Nurel Javissyarqi
VII
Bung Karno sendiri menganggap Sumpah Pemuda 1928
bermakna revolusioner: satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke,
masyarakat adil dan makmur, dan persahabatan antar bangsa yang abadi. “Jangan
mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar
mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah
satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Soekarno
dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta
28 Oktober 1963. (Rudi Hartono, “Sejarah
Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda,” berdikarionline.com 20 Mei 2011).
***
M. Yamin: “Krasan tidak, di tempat tanpa asap rokok?”
Nurel: “Be’tah, tapi agak sungkan
Pak.”
M. Yamin: “Kau belum bisa menulis
dengan lancar kan?”
Nurel: “Namun dampaknya seperti
menyehatkan.”
M. Yamin: “Waw… kayaknya berlanjut
ini.”
Nurel:
“Saya mau ke Surabaya Pak, sambil baca buku Orang-orang
di Persimpangan Kiri Jalan.”
M.
Yamin: “Buku itu juga bukti, sudah ada semangat nasionalisme sebelum Sumpah
Pemuda.”
Nurel:
“Soe Hok Gie keren.”
M.
Yamin: “Baru tahu ya, telat!”
***
Mengenai bahasa Indonesia, dapatlah
dimulai mengerutkan dahi lewat R.M. Djokomono, Bapak Pers sekaligus Pahlawan
Nasional. Di sini secara nyata Pemerintah RI menyematkan suara bahwa telah
terbit nasionalisme jauh sebelum Sumpah Pemuda. Pun para pahlawan di jaman
kolonial seperti yang terkisah sekilas di atas, itu jiwa-jiwa menyala terbakar
Merah-Putihnya perjuangan moyang, ruh pemberontakan kepada para penindas dari bangsa
asing yang licik bersiasat adu domba, hingga yang bermental-mental tanggung turut
berpesta dalam pembodohan bagi bangsanya.
“Dipandang
sebagai teks puisi, Sumpah Pemuda tidak kalah kadar puisinya dibandingkan
dengan sajak-sajak para penyair kita. Seperti halnya puisi, dunia yang
diciptakan dalam rangkaian larik-larik Sumpah Pemuda itu ialah dunia imajinasi.
Sesuatu yang pada waktu itu belum ada dalam realitas. Yang dalam konteks
politik adalah teks untuk tekad membuat suatu imagined society.” (kalimat presiden penyair Indonesia, entah siapa wakilnya,
siapa pula menterinya), mungkin sajak-sajaknya pun seperti kepunyaan SCB yang beraneh-aneh
atau kata-kata dalam puisinya “depan-sadar” ngelantur
serupa perkataan orang kesurupan, sampai ujung putusasa hingga Sumpah Pemuda (SP)
disebutnya puisi. Sutardji merendahkan nilai-nilai SP sebagaimana puisinya yang
masuk kelas ngelamun. Kian fatal tiba-tiba
membaca teks SP betapa mudah terseret imajinasinya, tanpa mempelajari
naik-turunnya suhu pergolakan sedari masa silam. Mungkinkah begitu pekerjaan
tukang syair?
Kenapa mereka (saya gunakan kata
ganti jamak, sebab sudah membeludak yang mengikuti gaya tidak habis pikirnya)
menggunakan cara “depan-sadar” bukannya “belakang-sadar,” yakni mengeruk data-data
sejarah yang benar-benar ditulis para ahlinya. Karena lebih kerap melamun
dibanding merenung atau barangkali bukan in
absentia, tapi ini amnesia yaitu kondisi terganggunya daya ingat terhadap
riwayat bangsanya, oleh sukanya berhayal daripada iqra.’ Dan benar pandangan
umum bahwa bangsa Indonesia cepat (musah) melupa atau tidak perlu lama menjadi
mitos purba, semisal meletusnya Gunung Krakatau dikiranya dongengan semata.
Umpama para pengkritik pendukungnya
sudi menelusuri jauh setekun M. Yamin meneliti timbulnya wewarna sang saka
Merah-Putih, mengenai istilah Indonesia juga ketiga sumpah persatuan; “Satu
Nusa, satu Bangsa dan satu Bahasa,” maka tidak perlu saya ngedumel semacam ini. Saya yakin mereka tidak ada waktu lantaran tiap
harinya disibukkan oleh perangai “depan-sadar” atau menuntut pikirannya yang
tidak terbiasa mempelajari masa silam, pergi ke angan-angan menggayuh bayangan
di depan. Mereka tidak menyongsong matahari timur kesadaran dengan meninggalkan
bayang lamunan, namun membelakangi sang surya menuju arah barat, demikian watak
orang-orang pengejar bayang-bayang mimpinya!
