Jumat, 06 Januari 2012

Bagian 14: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

Nurel Javissyarqi





















Sutardji Calzoum Bachri



















































Catatan ini banyak menyerupai kata pengantar, yakni tidak-lebih betapa sulit memasuki abad-abad sebelum masehi. Pun perangai kejiwaan, tepatnya ruh dalam diri betapa berpengaruh besar sewaktu menuliskannya. Mungkin pembaca tidak menyangka, bahwa setiap kata-kata yang tertuang tersebut berimbas di sekitarnya. Kala mengungkap kata alibi di bagian lalu, kejadian yang menyerupai pula muncul. Dan ketika terjerumus ke masa lampau di dalam kekinian, serasa kalbu terdekat itu menjauh serupa resiko yang harus ditanggung.

Kondisi sekarang lebih parah, sehingga harus mengambil ruhnya sementara, lantas saya ganti ruh dirinya daripada milik saya dengan kesementaraan pula. Agar paham betapa jalan di alas tali keseimbangan amat ngeri. Di samping beban berat juga waswas hawatir kan tergelincir yang pasti menentukan lajunya tulisan.

IV
Sampailah ruh
yang saya pinjam memasuki pedalaman suku Manggarai. Orang-orang di daerah ini menyebut pulau Nuca Nepa dengan perkataan Nuca Nepa Lale atau Pulau Ular yang Indah. Melalui lelangkah kaki asing, karena ruh tersebut belum terbiasa menjelajah. Namun atas pesona keayuannya lekaslah sampai, bertemu dengan kepala suku yang menuturkan legenda mengenai pulau ini dinamai Nuca Nepa Lale, serta kenapa orang Ngada dan Ende menyebut Nusa Nipa. Juga hikayat pada suku Larantuka, yang menuliskan Nuha Ula Bungan yang maknanya Pulau Ular yang Suci.

Ia (ruh pinjaman) banyak menimba pengetahuan dari mereka, rahasia ungkapan sakral sebagai penentu denyutan alam sekitar, dan misteri lain yang menyelubungi takdir manusia. Seibarat gunung terselumuti ketinggian kabut, cahaya kesadaran prosesi perubahan kan mematangkan jenjang usia pemikiran. Lewat penerbangan berbeda ruh membaca, sementara kaki-kakinya masih menginjak tanah, melincah gemulai membawa berita. Menembus pekabutan menyusupi lelapisan cahaya rasa nan suara makna. Untaian rambutnya tak lagi panjang selepas dipangkas, sebagai syarat memasuki napas suku Manggarai. Ini mempermudah saya menyusuri padanan daun-daun juga bebatuan kerikil bergetar oleh perangainya.

Ahai, ia akrab mengisi raga saya dan padanya ruh saya dirasai. Dengan lesatan seperti burung terbang tercepat yang belum pernah ada manusia menyaksikannya. Ruh berpindah-pindah dari Gunung Ranaka, lantas mencapai ubun-ubun Mandosaawu, dilanjutkan ke puncak Inerie. Menjamahlah kelembutan alam Ruteng, kesuburan pegunungan Ambulembo. Sampai di Pulau Sumba dengan napas santun menggapai suara Gunung Wanggameti, yang merdu desiran anginnya.

Keheningan khusyuk melagukan dendang keceriahan menemukan kepemudaan segar, serasa terlahir kembali; alisnya melengkuk tebal menandai setiap perjalanan bagi tafsiran hukum alam. Pipinya sintal senyuman menawan bagi sedekah untuk yang menyaksikan. Hidung tidaklah mancung menambah sedap dipandang, yang bibirnya aduhai isyarat pengetahuannya telah tanak menyeluruh ke bagian tak terjamah, yang diapungkan rahmat merindu balasan. Janggutnya menyeimbangkan seluruh air muka mengharuskan wibawa turut serta, kala kedipan matanya memudahkan segenap yang diingini. Dan satu andeng-andeng menikam kata-kata mengejawantah.

