Nurel Javissyarqi
VI
Data-data di bawah ini jumputan sepintas
dari Wikipedia, sedangkan urutannya mengikuti buku “Tanah Air Bahasa, Seratus
Jejak Pers Indonesia” terbitan I:boekoe, Cetakan I, Desember 2007.
Ketika menulis buku
kenang-kenangannya di tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatatkan nama Tirtohadisoerjo,
seperti berikut: “Kira-kira pada tahun
berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian
karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M.
Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu
bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita
Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut
pelopor dalam lapangan journalistik.”
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi
Soerjo (Blora, 1880–1918) tokoh pers dan tokoh kebangkitan Nasional, perintis
persuratkabaran serta kewartawanan. Menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), Putri Hindia (1908), dan mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji, surat kabar nasional
pertama menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), seluruh pekerja dari
pengasuhnya, percetakan, penerbitan juga wartawannya ialah pribumi Indonesia
asli. Orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda pula
pembentuk pendapat umum. Berani menulis kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial
Belanda masa itu, sehingga Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa,
dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Maluku Utara). Selesai masa
pembuangan, dirinya balik ke Batavia dan meninggal dunia tanggal 17 Agustus
1918. Kisah perjuangan dan kehidupannya diangkat sastrawan Pramoedya Ananta
Toer di dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Di tahun 1973, pemerintah RI
mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Tanggal 3 November 2006, Tirto
mendapat gelar Pahlawan Nasional, melalui Keppres RI no 85/TK/2006.
Lalu dr. Wahidin Sudirohusodo (lahir
di Mlati, Sleman, Yogyakarta 7 Januari 1852 – meninggal di Yogyakarta 26 Mei
1917) salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya senantiasa dikaitkan
dengan Budi Utomo, walau bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional
tersebut, tetapi dialah penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para
pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta. Budi Utomo (Boedi
Oetomo) ialah sebuah organisasi pemuda yang didirikan Dr. Sutomo dan para
mahasiswa STOVIA; Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada 20 Mei 1908. Yang
bersifat sosial, ekonom pun kebudayaan, namun tidak bersifat politik. Berdirinya
menjadi awal pergerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia, walau
waktu itu organisasi ini ditujukan bagi golongan yang berpendidikan Jawa. Dan tanggal
berdirinya Budi Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Kemudian Abdoel Rivai (lahir di Palembayan,
Agam, Sumatera Barat 13 Agustus 1871 – meninggal di Bandung 16 Oktober 1937)
adalah seorang dokter dan wartawan Indonesia. Ia orang Indonesia pertama yang
menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu dari Eropa. Yang dianugerahi gelar
Perintis Pers Indonesia pada tahun 1974 oleh Pemerintah Indonesia.
***
Bahan selanjutnya saya jumput
sepintas keterangan dari buku yang disebut di atas, ditulis Iswara N Raditya; “Itulah Martodharsono, si kontroversial yang
sarat misteri. Sejauh ini belum ada kisaran waktu yang pasti tentang hari
lahirnya, pun juga tahun kematiannya. Ia datang tak diundang, pulang pun tak
diantar. Namun, dapat diperkirakan Martodharsono sepantaran dengan Mas Marco
Kartodikromo (dikenal Mas Marco, Cepu, Blora 1890 – Boven Digoel 18 Maret
1932/1935) yang lahir pada 1890. Keduanya merupakan murid Sang Pemula, Tirto
Adhi Soerjo, di Medan Prijaji dan Sarotomo.”
Lantas Dja Endar Moeda Harahap,
perintis pers berbahasa Melayu kelahiran Padang Sidempuan 1861. Dididik sebagai
guru di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, kariernya di dunia pers
dimulai menjadi redaktur jurnal bulanan Soeloeh
Pengadjar 1887. Sepulangnya dari ibadah haji 1893, memutuskan bermukim di
Kota Padang. Mendirikan sekolah swasta, menjadi redaktur Pertja Barat, yang didirikan Lie Bian Goan. Di tahun 1905 membeli Pertja Barat. Mendirikan beberapa media
cetak lain di Medan dan Kutaraja (Banda Aceh). Pemberita Atjeh didirikan tahun 1906. Dan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli, menerbitkan Pewarta Deli, dirinya pemimpin redaksi,
lalu pada tahun 1911 setelah keluar dari Pewarta
Deli, menerbitkan Bintang Atjeh.
***
M. Yamin: “Agar tidak banyak kutip,
biarkan mereka mencari sendiri. Kan akar masalahnya mereka lupa perjuangan para
pendahulu atau menganggap nasionalisme lahir setelah Sumpah Pemuda. Maka ambilkan
saja pengertian Nusantara, sebagaimana ruhaniah istilah Indonesia.”
