Nurel Javissyarqi
(kupasan kedua dari paragraf kedua, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Alibi, bukan sosok gagasan atau
bayangannya pun bukan anak kembaran, tapi duplikat,
palsu, plagiat. Alibi, bukan cahaya
atau yang ditempainya, namun arsip bodong yang sengaja
mencipta penggandaan semu, mengada sedari perkiraan yang direka-reka
keberadaanya demi memperkuat nafsu yang tidak terlaksana.
Tubuh alibi menempati ruang asing yang
tidak berpijak pada detikan debu, namun ianya tetap mengusahakan dirinya demi dihayati kedudukannya sebagai materi, dengan
membikin hukum kausalitas akal-akalan. Mereka terus memposisikan ada yang bukan di seberang jalan, tetapi di ladang kosong di
sebaliknya. Kala bersikeras melacaknya sampai ke dasar
tragedi, tidak ada alam puitik kecuali hampa atau tidak berlandaskan kenyataan. Di sana, tipuannya mudah diungkap sedari kecerdikannya, tersebab menempati ruang-ruang di kelas yang dangkal.
Alibi, semacam mata rantai tipu daya atau kebohongan pohon
dari bahan plastik yang cabang-cabangnya tidak berkembang alami, mandek
sepanjang prodak kepalsuan yang meninggikan rantingnya. Terjatuh pada
ungkapannya yang otomatis tidak akan merimbun di taman pemikiran.
Di sini tiada harum sedap daun,
kecuali aroma-aromahan. Barangsiapa menanamkan alibi, enggan bertanggugjawab,
kala sudah diketahui khalayak. Seperti seorang yang tidak merasa bersalah,
menghiasi ruangan dengan bunga-bungaan plastik.
Alibi, mengusung menitan data untuk
dipertaruhkan di meja hijau demi dihadapkan pada bukti lain yang berlawanan.
Dan nyata alibinya ditempa hukum situasional yang dikandungnya. Tidak sekadar
alasan juga menancapi bukti meyakinkan atas sugesti, agar patungnya hadir seolah-olah
pernah ada, walau pun menjalar di sebrang lamunan. Di mana bahan plastik
tersebut? Ialah hasil para kritikus yang mengusahakan sederajad pada kisah
tokoh sebelumnya, mendempul dengan kurang mempedulikan bahan-bahan garapannya.
Alibi bukan proses kloning, lebih tepatnya membikin jejak palsu sedari seorang buruan yang dikejar para tentara, kaki-kaki gemetar bersimbah darah oleh
keterbatasan capaiannya. Tapak-tapak kakinya berpencaran sedari titik persinggahan yang diketahui pemburu, ke utara,
selatan, timur, barat, berbolak-balik sebelum menjatuhkan pilihan ke arah
persembunyiannya. Agar para pencari terperdaya serupa drama di televisi yang menampilkan kehidupan glamor demi mengejar reting, meski berpaling dari balada sesungguhnya (nyata) yang dihadapi para pemirsanya.
***
Saya cari padanan sesuai untuk mengetahui
seluk-beluk maksud SCB yang dilontarkan Dr. Ignas Kleden lewat menyusuri
jejakan lama. Setelah menampilkan kata ‘imitasi’ melalui rerongga lain, guna membuka kemungkinan penghampiran dari kata duplikat, palsu, plastik. Dengan menengok buku “Aristotle Poetics” translated with an
Introduction and Note by Gerald F. Else, terjemahan Sugiyanto, Penerbit
Putra Langit, tahun 2003 Yogyakarta:
“Bagi Plato, "imitasi" merupakan aktifitas yang mengalahkan diri
sendiri dan tanpa muatan, maka bagi Aristoteles hal itu merupakan aktifitas
yang positif dan subur -dalam batas-batas yang diperbolehkan.” (pengantar, halaman 13). Dan pada Catatan di halaman
104: “Mimesis, 'imitasi atau peniruan',
juga berlaku aktif (memiliki sufiks yang sama -sis, = pe-, sebagaimana
poiesis). Arti dari imitasi dalam pemikiran Aristoteles akan muncul secara
bertahap. Memang ini bukan berarti sekedar penyalinan dari detail yang
bermacam-macam. Namun "penyajian" atau "representasi" cenderung
menyajikan suatu gagasan yang teramat abstrak. Akar mimesis adalah naluri
mimikri manusia.”
Maka terlihat jelas SCB membeletat kabur dari kearifan Plato serta
Aristoteles, dengan istilahnya ‘alibi’ (puisi adalah alibi
kata-kata), sikapnya senyawa pandangannya yang bertumpu pada kata ‘bebas.’ Sehingga Sutardji mematenkan perihalnya, ‘tidak bertanggungjawab atas karyanya.’ Ini menyimpang jauh dari pemikiran kedua filsuf tersebut,
yang masih memiliki bayangan realitas, apalagi mimesis ialah naluri mimikri
insan. Sebab proses mimikri pun tidak lepas setubuh yang dilakoninya, seperti perubahan
warna bunglon untuk melindungi
dirinya dari incaran predator.
