsafan. Mereka pahami ujung perjalanan, oleh sebabnya
mencari pelbagai kemungkinan untuk diuji coba pada tingkatan
tertentu yang
dipegangnya kuat, ataukah dilepaskan demi rahmat memurnikan eksistensinya.
Kegelisahannya sungguh liar menjajaki
rerimbunan
kasus yang menghadang,
apakah absurditas Albert Camus? Sehingga tercapailah kata
sepakat dengan mengeruk
perolehan hayat, yakni “imajinasi
merupakan kesadaran” dengan bukti ampuh
pada kitab tebalnya “The Psychology of Imagination.” Yang menampilkan pencapaiannya membumikan semakhluk terkutuk yang kudu disyukuri, dan menggapai yang menjadi takdirnya di muka bumi. Bukannya ‘merayakan kutukan’ dengan mengumbar senang tanpa perolehan wajar atau di dalam kebebasannya sampai
kebablasan di dalam menentukan tafsiran pada lelembaran kehidupan.
Ini bisa dibilang lem perekat kupasan
dari paragraf IK yang pertama dan kedua. IK mengganti kata ‘bebas’ SCB dengan ‘terobos,’ dapat diwakilkan sebagai kutukan yang wajib
dipelajari. Jauh dari perayaan atau bukan parade ugal-ugalan sampai bebas dari
beban makna. Tapi mencanangkan terobosan serupa kekaryaan Sartre men-jlentrek-kan (mengurai) imaji menuju ambang batas.
Dan
keuletannya dalam mengidentifikasi imaji demi kesadaran hidup terikat realitas atau tradisi, bukan asal bunyi yang ke-ngawur-annya dimaknai pencapaian? Sementara dinaya tarik para kritikus dengan karya yang tidak sudi dimaknai ialah fenomena lucu. Pun manakala ada tafsiran
karyanya (-SCB) dianggap kurang tepat, dibilangnya kritikus asal nyanyi? Ini kan aneh, jika tak
mau
dikata suka menangnya
sendiri di
atas ajimat kata ‘bebas.’
Kutukan terus menggali tanah-tanah pekuburan warisan nenek moyang, bukannya menerbangkan bakat dengan bersuka-ria terlepas kecurigaan pada lingkungan, juga memaklumatkan tekat menghabisi bentukan
dangkal atau pendangkalan dari fitroh insani. Belajar memahami setiap tapak dan bukan sekesan
warna, tapi mengudar gagasan ke tahapan akli (akal), yang tidak hanya menafsirkan lokalitas pun mengembangkan dinaya pencapaian, dikala meleburkan jiwa-raga serupa materi-materi penganalisaan
menuju jenjang nyata. Pribadinya tidak berleha-leha menikmati topangan di atas pelabelan yang memperkuat
langkahnya. Tapi memaksimalkan indra penyerap serta menampung
seluruh kemungkinan, yang pada
gilirannya melahirkan wacana lebih menantang, bukan sekadar kesan di sebuah alam puitik. Pun penghargaan yang dihayati, tidak mengalami kemerosotan dari hari lalu atau mengamini yang ada dari pengadaan
semu!
Perolehan dari isyarat tidaklah menghadiahi kesegaran, meski berharap gumpalan kegembiraan. Adalah patut
disuarakan bahwa
‘tanpa usaha keras, kebahagiaan tidak akan meningkatkan
drajad, seperti perasaan puas itu memandulkan realitas.’ Manakala ‘diberkahi’ bebas, maka hanya memanfaatkan jalan-jalan warisan, meski menampilkan ‘sidik jari’ lain, yang hakikatnya beraneh-aneh demi membebaskan hasratnya beralibi. Walau tampilannya berbeda, sejatinya hanya pengulangan, lebih parah ketumpulan tidak mengurai
gagasannya. Maka bukanlah konsep, tetapi kesan yang dibalut
kalimat-kalimat mengkilat, dan mereka yang terpesona lantaran tidak mencurigai suara-suara
pendukungnya, seperti orang takjub pada patung besar di tengah kota yang melupa
orang-orangan sawah.
Yang merasa ‘diberkahi’ mengira dinaungi keberuntungan dari
coba-coba, ianya
mematenkan kesan dan tidak
ada keberanian menerobos tanggul ke arus sungai kearifan demi sesama atau tidak meningkatkan ke jenjang pemikiran nun jauh. Ini bertolak
dari gerak hayati yang selalu memperbaharui cakrawala kesadarannya -berbudaya. Parahnya kesan yang ditancapkan kuat-kuat oleh para generasi setelahnya -terpesona tidak kalah ampuh, tetapi tetap dari jiwa keragu-raguan yang tidak mengaduk nilai-nilai
masa silam. Namun ditutup-tutupi, tersebab para pendahulunya juga mengaburkan tapakan jejak lewat keniscayaan semu (baca “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” SCB, lantas simaklah esainya Sihar Ramses Simatupang pada Harian
Sinar Harapan yang berjudul “Indonesia, Puisi, dan Teks Sejarah” 20 Agustus
2011).