***
M. Yamin: “Sepertinya ini pantas
ditaruh di akhir atau sudah finis?”
Nurel: “Kemarin Agus Soetopo
memberi masukan, agar tulisan punya rumusan masalah. Waktu itu saya jawab,
agak-agak sulit sebab tergantung situasi tempat yang terpengaruh gairah langkah
kaki berkelana.”
M. Yamin: “Agus Soetopo itu siapa?”
Nurel: “Ia orang yang sering
menyemangati saya dalam kepenulisan ini.”
M. Yamin: “Ada benarnya juga, tapi
mungkin kau punya jawaban lain?”
Nurel: “Nanti saya jabarkan Pak, semampu
diri memenuhi saran yang cukup menggoda itu.”
***
Suatu hari Herakleitos (berasal
dari Efesus di Asia Kecil, yang hidup sekitar abad V Sebelum Masehi; 540-480 SM)
sebagaimana laku kebiasaannya memasuki waktu senja berjalan-jalan di tepi
Sungai Cayster. Pada kejadian tersebut ia membasuhi kakinya dengan air sungai,
lalu seperti ada suara menerangkan kepadanya, suara itu bergema di gendang
telinganya, nada suara yang tidak asing bagi dirinya sepersis dikala ia
berbicara, tetapi ia tidak membicarakan apa-apa, sendirian berjalan dengan
membawa kebisuan nyata. Sepertinya kata-kata suara itu berasal dari hati
nuraninya atau meluncur dari pikiran-pikiran besarnya yang telah terpendam lama
atau entah dari mana. Jiwanya menampung luapan suara yang mengalir deras dan
tiada keinginan terlepas pun berontak, pribadinya menerima serasa kita
menikmati kalimat itu darinya apa adanya; “Engkau tidak dapat turun dua kali ke
sungai yang sama.” Begitulah kata-kata yang kemudian hari menjelma sabda
teruntuk generasi selanjutnya. (7 Pebruari 2013).
Sengaja saya menambahkan kisah
fiktif di dalam kehidupan filsuf dialektis Herakleitos, agar di bawah ini tidak
lagi menjumput referensi mengenai proses kreatif dari para seniman pun pakar
penemu di bidang apa saja yang telah tersusun apik oleh peneliti sebelumnya, misalkan bukunya Brewster Ghiselin
“The Creative Process.” Karna yang ditemukan Herakleitos sudah mencakup-mewakili
keseluruhan, khususnya berguna bagi tulisan ini sebelum pula nantinya; ketika berkelana
dengan badan kasar juga melewati kata-kata.
Sungguh ungkapan “Manusia
merencanakan kehendak, namun Tuhan penentu jalan,” masih terserah ke belahan
bebidang apapun, di lelembaran hidup apa saja, dalam harmoni yang tidak
terbilang warna, dan itu tetap diyakini para insan yang menyusuri laluan
hayati. Seperti uang di tangan mengikuti hukum perputaran, peredaran,
penyebaran. Tiada sesuatu yang kekal, karena pergeseran ada meski tampak samar
lembut terasa, barangkali enggan peduli, kurang tenang pun tidak ajek. Dan
walau seperti seolah-olah tetaplah keistikomahan mengerjakan sesuatu, pasti
mengalami aturan menambahan atau naik-turunnya semua di dalam proses “menjadi.”
***
Besok 10 April 2013 saya melewati
hutan Kucur kembali, mungkin akan menjenguk Melki Tinggal lagi. Orang yang saya
ceritakan di status facebook hari rebo pon waktu senja 20 Maret 2013 bulan
lalu: ia telah menetap satu tahun di pinggiran jalan raya 18 Km arah menuju
kota Ponorogo dari Wonogiri, tepatnya di tepian jalan hutan Kucur. Orang-orang
berlalu lalang melihatnya mungkin menyebutnya gila. Ketika saya hampiri ia
sedang membaca koran dengan nada keras, sampai hutan yang lebat menggemakan
suaranya didukung gemerisik air mengalir di bawah sebelah timurnya jembatan,
yang kurang kentara gundukannya.
