Nurel Javissyarqi
(kupasan kedua dari paragraf awal, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Kata ‘upaya’ dan ‘percobaan’ pada pembuka esainya, menampakkan kesan memandang SCB
sangat perlu dibuktikan atas perjuangannya. Lagi-lagi orang cerdas lihai dalam mengola tulisannya, sehingga bentukan kabur itu bisa
sampai di mana pun letak titik yang dimaui masa-masa pemberhentiannya. Pembelejetan
ini ingin tahu sejauh apa bersungguh mendukung Sutardji atau sebuah peringatan,
ataukah penghinaan. Maka saya menelanjanginya dari berbagai sudut demi melihat kilauan pancarannya.
Upaya IK menyelimuti kata-kata ‘saya bebaskan’ dalam kredonya SCB, dengan penggantian
lewat kata ‘menerobos,’ begitu kentara pada keseluruahan esainya. IK sadar jika memakai kata ‘bebas’ akan masuk jurang terdalam kejahiliaan, dan ia tidak ingin hal itu
menimpanya. Tentu dengan keahlian
merakit kata menggumuli bahasa, menarik nafas-napas pantulannya berposisi
seimbang mencari selamat lewat kata ganti. Karena melalui kata ‘menerobos,’ tidak menghianati asas pengetahuan, ia membayangkan kata ‘terobos’ ibarat cahaya. Kalau tidak keliru, Ibnu Khaldun pernah berujar; “fokus adalah pembakaran yang terbaik.”
Dengan kata ‘terobos,’ berpenuh harap menyorongkan perahu
SCB untuk dikaji dengan alat-alat yang kelak mampu menjadi rakitan mendidik.
Tapi sayang, penekanan (pengulangan) kata ‘menerobos’ hingga empat kali, itu mubazir. Saya paham, mungkin
pengulangan awal berkehendak mencipta daya kejut, agar pembaca mendapati pesona
melebih sihir. Kedua, pembaca sampai ke tahap kesadarannya, pengulangan ketiga berharap mengekalkan perubahan konsep
SCB, sedari ‘bebas’ menjelma ‘terobos.’ Dan keempat guna dianggap wajar atau pembaca memaklumi yang diingini SCB maupun
IK.
Pergeseran itu sayangnya tidak memperoleh
sangkalan balik secara tegas nan berani oleh
Sutardji, mungkin dalam hati SCB, “Ah, itukan tafsiran IK, sedangkan aku tidak,
aku bebaskan semuanya.” Atau dalam benak Sutardji berkata, “Nah, itulah
terjemahan kredoku yang tepat.” Tapi nyata kedua gambaran ini hanya menjelma
awan-gemawan
yang tak menurunkan hujan, tidak menyirami makna seanak
sungai-sungai manfaat, tetapi hanya kenekatan yang diamini banyak orang.
Persinggungan kata ‘terobos dan bebas,’ jika diurai dapat dikategorikan sebentuk
teguran, peringatan juga sampai hinaan, karena SCB tidak merevisi kredonya yang konyol itu. Dari sini,
tataran konsep kehendak bertindak mengekalkan diri menjadi penyair, seharusnya selalu berdialog atas badan-badan
lain, wawasan berbeda demi dewasanya temuan. Sebab seorang penyair bukanlah insan yang luput dari kehilafan, yang bisa terjerumus ke dalam watak pembodohan diri pun menimpai pengikutnya.
Perubahan pandang SCB sampai IK,
sebenarnya salah satu tahap demi karya penyair berbunyi, berfungsi tidak hanya
berdengungan mengigau di panggung hiburan dengan ornamen ugal-ugalan. Tapi guna
dilain masa dapat
dikaji secara terang, lewat rumusan. Di sini tantangan penyair demi menerapkan
rumusan dengan karyanya supaya bisa berdialog, yang tidak kabur melenyapkan dirinya terlepas dari tanggung jawab
sebagaimana imbasnya.
Bagaimana SCB menyunggi beban kredonya, hakikat mantra saja tidak paham atau mengerti tetapi diselewengkan? Tentu memiliki banyak tantangan,
jegalan,
ini wajar dan bukan otomatis orang besar banyak
sandungan, tetapi memang konyol, jika dibebaskan kata dari makna atas
mantra. Serta teguran, sanggahan sedari orang-orang sebelumnya, dianggap tidak paham yang diperjuangkannya, dikiranya
angin lewat
saja. Lalu berlenggang kangkung bahwa rupa-rupa itu diibaratkan cobaan, ujian di dalam “peribadannya bersyair” yang tentu di hadapanya seolah nirwana menanti.
Secara sepintas pula dalam, bangunan
paragraf awal IK lumrah, wajar, tidak menyorongkan kebaharuan, tidak terkesan
akan atau sudah menampilnya generasi baru, corak anyar. Marilah perhatikan
lontarannya:
“Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata.” Saya pikir para penyair menerobos makna-makna kata dan bukan membebaskannya, seperti kembang kerap diandaikan
wanita, kucing diibaratkan rasa malu dll. Kedua “menerobos jenis kata,” tidakkah dalam peleburan puisi, kerap
terjadi penerobosan jenis kata? Kata umum menjadi tidak umum atau sebaliknya,
juga kata benda, sifat dan semacamnya, diperam menjelma suatu melodi yang mencipta
bentukan khas sedari puisi yang mengikuti watak sang penyairnya,
jadi tidak
ada sesuatu kebaharuan bukan?