Betapa menyebut kejadian Sumpah
Pemuda, lagu Indonesia Raya, Pancasila dan UUD 45, dengan menghapuskan nama-nama besar di sekitar peristiwanya; M. Yamin, Bung Karno, Bung Hatta,
W.R. Supratman serta para insan yang benar-benar andil dalam pergolakan. Mereka juga pengarang yang gema suara gagasannya telah membumi, dibandingkan ungkapan nan menyepadani jejak-jejaknya yang
terbaca demi kemauan
sempit, agar dunia susastra dianggap
bermartabat di hadapan masyarakat luas, namun mencabut
batang pohon tanpa akarnya.
Melupa orang-orang penting sebab
merasa profesi yang melekati
dirinya lebih penting, terus terjun bebas seperti pulung ‘berkah’ yang sejatinya bukan apa-apa. Karena tidak menginsafi
kejatuhannya sebagai “manusia dikutuk untuk bebas” yang mematangkan sekeliling realitas. Maka jadilah sulapan, akrobatik mencopet atau sejenis keahlian jemari. Padahal mereka juga saksi sejarah, tetapi begitu rupa meloloskan dirinya menjadi
yang paling berjasa. Baca, Bung Tomo membaca sajak di TIM yang direkam jejaknya oleh tempointeraktif,
03 September 1977. Maka seyogyanya para generasi setelah benih tersebut, akar kebangsaan disebar dan dirawat, tidak dihapus meski berbalutan nada-nada memesona. Senada unen-unen; “bangsa yang besar, mampu menghargai jasa-jasa para
pahlawannya” yang tidak malah
menjadi pahlawan kesiangan, lewat alibi-alibi memukau mereka yang terkena imbas dari sihir
media massa.
***
Sebagai penutup saya urai sedikit
alibinya SCB dari Kredo Puisi-nya, dengan tautan
alur “antara gerak
dan pengertian.” Gerak ialah perpindahan tempat pergeseran letak pun
mengalami getaran yang melahirkan
nafas pengertian. Pada benda mati seperti batu beserta namanya, tiada peroleh sebutan jika tak
ada yang menyatakan. Pemberian titel merupakan gerak dari
luar, atas
pemikiran seorang atau pun kelompok masyarakat. Batu beserta namanya tidak berpengertian, kalau yang menyebut tidak meresapi manfaat nan menyatakan. Batu, pisau, tidak bermakna kalau sebelumnya tidak memberi (mengetahui) fungsinya. Hadirnya pengertian, sebab telah tertanam kenangan pada benda beserta namanya. Sebutan batu, pisau bersama barangnya, tidak punya arti (makna), dikala tidak mendapati gerakan (sebutan) dari luar (insan yang menyatakan itu bersimpan kenangan).
Benda yang ditambahkan namanya tiada pengertian atau tidak berfungsi di wilayah kebebasan, kecuali ngawur. Bagaimana
berpengertian, jika yang menyebut tidak punya kenangan atau pengalaman
darinya? Seperti kata dan benda tidak (belum) berfungsi, dia hadir dalam bentuk tidak (belum) berpengertian. Seperti itu kosong serta bebas
dimasuki, juga dapat menghadirkan pengertian anyar. Saat berbalik membaca maksud benda dan namanya dengan pengertian, maka keliru, tersebab maknanya hadir lantaran dari danau kenangan
manusia
pada apa yang
dinyatakan. Maka
mari amati ungkapan SCB:
“Kalau diumpamakan dengan kursi, kata
adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan
pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau
menikam.”
“Dalam kesehari-harian kata cenderung
dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai
pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka
sebagai pengertian.”
“Kata-kata harus bebas dari penjajahan
pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.”
Kata (sebutan, titel, namanya) beserta
bendanya; apakah pisau, kursi, batu, tidak berpengertian, jika tidak punya
kenangan pada benda itu bersama namanya. Ini lumrah, hukum saklek menimpai benda dan namanya. Pengertian ada, dikala menggapai fungsi nama bersama barangnya,
pula mengalami pergeseran yang menimbulkan makna (baru?). Sejauh-jauhnya SCB
membebaskan kata dari makna, tetaplah terkenang hal-hal sebelumnya yang tetap menghadirkan kata ‘memotong atau menikam’ pada kata ‘pisau.’ Sekurang-kurangnya mendekati pengertian asal dari fungsi barang yang dikatakan. Meski
sebilah sabit dipajang di dinding ruang tamu yang keluar dari fungsinya, tetaplah sabit mempunyai pengertian selain alat untuk memenggal kayu,
misalkan. Pengertian hadir akan dibarengi rekaman se-durung-nya, meski berpindah fungsi menjadi hiasan, dan
tetaplah arit (sabit) hadir dengan pengertian, karena insan (bersimpan kenangan) menyebut
benda dengan namanya. Intinya, tidak akan lahir pengertian, kalau
tidak memiliki kenangan atau sejarah. Tanpa kenangan hanyalah sulapan, lebih
tepatnya mencopet!
Sebagai jawaban lain atas alibinya SCB, bisa simak ulang bagian III dan penutup pada kandungan buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” di
halaman 79 yang berlabel “Akhirnya.”
5 September 2011 / 8 Juli 2015 / 13
November 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.