Nurel Javissyarqi
(kupasan pertama dari paragraf awal, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Malam ini 16 Juni 2011 bertepatan
gerhana bulan total, saya lanjutkan seirama berpulangnya kegelapan, dan udara
dingin pelahan menjulurkan hawa kehangatan, seturut kemauan besar menulis. Alam
memberi kesaksian dari kesilapan menemui ke-juntrung-an (kejelasan), bersila di kepunden kesadaran, titik terang sepertiga
malam. Ini takkan balik seperti usia menyobek
kalender nyawa, daun-daun gugur berkiblat hukum alam, yang dimaui rebah memeluk kepurnaan. Bukan langkah kemendadakan, namun hitungan
mencapai keyakinan. Semuanya patut dikaji ulang sebelum dihidangkan kepada anak-anak
jaman,
yang diluruskan setegas keris keluar warangka.
Mari simak ketidaksesuaian saya atas
kupasan Ignas Kleden (IK), yang saya tempuh dalam tiap paragraf esainya dengan
penalaran imbang, tidak dibuat-buat atau penyesuaian yang
sejatinya mengsle dari yang seharusnya diletakkan. Saya sangat faham IK di sana
dalam momentum penghormatan yang diyakini atau diperjuangkan SCB, maka terlihat
kurang obyektif tafsirannya pada capaian penyair. Jangan-jangan bola mata saya kesemutan,
tetapi kini tidak atau sebenar goyangan air laut demi mencapai keseimbangan
derajad gravitasi nan dirindukan. Memeluk segenap pengertian berdecak kagum
penuh kasih perdamaian, sebening sayang dicurahkan bagi kaum merawat dinaya kreasinya, sewujud peribadatan di dalam hidup yang menghidupkan.
***
Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum
Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan
menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi
bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi
konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. (IK)
Kata ‘menerobos’ yang diulang-ulang, tidak lebih usaha keras IK mengaburkan pemahaman, membuat buyar pelahan-lahan di
atas tatanan konsep SCB yang disesuaikan pola IK dalam pijakannya berfikir kali
itu. Dan upaya menekan (meyakinkan) pembaca bahwa kata ‘mem-bebaskan’ sama dengan ‘menerobos.’ Ini awal pembelokan manis bagi pembaca sastra nan sungguh menghipnosis.
Kalau yang bilang bukan IK tentu ada tuntutan, karena yang berkata-kata Dr.
Ignas Kleden, siapa yang berani? Awal
ketidaktepatan sungguh fatal untuk kupasan lanjut, dapatlah dibacakan mengsle
menduduki faham SCB sedengkul IK. Semisal menempatkan niat keliru, maka
tindak-tanduknya bisa batal tidak ketulungan. Istilah saya, IK mainnya licik-licikan dekat pengibulan yang menyandarkan sesuatu tidak pada tempatnya, njomplang.
Saya suka memperhatikan kejiwaan para penulis nan cerdik pandai dalam karyanya, dari sana bisa belajar agar tidak tertipu dinaya pukaunya. Seperti kata ‘otentik’ di ujung paragrafnya, yang memantulkan sekian cahaya yang membuat para penyimak
mengimani bahwa capaiannya lurus, di balik mengaburkan pengadaan sebelumnya.
Sungguh ini titik kulminasi indah sepengenceran otak, maka saya mengacungkan jempol, bahasa Dora (tokoh kartun) ‘berhasil-berhasil’ katanya dalam hati.
Kata-kata ‘menerobos, dan percobaan melakukan dekonstruksi’ ialah adanya waswas kalau suatu waktu tersangkal. Maka dipakailah kata ‘percobaan,’ agar jikalau jatuh tidak sampai mematikan. Bentukan ini
kian paten disokong titel juga ketakjuban pembaca atas dirinya, maka komplitlah
menggunakan kata ‘otentik.’ Kata-kata ‘percobaan melakukan’ pun terlihat di tepi jurang, jika beruntung amanlah, tetapi
sayang kini tidak!
Tafsiran lain bermakna sama kata-kata ‘menerobos’ dan ‘percobaan melakukan dekonstruksi’ ialah demi mewakili kata ‘(mem)bebaskan’ dari kredonya SCB. Di sini terketahui, betapa
tahap-tahap penalaran IK sangat tertata rapi dan jelas, serupa tetumpukan bebatuan
candi demi ukiran kejayaan mendatang. Namun sayang sudah miring, olehnya mudah
ambruk karena tidak berangkat dari ‘kejujuran.’ Saya teringat makolah di buku Ujaran-Ujaran
Hidup Sang Pujangga (2004), halaman 168-169; “Penipuan di dalam penelitian sering muncul,
sebab ketidakjujuran serta oleh kebodohan pengamatan.” “Maka kebodohan sama
jenisnya dengan ketidakjujuran, hanya saja kerjanya yang berbeda.”