Ketiga “menerobos bentuk kata” itu sangat lazim, tengok betapa para
penyair menimang (menimbang) imbuhan,
sampiran, pun bentukan kata-kata lain sedari
bahasa daerah, konstruksi tipografi sebangsanya.
Keempat, “menerobos tata bahasa” juga
hal biasa para penyair merombak awalan ditaruh di tengah, di akhir atau pun
semuanya dan semaunya, yang tentu
beresiko berhasil-tidaknya tergantung olahan bahan-bahan yang
termiliki nan tetap tidak terlepas, alias tidak ngawur seasap pembebasan yang keblinger.
Ungkapan senada dapat dikategorikan IK
radak enggan
atau jangan-jangan malas, maka dicarilah kata yang samar warnanya demi jiwa SCB tentram seaura
menghibur. Keengganan tampak menyelewengkan muatan “kredo puisi” dari kata ‘bebas ke terobos.’ Atau ini memang menantang
tegas! Membetulkan dan menempatkan
sesuai takaran yang semestinya.
Dari banyaknya para esais yang mengupas SCB,
sebenarnya sudah membeludak yang menegurnya
dengan kelembutan, terang-terangan pun sindiran dengan pelbagai rupa. Namun masih tetap keyakinan Sutardji bulat-bulat meluruskan kredonya, yang saya pandang
tidak berpijak di dalam nafas kodratinya.
Setelah kata ‘menerobos’ diulang-ulang sampai empat kali, yang telah terurai maksud serta isi kesederhanaannya. IK menekankan dengan kalimat, “dapat dipandang
sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran.”
Ingat, kata ‘percobaan’ itu belum berhasil, masih berusaha,
sejenis karya percobaan, latihan bunuh diri, meleburnya kebodohan menguliti kebuntuan yang masih wajib
disempurnakan, diperjuangkan dan dipelajari
ulang. Atau di hadapan IK, karya SCB belum sampai kepada yang diharapkan kredonya, tetapi karena Ignas Kleden
cerdas, diselimutilah kedalaman hatinya dengan polesan kata-kata yang menggiur
nadanya, serupa disaat Sutardji
membius penonton lewat larikan suaranya. Namun penyair juga esais SCB, tidak
curiga olah vokal untaian makna sang kritikus IK, ini aneh!
Membaca lewat nilai-nilai di bawah standar atau IK hanyut terpukau, seminimal membentuk dua cabang; pertama
enggan memakai kata ‘bebas,’ lalu asal comot mengganti, guna terkesan tidak menyerupai, tidak terlalu
tampak (menyembunyikan
rasa) kagumnya. Kedua, sekecilnya
pengulangan kata
‘menerobos’ dimaksudkan untuk benar-benar mengunggulkan Sutardji, berlandaskan keterpesonaannya, dengan kata-kata
tegak di sisi lain, “inilah suatu terobosan” sambil
memandang para
hadirin dengan seyakin-yakinnya
akan
percaya. Tetapi saya kira, tidak selugu itu IK dalam dirinya atau benarkah yang lihai
mengolah kata, kerap kali melenai hal-hal sepeleh, sesuatu yang kelak berimbas kepada pembaca. Seirama
langkah ringan ‘iman’ yang
merasai semua mengikuti jalurnya, dan saya
melewatinya dengan cara ini.
Kerap para penulis membesarkan penulis lainnya, dengan maksud minta kembalian atau percaya hukum bandul (pantul) kebijakan, akan
sampai juga kepada dirinya dianggap besar. Tengoklah larikan berikut, “melakukan
dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran.” Kesan yang ditampilkan
setampan lempengan besi, kekacauan SCB memiliki nama
yang indah, yakni ‘dekonstruksi.’ Padahal longsongan yang ada, susulan sedari kata-kata ‘menerobos,’ tiadalah bentukan yang merombak tatanan perpuisian sebelumnya. Semuanya wajar, seperti yang
terudar di muka.
Selanjutnya IK menulis, “dan memberi kemungkinan bagi
konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.” Juga umum setiap
puisi itu ‘memberi kemungkinan,’ karena peluang tersebut hadir dari kejelian penyair manakala berkarya atau sebelum dilemparkan kepada khalayak. Ini efek kepastian
sedari peraman masa-masa yang dikandung pengalamannya dalam menggumuli jiwanya nan membara di sekitar lingkungannya.
Ungkapan “konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi,” pun
para penyair itu
berusaha mencapai, tidak hanya Sutardji. Lalu
digunakannya kata ‘kemungkinan,’ agar suatu masa bisa mengelak, jikalau dikenai pertanggungjawaban. Maka sejatinya IK tidak
mendukung gagasan SCB, seolah menutupi separuh mukanya dikala
berjalan di tengah keramaian. Namun dengan lantang hatinya berujar, “bacalah
tulisanku yang lain mengenai dekonstruksi atau lebih jauh,” silahkan.
18 Juni 2011 / 25 Malam 26 Juni 2015 / 29 Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.