Nurel: “Ya Pak, Nusantara merupakan
istilah yang menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera
sampai Papua. Kata ini tercatat awal kali di literatur berbahasa Jawa
Pertengahan (abad 12 hingga 16) yang melukiskan konsep kenegaraan yang dianut oleh
Kerajaan Majapahit. Awal abad 20, istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar
Dewantara sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka dari pelanjut
Hindia-Belanda yang belum terwujud. Kala penggunaan nama Indonesia (berarti
Kepulauan Hindia) disetujui, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim kepulauan
Indonesia. Akibat perkembangan politik, istilah ini jadi segambaran kesatuan
geografi-antropologi pada kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan
Australia, termasuk Semenanjung Malaya, biasanya tidak mencakup Filipina. Dalam
pengertian terakhir, Nusantara sepadanan Kepulauan Melayu (Malay Archipelago),
suatu istilah populer akhir abad 19 sampai awal abad 20, terutama dalam
literatur berbahasa Inggris.”
***
Nurel: “Saya kaget, ternyata Bapak
suka komposisi musik klasik Beethoven.”
M. Yamin: “Masak hanya Nurel saja,
hehe... Kau baca bukuku yang berjudul “6000 Tahun Sang Merah Putih,” terbitan
Balai Pustaka tahun 1958 ya?”
Nurel: “Iya Pak.”
M. Yamin: “Untung saja Mas
Dewantara sudah jalan. Buku itu diterbitkan sebagai peringatan 30 tahun usianya
Sumpah Pemuda Indonesia Raya, 28 Oktober 1928. Jadi ambillah semangatnya.”
Nurel: “Ya Bapak...”
***
Mengingat kehebatan media massa Kompas
waktu itu di hadapan para penulis (penyair) yang mengirimkan karyanya ke koran,
dan kebesaran nama Presiden Penyair Indonesia sebagai redakturnya. Pada tanggal
1 Juni 2001 hari Jum’at di dalam ruang Bentara, SCB menerbitkan esai yang berjudul
“Puisi Besar.” Esai ini besar dampaknya bagi kaum sastrawan serta para
kritikus. Sampai kini, barangsiapa menulis perihal Sumpah Pemuda dalam dunia kesusastraan,
tidak lepas dari esai Sutardji tersebut.
Sangking hebatnya, saya mengabaikan
catatan Dimas Arika Mihardja di facebooknya, esainya Fedli Azis di Riau Pos,
yang rencananya hendak saya unggah beberapa paragraf. Dan mungkin keterlaluan
hebatnya, saya pun tidak menyinggung esainya kritikus Maman S. Mahayana di Riau
Pos 11 November 2012 yang berjudul “Hari Puisi Indonesia: Latar Belakang dan
Latar Depan,” pula agak menyamping pada esainya Sitok Srengenge “Hari Puisi” di
Jawa Pos 28 Juli 2013, lantaran selera mereka sama mengamini, maka saya
turunkan beberapa paragraf sedari esainya Sutardji:
“Dipandang
sebagai teks puisi, Sumpah Pemuda tidak kalah kadar puisinya dibandingkan
dengan sajak-sajak para penyair kita. Seperti halnya puisi, dunia yang
diciptakan dalam rangkaian larik-larik Sumpah Pemuda itu ialah dunia imajinasi.
Sesuatu yang pada waktu itu belum ada dalam realitas. Yang dalam konteks
politik adalah teks untuk tekad membuat suatu imagined society.”
“Kehebatan
Sumpah Pemuda bagi saya terutama pada kemampuannya menemukan sesuatu yang
sering dicari dalam puisi besar, yakni kata-kata yang in absentia dalam
masyarakat pada umumnya. Ia telah mendahului menemukan kata-kata “depan-sadar”
dari masyarakat. Yakni kata-kata “futuristik,” yang sehari-harinya di kalangan
masyarakat umum pada waktu itu masih in absentia, masih tidak hadir. Meski kata-kata
itu masih berada jauh di “depan-sadar” masyarakat hingga tidak ada dalam
kesadaran dan imajinasi masyarakat banyak, para perumus teks Sumpah Pemuda yang
dalam pembicaraan ini bolehlah saya sebut sebagai para penyair kolektif secara
jenial berhasil menemukan kata-kata in absentia itu.”
“Adalah
sangat beruntung kalau seorang penyair berhasil menemukan atau kedatangan
kata-kata in absentia dalam puisinya.”
“Seorang
penyair yang baik sering beruntung kedatangan kata-kata in absentia ini.