Dengan perangai itu kedirian ruhnya meneruskan kembara menuju Gunung Anajeke, memetik peputik kembang bersenda ria dengan kupu-kupu ribuan warna. Tanah subur memercikkan lumpur ke pakaiannya dibiarkan, mungkin amat bahagia. Tiada terasa sampai Gunung Iwing, dilanjutkan ke Kabaau, tidak luput ke Pahulubandil. Tiap detakan langkah, jantung blingsatan, mukanya kemerah jambu matang. Sementara ruh saya yang dirasai
nya tenang menyelidik apa gerangan yang dipikir, saat cerita ini melaju khusyuk. Senada irama bercampurnya pasangan, yang timbul-tenggelam di kedalaman lama kerahasiaan alam.

Babakan berlanjut menghirup napas menghimpung segenap pengalaman memasuki panca indra
nya dijadikan perolehan kekayaan. Pengetahuan yang kelak tidak habis dipunggah untuk puisi-puisinya mendatang. Ruh bersama jasadnya terbang ke Pulau Timor, mendaki Gunung Mutis diiringan bayu sedenyar gending-gending Jawa mengalungi lembah-lembah. Ia teringat masa kecilnya di kampung halaman bermain jaratan, dakon, serta nyanyian yang disyiarkan Kanjeng Sunan Kalijogo; ler iler.

Wewaktu dilipat-lipat diudar setali kalbu kayungyung berat. Sebab apalah saya tanpa kebesaran hatinya yang merelakan dengan tidak menyebutkan namanya, atau saya sangat segan menyapa. Senandung ini seberkas cahaya menggelinjak menemui Gunung Nefomat. Tidak lama, kaki-kaki gemulainya atas ruh pesonakan mata serta telinga ke punggung Kekneno, sebelum ke batas Wehaf dan Gunung Timau yang anggun.

Sedurung ke Pulau Alor
, entah reaksi apa percampuran ini atau perpindahan beransur cepat. Bolak-balik berkelembutan tidak tampak oleh mata, memberi efek berlimpah tak terdetak sebelumnya. Jika memakai kata gentayangan, tetap fokus merajalela sekuat tanda berbaur memberkah. Rasanya diruapi ketinggian agung memendarkan lapisan nikmat pada sel-sel darah, berdenyut kencang sekaligus pelan tak terbantah. Mengikuti sepyuran bebintik air suci menuangkan senjakala, yang terlihat mulai temaram di ujung sana.

Sebelum berhenti di tenggang masa yang masih bergelayut dalam selubung ruang-waktu demi maujud bagian nol ini. Pulau Alor sebagai titik tolak ruh menyimak denyutan air sungai-sungai menghidupkan kepulauan keramat Nuca Nepa. Ruh saya pinjam beranjak ke Gunung Muna, merasai
kelembutan yang bersentuh lelapisan mega atau malam diterangi rembulan juga kunang-kunang menghiasi padang dataran.

Langkahnya pelan kelelahan, bau keringat nikmat dijilati angin tipis dataran tinggi, setepatan masa takdir menuntunnya berkeadaan bijak. Sebajik nilai-nilai utama diperdengarkan orang mulia yang ditemuinya di jalan kembara. Dengan kesadaran imbang, kepakan sayap-sayap nalurinya menciumi Gunung Apengmana serta Blikmana. Sebelum menghentikan lawatannya paling ganjil, tapi genap makna pada Gunung Fokala.
***

V
Hikayat lain menyebutkan kalau raganya tetap berada di ketinggian Gunung Ranaka, sementara ruhnya senantiasa mengembara separas di puncak kegilaan. Jari-jemarinya menuangkan apa saja yang didengar telinga, dan pandangan batinnya berdecak dalam. Dapat disebut banyak versi mengenai lawatannya, ada yang mengatakan di muara Sungai Aisesa. Begitulah legenda menutupi kekurangajarannya lewat misteri nan membalut sempurna menggumuli alam dikandugnya. Pada muara Aisesa, ia pelajari masa-masa memantul-mantulkan cahaya surya, seumpama hati terpaut dedaunan pagi yang memelanting embun kelembutan belia. Betapa jujurnya waktu memberi bacaan membening, hingga hijab semesta terbuka mewah merestui indra kesaksian.