Dirinya bilang asal Manado, tetapi
saya tidak bertanya kenapa memilih hidup seperti itu, mungkin sedang lelaku
atau jangan-jangan seorang penyair tulen yang mencari hakikat hidup sedari
kesunyian hayat di antara carut-marut kehidupan. Tempat tinggalnya tidak
beratap, jadi jika hujan turun pasti kedinginan, dan di sekitar letak duduknya
berserakan botol-botol air mineral, kain kotor, berjenis-jenis sampah yang
mungkin dipungutinya dari timur jembatan, karena terdapat tempat pembuangan
sampah tidak resmi.
Di sebelah duduknya sisi barat, ia
menanam bebijian, mungkin sekadar bagi syarat hidupnya berikhtiar, meski tidak
pernah makan kecuali diberi oleh mereka yang lewat; katanya begitu. Ketika saya
tawarkan rokok ditolaknya, ternyata ia sedang merokok dengan merek lebih mahal
daripada yang saya hisap. Di sisinya yang lain ada selembar uang 50 ribu
rupiah, mungkin juga pemberian seseorang yang berlalu. Yang mengesankan ada
bendera merah-putih persegi tiga yang biasa dikenakan para anggota pramuka, di
sebelahnya ia membakar abu basah yang sebelumnya saya kira dupa.
***
Hampir setengah tahun saya tidak
melanjutkan catatan ini, tepatnya ke bagian 24. Bagian 23 terposting di
fabebook tanggal 26 Oktober 2012, dan kini sudah 9 April 2013. Bagian XXIV
sebenarnya tinggal edit dan sedikit tambahan, namun ada saja halangan atau
belum mendapati irama indah untuk membenahinya menjadi nyanyian renungan.
Padahal kehendaknya dipercepat keberangkatannya, nyata disusul persoalan baru adanya
maklumat “Hari Sastra Indonesia,” setiap tanggal 3 Juli yang disamakan tanggal
lahirnya sastrawan Abdul Muis (3 Juli 1883 di Bukittinggi), peresmian Hari
Sastra Indonesia pun di Bukittinggi 24 Maret 2013 atas gagasan Taufiq Ismail
sebagaimana dikabarkan republika.co.id
Menurut saya, para senior itu sudah
habis amunisi semacam kebuntuan “akal” dalam penciptaan karya lebih ampuh dari
sebelumnya, lalu mencari-cari jalan agar terus (ingin) dianggap keberadaannya,
namun tidak melewati karya. Jangan-jangan batiniahnya telah garing buliran embun sastrawi, sehingga
tinggal ampas tebu tidak sedap dihisap jiwa-jiwa dahaga para penerusnya.
Ataukah dapat disebut Hari Plagiat Kesusastraan Indonesia bertepatan “si
binatang jalang” Chairil Anwar lahir, atau Hari Kebohongan Sastra Indonesia
ditentukan saat SCB merombak makna “Kun Fayakun” menjelma artian “Jadi, lantas
jadilah!” serta “Jadi maka jadilah!” dan seterusnya untuk menghilangkan rasa
kantuk bersastra di Indonesia.
***
Apakah Herakleitos, Melki Tinggal
maupun saya, seolah-olah nasib arwah Sisyphos yang diceritakan Odysseus dalam
karyanya Homer: “Aku juga melihat
Sisyphos dan tugas beratnya yang membosankan. Ia harus mendorong batu besar
dengan dua tangannya ke puncak bukit. Setelah batu itu tiba di puncak, ia harus
menggelindingkannya ke bawah. Setelah itu ia harus kembali medorong batu besar
itu ke puncak, kemudian menjatuhkannya kembali, dan begitu seterusnya.” (The
Odyssey of Homer, translated by W.H.D. Rouse, Published by arrangement with
Thomas Nelson and Sons, Ltd. Penerjemah A. Rachmatullah, penerbit Oncor Semesta
Ilmu 2012).
Lalu jangka waktu setengah tahun
antara saya bersama M. Yamin di atas catatan ini sepenantian tidak jemu,
perputaran masa terus berlangsung pada aliran anak-anak sungai berbeda; batu selalu
menggelinding atas nasib hampir sama di atas berat timbangan takdir berpisah.