Sekurang-kurangnya ada dua macam kata-kata in absentia. Berada dalam tekanan
rezim penguasa atau tradisi atau konvensi yang menindas, masyarakat atau para
pribadi menekan dan menyembunyikan kata-kata dari hati nurani serta
kemanusiawiannya jauh ke bawah sadar. Kata-kata melarikan diri dari permukaan
masyarakat menjadi in absentia dan akan kembali muncul hadir ke permukaan dalam
kata-kata yang dituliskan pada larik puisi para penyair. Jenis kata-kata in absentia
lainnya ialah kata-kata yang tidak ada pada masyarakat bayak karena ia masih
berada di depan dari sebagian besar masyarakat, seperti halnya kata-kata dalam
teks Sumpah Pemuda itu: putra-putri Indonesia, berbangsa satu, ber-Tanah Air
satu, berbahasa satu, Indonesia. Semua ini belum ada pada kesadaran masyarakat
banyak waktu itu, masih in absentia. Keberadaannya masih di “depan sadar.” Pada
waktu itu yang umum disadari adalah putra-putri Sunda, Sumatra, Jawa, Ambon,
dan seterusnya. Begitu pula dalam ihwal bahasa Indonesia dan nasionalisme.”
“Pesona
kata-kata “depan-sadar” dari teks puisi Sumpah Pemuda itulah yang memukau para
pemuda dan pemimpin kita untuk berjuang merealisasikan imajinasi dari dunia
puisi Sumpah Pemuda itu agar menjadi realitas. Soekarno, Hatta, Syahrir, dan
lain-lain sedia berjuang dan berkorban karena pesona dari puisi besar itu.”
Selanjutnya baca di buku kumpulan esainya
Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Isyarat” secara utuh dari halaman 80
sampai 86. Janganlah lupa membawa imajinasi kelas tinggi dalam
mengapresiasikannya, tentu menjadi barisan pengamin serta tercatat oleh sejarah
yang mengsle!
***
5
Pebruari 2013 (24 Mulud 1946, Selasa Kliwon Jawa, 24 Rabiul Awal 1434 Hijriah).
M. Yamin: “Kok tidak ada bau rokok,
sedang di mana Nurel?”
Nurel: “Kan sudah saya katakan, di
tempat yang saya sukai Pak.”
M. Yamin: “Waktu itu kau seolah
ragu, sepertinya belum mendapat tempat atau setidaknya letaknya berbeda?”
Nurel: “Ya memang lain Pak.”
M. Yamin: “Apa bisa kau menulis
tanpa merokok?”
Nurel: “Ah Bapak, sepertinya tahu
dimana saya berada, hehe...”
M. Yamin: “Aku ragu kau bisa
menulis tanpa menghisap rokok, hehe...”
Nurel: “Setidaknya ini menantang
Pak.”
M. Yamin: “Apa kau betah dalam
situasi tersebut?”
Nurel: “Saya masih bisa merokok kalau
di luar Pak, tepatnya di warung kopi.”
M. Yamin: “Rencananya berapa lama dalam
kondisi seperti itu?”
Nurel: “Sampai mendapat firasat
jikalau waktunya sudah. Sebagaimana tempat ini saya suka sebab sebelumnya
bermimpi ada seekor burung hinggap di jemari tangan kanan saya, dan saat bangun
memperoleh izin menulis di sini. Ditambah kejadian yang jarang terjadi, yakni
sewaktu magrib, ada seekor burung terbang menabrak dinding masjid, segambaran
saya tidak bisa merokok, hehe...”
M. Yamin: “Ah bisa saja.
Jangan-jangan keberadaanmu seperti al-Ghazali di atas menara masjid Damaskus
kali itu?”
Nurel: “Agak-agak namun jelas
berbeda, lawong saya pengelana Pak.”
M. Yamin: “Ya sudah, selamat
menulis Nurel.”
Nurel: “Ya Bapak, suwon...”
(Pesantren Nuur Al Anwaar, Parengan,
Maduran, Lamongan, Jawa Timur).
***
Dalam bukunya Prof. H. Muhammad
Yamin “6000 Tahun Sang Merah Putih” di halaman 29 menyebutkan: “Cara menentukan tarikh Merah-Putih terbagi
atas dua tingkatan. Pada tingkatan pertama kita menyusun kesamaan di beberapa
lapangan pengetahuan. Pada tingkatan kedua maka diusahakan menerangkan
peristiwa kesamaan yang didapat itu, sehingga dapatlah ditetapkan tarikh
lamanya penghormatan Merah-Putih itu dengan pertolongan ilmu prahistoria.”
“Untuk
membedakan peristiwa kesamaan yang didapat itu, maka kita membutuhkan istilah:
Austronesia, purba-Austronesia dan Austronesia-bersama. Dengan sengaja kita
beberapa kali menghindarkan pemakaian perkataan Indonesia, purba-Indonesia atau
Indonesia-bersama, karena semenjak hari Proklamasi Kemerdekaan maka ketiga
istilah itu telah berlainan arti dan maknanya, dan memang tak sama lagi dengan
istilah Indonesia buatan Bastian-Logan itu.”