Ruh terus membaca alam menyimak nyanyiannya di arus Sungai Reo. Ia diajarkan memperteguh hati-pikiran
nya menyikapi bebatuan terjal terpukul kesungguhan sedari kelembutan. Kepatuhan hukum alam membuka lembar-lembar kitab menyelidiki ayatnya pada birunya langit nan membentang. Desiran bayu, cecabang pepohonan lentur mencium kening permukaan sungai. Peputik kembang berjatuhan mengikuti arus, dan suara-suara hewan liar menambah derajad kesaksian. Ketakjuban melekati batin mempertebal keyakinan bertumpuk setinggi tapakan ruh mengejawantah ke seluruh yang dirasakannya. Dan perasaan syukur meningkatkan pemahaman perdalam penyelidikan, menguras rasa memakmurkan jiwa kesejatian.

Manakala
setibanya di Sungai Moke, berjalan cepat di muka air berselancar seimbangkan gravitasi ondakan angin. Firasatnya cemerlang mengedarkan cabang-cabang isyarat yang diberikan padanya. Waktu dilewati berkemantaban tiada sedikit pun tercecer, bagaikan santapan lezat ruhani yang terus dahaga diserang kehausan rindu mendera. Kangennya pada alamat-alamat ceruk terdalam, celah daun sorotan cahaya, dan ruang tempat penyadaran dikala semua digerakkan. Maka tak sekadar pesona yang diperoleh, juga martabat sedari tirakat di atas tabaruknya pada keseluruhan hidup yang menghidupkan.

Teringat dirinya, kelembutan Sungai Leo Ria nan pernah berpapasan gadis-gadis ayu sama dengannya. Menikmati untaian tubuh dalam tarian syukur kehadirat Yang Kuasa, pemberi berkah panen berlimpah. Sampai ke Sungai Jamal, ia mengunci diri merasai dingin menggigil oleh kesaksian, meringkuk di bawah pohon merimbun. Setingkat pulung kapujanggaan menimpanya, pencerahan mengisi sekujur ruh berhawa batin menyejukkan sukma. Makna-makna bersusulan menghampirinya, mempermudah penalaran meneliti hayati sedari keuletan menghayati tetingkap nyawa. Semua di luar jangkauan, hanya ketulusan pemampu memerdekakan ruh di ambang batas tak terkira yang masih dalam lingkup kuasa Pencipta. Lalu senyala perintah mengulangi lawatannya ke Pulau Sumba, mungkin hanya ingatannya yang dilayarkan ke sana.

Di muara Kambaniru dari kelokan memanjang, ia diberi penghormatan
oleh para penduduknya dengan menampilkan tari-tarian Kandingangu, upacara adat demi memohon kehadiran Pencipta alam semesta. Tak dilupakan kebiasaannya di bencah Jawa mengampuh,’ menjumput tanah lalu dikunyah demi restu moyang merambahi partikel pribadinya menuju warna alami, yang sisa tanahnya diambil sedari mulut untuk diusapkan di keningnya, dan selepas itu terpancarlah cahaya ke sekitanya. Mereka terus menarikan tarian Yappa Iya yang cekatan menggambarkan masyarakat Mbarambanja menangkap ikan, dan sebagai penutup dengan tarian Hedung Buhu Lelu sedari kampung Lembata. Ini mengisahkan betapa sangat erat kekerabatan mereka, kala menghaluskan larikan kapas dipisah dari bebijiannya. Para gadis menerbangkan sampurnya yang berwarna-warni menandakan kemakmuran tanah pertiwi.


















Atlantis, The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization, 2005)
























































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.