Di sini saya temukan proses itu pembelajaran diri kala membaca alam juga
buku-buku disamping memantau peredaran realitas kekinian oleh kaki-kaki ditunggangi
jaman pancaroba. Dari ruang bacaan (teks) di kertas terus ke layar-layar
monitor kian melesat mengurangi daya renungan lama, para senior tua-tua keladi terlupa
jalinan isi sejarah, hanya menengok sesampiran embel-embel, sebab merasa
ketinggalan tetapi tidak melengkapi kekurangan sebelumnya. Serupa berlari
berbaju compang-camping berhasrat mencanangkan wibawa, malah terjungkal ke
tanah. Barangkali telah waktunya orang-orang seperti saya belajar sambil
menghajar, dan penantian ini tidak sia-sia meski terlambat semakin memperoleh
kemantabannya.
***
M.
Yamin: “Sejak 4 Agustus 2013, kita putus berdialog Nurel?”
Nurel:
“Ya Pak, kini tanggal 15 Juli 2017 Bapak saya undang kembali untuk menutup
Bagian 24 Ranting ke (VII) yang waktu itu saya anggap belum rampung, yang kini
sedang dalam editan.”
M.
Yamin: “Lama sungguh perjalanan untuk menghasilkan buku ini?”
Nurel:
“Laku sangat mendalam penuh arti. Tentu Bapak sudah tahu dalam masa-masa itu
saya berpisah dengan ibunya Ahmad Syauqillah, kembara di bumi Ponorogo lalu
menikah lagi tanggal 9 Januari 2015.”
M.
Yamin: “Saya ikut menyaksikan meski dari jauh, maskawinnya sebuah puisi kan,
yang berjudul Sajak Maskawinku Demi Lathifa
Akmaliya.”
Nurel: “Dan tentu Bapak lihat kalau saya sudah punya anak lagi, yang saya beri nama Wislawa Dewi.”
M.
Yamin: “Nama depannya seperti nama penyair Polandia, yang mendapat Nobel Sastra
tahun 1996.”
Nurel:
“Saya sedang baca buku biografi Bapak yang disusun Sutrisno Kutoyo,
pengantarnya ditulis sendiri tertanggal 2 Maret 1976 (enam hari sebelum
kelahiran saya), yang dapat sambutan dari Dirjen Kebudayaan 1986, sementara
tahun terbitannya 1985. Buku itu saya temukan di perpustakaan pribadi istri; sepertinya
pernikahan kedua ini melengkapi segala diri, seminimal mempurnakan data dalam
penelitian yang terus berlangsung beberapa tahun ini. Sedari buku tersebut akan
saya rangkum demi mematangkan pendapat untuk menjegal paham mereka yang gegabah.”
M.
Yamin: “Sebelum itu alangkah bijak ringkaskan biografi Chairil Anwar dari
Wikipedia, namanya kan disebut dalam Deklarasi Hari Puisi Indonesia.”
Nurel:
“Ya Pak; Chairil Anwar lahir di Medan 26 Juli 1922, wafat di Jakarta 28 April
1949 dalam umur 26 tahun. Ia dijuluki Si
Binatang Jalang (dari karyanya Aku),
merupakan penyair terkemuka Indonesia yang diperkirakan telah menulis 96 karya
termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani, Rivai Apin, dinobatkan H.B. Jassin
sebagai pelopor Angkatan 45 dalam puisi modern. Puisi-puisinya bertema
pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme dan
multi-interpretasi.
Ia anak satu-satunya dari
pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera
Barat. Jabatan terakhir ayahnya Bupati Inderagiri, Riau. Ia bertalian keluarga
dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama RI. Orang tuanya memanjakan
dirinya, tetapi ia cenderung keras kepala. Pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), lalu
di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Saat usia 18 tidak lagi sekolah, ia mengatakan sejak usia 15 tahun telah
bertekad jadi seniman.
Di usia 19 setelah perceraian
orang tuanya, bersama ibunya ke Jakarta dan berkenalan dunia sastra; ayahnya
tetap menafkahinya bersama ibunya. Meski tidak selesai sekolah, ia menguasai
berbagai bahasa; Inggris, Belanda, Jerman. Mengisi waktunya dengan membaca
karya para pengarang dunia; Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish,
Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar du Perron. Ia terkenal setelah pemuatan
puisinya Nisan 1942 dan hampir semua
puisinya merujuk kematian. Awal mengirim puisinya di majalah Pandji Pustaka banyak yang ditolak,
sebab individualistis atau tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya.