Dan kalimat ‘memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang
lebih otentik melalui puisi’ adalah usaha keras IK memelintir
kredo SCB yang telanjang, ditutup-tutupi sehingga pembaca silap bergesar dari
tempat duduk kesadarannya; yang mulanya dipersilahkan Sutardji untuk ditelan bebas tanpa makna.
Memang paragraf awal Ignas Kleden tampan seolah tidak bisa dicacat di atas perbendaharaan pengetahuan yang dimiliki, tetapi
betapa cantiknya konstruksi bahasanya -nyata polesan, dempulan dari kekeroposan
kerangka konsep awal mantranya SCB. Maka bersiaplah para pengamat susastra berpaling
untuk bertaubat darinya, karena tulisan ini bersedia diuji, ditertanggungjawabkan di mana pun dan di laboratorium apa saja yang memihak kebenaran ilmu
pengetahuan.
Dapat saja pihak IK ales (menghidar), bahwa yang dipakai benar-benar kata dengan makna ‘menerobos,’ dan bukannya ‘(mem)bebaskan’ sedari kredonya SCB. Tapi sabar dulu, di bagian akhir nanti dapat dipastikan ketahuan bagaimana IK menggonta-ganti kata, sebab perasaan
hormat kepada Sutardji, seminimal malam itu di TIM, 19 Juli 2007. Untuk sementara di sini ketahuan seperti apa
mematenkan kata ‘menerobos’ dengan pengulangan yang meyakinkan, tetapi fatal akibatnya. Karena Sutardji
pun menggapai dengan kata ‘penjajahan’ yang diulang-ulang; “Dalam puisi saya, saya bebaskan
kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan
lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan
dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.”
Tidakkah senandung di sana terlihat
betapa kuat IK menyeiramakan musik Sutardji atas langgam dirinya, sampai berasa
halus memikat nan melenakan pembaca hingga terbius olehnya. Atau bisa saja sekelas
IK bersuka-ria, “Itukan tafsiran saya, dan anda boleh
memaknainya lain.” Maka saya lanjutkan bersama pagi nan ceriah kini, dengan sambutan angin tropis yang menyedapkan
nalar kalbu pembaca. Memang kata ‘menerobos’ sangat berdekatan dengan kata ‘pembebasan’ dari ‘penjajahan,’ namun jika ingin perolah saripatinya, seharusnya tetap memegang
keasliannya. Itulah yang dinamai sikap terbuka, berwatak jantan mengetengahkan secara obyektif atau tidak mengada-ada.
Contoh, “Seekor burung menerobos
sangkarnya atau seekor burung membebaskan diri dari sangkarnya,” ini nilainya hampir sama, tapi pada kasus tertentu tidak bisa
disamaratakan, apalagi bertumpu pada yang namanya kredo. Misal, “Para tahanan menerobos jeruji
penjara atau para tahanan membebaskan diri dari jeruji penjara,” di sini mulai
tampak kemengsleannya. Misal lain, “Bola itu menerobos ke gawang lawan atau bola itu membebas ke gawang lawan.” Tidakkah perpindahan tersebut memiliki logika tempat duduk terhadap perasaan pembaca dengan berlainan, jika dilanjutkan dalam sebuah kajian ilmu
pengetahuan, kian parah lewar-nya.
***
Saya tidak taklid bertumpu pada kamus,
tersebab nalar yang hidup dipanasi pengalaman yang sudah lebih hidup darinya, tetapi anda boleh membuka kamus keluaran mutakhir pun, untuk memenggal nalar saya jika ada ketidakcocokan, sebab kesadaran saya lahir
sebelum ‘adanya’ kamus. Ini bukan mengikuti pola Sutardji membebas dari belenggu kamus yang sudah muak terhadap pengertian yang diberikannya. Sebaliknya dalam diri saya,
kata-kata itu mendapati definisinya sesuai takaran pengalaman dari benturan yang
ada dalam perjalanan hayati, yang menjelma definisi tersendiri dan lebih
mandiri.
Tampilan kata ‘menerobos’ kepemilikan IK yang dibayang-bayangi
kata-kata ‘saya bebaskan’ kepunyaan SCB, tentu menempati nafas dunianya masing-masing, sama-sama kuat bangunanya dan terang ucapannya. Tapi jika dikorek sedalam uraian
di atas, maka
anda bisa tentukan pilihan; apakah saya mengada, ataukah IK yang mengada-ada sedari
pengadaan SCB yang berlainan relnya, berbeda jalurnya?
Bagian ini saya hentikan di sini, yang
tentu dilanjutkan setelah mencapai nafasan seimbang kembali. Catatan; ‘Kelicinan’ IK tidak menampakkan
kata-kata ‘kredo puisi’ pada paragraf awalnya, padahal secara ruhaniah maknanya merujuk ke sana. Yang terbukti muncul kalimat, “memberi
kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.”
Dan kata ‘menerobos,’ masihlah fokus dengan jalan pintas seperti sorot cahaya, sedangkan kata ‘(mem)bebas(kan)’ bermakna membuyarkannya.
16 Juni 2011 / 25 Malam 26 Juni 2015 / 27 Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.