Sementara SCB berupaya menduplikat
untuk meloloskan diri seperti uraian IK pada
paragraf keduanya: “Dalam sebuah esainya
Sutardji menulis "puisi adalah alibi kata-kata". Dengan ungkapan itu
dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari
tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari
dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”
Kalau membaca gelagat IK di atas, maka
terlihat tidak mau beresiko tinggi menuruti hasrat SCB yang mana sebelumnya Ignas sudah
merombak kata ‘bebas’ ke ‘terobos.’ Di
alam kesadarannya, Ignas melepaskan jejak-jejak kaki duplikat
penyair
SCB sebelum ke arah persembunyian (alibi).
IK paham jika terlampau jauh membentuk
ulang garapan SCB, akan kurang
menghargai capaian penyair oleh keimananya yang terlalu. Karenanya, dengan
ketentuan yang digenggamnya kuat pada esainya, berusaha
menampilkan kadar berbeda, antara menghargai juga menentang secara sembunyi
atau teguran samar.
Umpama bercermin pada peristiwa
terbunuhnya Socrates yang menenggak racun abadi, serta dihadapkan pada paham
Plato dalam kitabnya Republic, yang teringkas di buku yang saya sebut di atas: “(1)
penyair adalah peniru (imitator) benda, kemudian menghilang dari kenyataan, dan
(2) penyair melayani emosi kita, yakni bagian tidak rasional dan anti rasional
dari sifat dasar kita, khususnya kecenderungannya pada rasa kasihan dan
ketakutan” (halaman 10-11). Lalu berbalik pada suguhan tahapan mimesis
Aristoteles, maka terlihat SCB ingin lepas (melepas) dari kebenaran Socrates. Atau tidak menenggak racun kebajikan, tapi dengan membuat alibi sebagai dasar kepenyairannya, sebentuk
melarikan diri dalam berpuisi (berproses kreatif).
***
Kalau memahami alibi ungkapannya SCB,
serupa menancapi tiang bendera yang dengan itu tidak mau dimaknai, tetapi
mengartikan sendiri meski gagap. Ia tinggalkan jejak palsu demi menarik simpati
dari
‘para pemikir’ yang terhanyut. Padahal tipuan itu hanya lampu ublik di tengah malam, seperti tarian telanjang
tiada kompromi, sebab sudah birahi dalam ketegangan.
Dan sangat kumprung jikalau konsep membebaskan kata dari makna,
lalu di
kemudian hari ada memaknainya. Sejenis guyonan tidak
masuk akal
atau permainan jatuh-bangun yang tergantung
pemain (kritikus) di dalam mengamati
keliarannya berkreasi.
Pun tidak berdaging segar, maka tengoklah esai-esainya belum
membongkar pemikirannya mengenai kata ‘bebas’ atas khasana bahasa, alias belum punya bangunan yang dapat sebagai pegangan bagi para pembacanya. Maka yang terjadi,
para pembaca dan kritikus mencari-cari gapaiannya, menduga adanya ranting samar,
jika tidak sopan dikatakan tidak ada.
Tentu menjadi guyonan, sekiranya
penyangkalan saya dianggap menumbangkan patung besar. Ini timbal-balik
koreksi-mengisari demi pengadaan yang diungkap, didudukkan pada porsinya. Tidak
me-makhluk-kan asing sedari jari-jemari tangan kesusastraan, yang entah dikarena sudah terlanjur dimitoskan sebagai mata lain susastra di
sebelah sang
penyair penyadur Chairil Anwar.
Tidakkah hal menjauhkan realitas makna
mewujud dalil hayalan, kembali ke jaman kebodohan, karena jauh sedari hukum kritis semata elang. Yang ditinggikan tanpa
membangun realitas nalar, pasti terbuai angan-angan, dan tidak menurunkan benih hujan kemungkinan rahmat kehidupan.
Alibi bukan bayangan, sebab meskipun
liar cahaya menempa tubuh, tetap melekati hukum kepastian, yakni setiap gerak
bentukan realitas. Alibi, berkemiripan sosok perompak bajing loncat yang membuang barang muatan truk di tengah malam, dari truk
satu menuju truknya. Kelihaiannya mampu mengambil dokumen surat
jalan, yang sampai gardu pemeriksaan aman telah mencuri, sedangkan pemilik
barang truk aslinya kehilangan.
Alibi berada di kelas ketiga, lulus
keberanian sekaligus terlepas dari kejujuran.
Yang terjadi, memindahkan realitas ugal-ugalan dengan hanya mengandalkan surat
jalan. Tetapi sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga.
Demikian pemaknaan dari pengelana yang bukan kritikus, tidak pembaca sastra yang baik
melainkan amatir, mengenai kata ‘alibi.’ Menurut anda bagaimana?
6 Agustus 2011 / 1 Malam 2 Juli 2015
/ 10 November 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.