Maka seyogyanya barang siapa yang
meneliti Sumpah Pemuda, layaknya seperti Ir. Soekarno memberikan tanda kutip
pada sambutannya pada buku M. Yamin tersebut, yang dalam kurung; (“Satu Bangsa,
satu Nusa dengan satu Bahasa” itu! Dari Sabang sampai Merauke!). Perlulah kita
menyimak pelajaran jauh sebelumnya, setidaknya membaca secara detail perubahan
maknawi daripada istilah Indonesia sebagai titik tekan di sana serta pergeseran
artian kata “Indonesia” yang diperkenalkan James Richardson Logan dari usulan
Earl “Indunesian,” lantas kata itu dipakai Ki Hajar Dewantara pada tahun 1913,
saat dirinya dibuang di negeri Belanda dan membikin biro pers dengan nama Indonesische (pelafalan Belanda untuk
“Indonesia”) Persbureau.
Pada dasawarsa 1920-an, istilah itu
dipergunakan para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia; Mohammad Hatta di
tahun 1922, Dr. Sutomo tahun 1924 serta di tahun itu Perserikatan Komunis
Hindia berganti sebutan menjadi Partai Komunis Indonesia dan seterusnya. Ini yang
menyatakan keberadaannya pemaknaan istilah “Indonesia,” sebelum datangnya Sumpah
Pemuda. Semua ini tercatat di lembar sejarah, bukan dalam imajinasi kemendadakan
saat 28 Oktober 1928 semata!
Mari kita ambil perkataan SCB yang
menjadi akar pengambilan para kritikus juga sastrawan, ketika membahas Sumpah
Pemuda: “Pesona kata-kata “depan-sadar”
dari teks puisi Sumpah Pemuda itulah yang memukau para pemuda dan pemimpin kita
untuk berjuang merealisasikan imajinasi dari dunia puisi Sumpah Pemuda itu agar
menjadi realitas. Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain sedia berjuang dan
berkorban karena pesona dari puisi besar itu.”
Ini mengingatkan status facebook saya,
tanggal 27 Januari 2013: “Mungkin karena
tidak pernah mengamati uang kertas yang nilai nominalnya kecil, sehingga gambar
para pahlawan nasional yang ada di sana tidak dikenalnya sebagai inspirasi
terbesar. Tapi pada gambar di lembar mata uang ketas yang nilai nominalnya
besar, menjadikan imajinasinya kelewat membesar. Dan tuduhan mereka menyatakan
bahwa tempo dulu belum ada nasionalisme, mungkin saja didasari penglihatan
jamannya kini, yakni partai-partai politik kerap bertikai, umbul-umbulnya
warna-warni membutakan para pengikut. Mereka seakan didesak oleh sebuah
kepentingan lebih besar daripada kesadaran sejarah yang semestinya dibentangkan
untuk generasi masa depan, bukannya diringkus buat kepentingannya atau golongan
dengan mengatasnamakan persatuan namun semu adanya, seperti kegagalan
mengartikan “Kun Fayakun” mak bedunduk dibiarkan para kritikus pendukungnya
hingga sekarang.”
Status itu sekaligus menjawab
kata-kata SCB: “Sumpah Pemuda itu:
putra-putri Indonesia, berbangsa satu, ber-Tanah Air satu, berbahasa satu,
Indonesia. Semua ini belum ada pada kesadaran masyarakat banyak waktu itu,
masih in absentia. Keberadaannya masih di “depan sadar.” Pada waktu itu yang
umum disadari adalah putra-putri Sunda, Sumatra, Jawa, Ambon, dan seterusnya.
Begitu pula dalam ihwal bahasa Indonesia dan nasionalisme.”
Jelas sekali Sutardji (dkk) hanya terpesona
para peserta Kongres Pemuda II yang berasal dari wakil-wakil organisasi pemuda
waktu itu: Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond,
Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Dirinya yang
sebagai sastrawan jempolan (setidaknya di hadapan para penandatangan ‘deklarasi
hari puisi Indonesia,’ diakui sebagai sosok presidennya penyair Indonesia)
tidak menelusuri jauh. Sehingga kaum pemalas sebagaimana dirinya, ikut serta
dalam gerbong kegelapan berita, sudah puas atas data saat itu seolah bangsa
Indonesia lahir tanpa sebab musabab. Jika saja mereka mau berendah hati membaca
karya-karya sang pencetus Sumpah Pemuda (yang diamini para peserta kongres) M.
Yamin, betapa ianya menjawab pokok-pokok Sumpah Pemuda di buku-bukunya, seolah
menjawab hutang usianya demi menyelidiki secara seksama, bukannya lewat
imajinasi yang kelewat tinggi, sampai-sampai mengaburkan data-data sejarah yang
sebenar-benarnya!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.