Semenjak menjadi penyiar
radio Jepang di Jakarta, ia jatuh cinta kepada Sri Ayati, tapi hingga akhir
hayatnya tidak punya keberanian mengungkapkan. Puisinya beredar di kertas murah
selama penjajahan Jepang, dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Menikahi
Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946 dan dikaruniai putri bernama Evawani
Alissa, tetapi bercerai akhir tahun 1948. Ia wafat di RS Dr. Cipto Mangunkusumo
28 April 1949, menurut dugaan sebab TBC, dimakamkan sehari kemudian di Taman
Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Chairil dirawat di RSCM dari 22-28 April,
pada catatan RS karena tifus, menderita paru-paru, infeksi hingga penyakit usus
membawa kematiannya. Makamnya diziarahi ribuan pengagum dari masa ke masa dan
hari meninggalnya diperingati sebagai Hari
Chairil Anwar.
Kritikus A. Teeuw menyebutkan;
“Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat
dalam puisinya Jang Terampas Dan Jang
Putus.” Puisi terakhirnya Cemara
Menderai Sampai Jauh 1949, karyanya yang terkenal Aku dan Krawang Bekasi.
Tulisannya yang asli, modifikasi atau yang diduga diciplak, dikompilasi di tiga buku terbitan Pustaka Rakyat; Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus
(1949), dan Tiga Menguak Takdir
(1950, dengan Asrul Sani, Rivai Apin). Kemudian Aku Ini Binatang Jalang; koleksi sajak 1942-1949, disunting Pamusuk
Eneste, kata penutup Sapardi Djoko Damono (1986), Derai-derai Cemara (1998). Pulanglah
Dia Si Anak Hilang (1948) terjemahan karya Andre Gide, Kena Gempur (1951) terjemahan karya John Steinbeck.
Karyanya banyak diterjemahkan
dalam bahasa asing; Inggris, Jerman, Rusia juga Spanyol; “Sharp gravel,
Indonesian poems” oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California 1960), “Cuatro
poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de
Mallorca 1962), “Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin
Salam” (New York, New Directions 1963), “Only Dust: Three Modern Indonesian
Poets” oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets 1969),
“The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar” disunting dan diterjemahkan
Burton Raffel (Albany, State University of New York Press 1970), “The Complete
Poems of Chairil Anwar” disunting dan diterjemahkan Liaw Yock Fang dengan
bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press 1974), “Feuer und
Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch” oleh Walter Karwath (Wina:
Octopus Verlag 1978), “The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of
Chairil Anwar” oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for
International Studies 1993), dalam kumpulan “Poeti Indonezii” terjemahan S.
Semovolos. Moscow: Inostrannaya Literatura 1959, No 4 halaman 3-5; 1960, No 2
halaman 39-42., dalam kumpulan “Golosa Tryoh Tisyach Ostrovov” terjemahan
Sergei Severtsev. Moscow 1963, halaman 19-38., dalam kumpulan “Pokoryat
Vishinu.” Puisi penyair Malaysia dan Indonesia terjemahan Victor Pogadaev.
Moscow: Klyuch-C 2009, halaman 87-89.
Karya-karya mengenai Chairil:
“Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949” oleh Bagian Kesenian Djawatan
Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta 1953),
Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag:
Martinus Nijhoff 1972)., Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair
Chairil Anwar” (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Sastra, Fakultas
Sastra, Universitas Hasanuddin 1974), S.U.S. Nababan, “A Linguistic Analysis of
the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar” (New York 1976), Arief Budiman,
“Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Pustaka Jaya 1976), “Robin Anne Ross, Some
Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar” Auckland 1976, H.B. Jassin,
“Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45, disertai kumpulan hasil tulisannya”
(Gunung Agung 1983), Husain Junus “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Universitas Sam
Ratulangi 1984), Rachmat Djoko Pradopo “Bahasa puisi penyair utama sastra
Indonesia modern” (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan 1985), Sjumandjaya “Aku: berdasarkan perjalanan hidup
dan karya penyair Chairil Anwar” (Grafitipers 1987), Pamusuk Eneste “Mengenal
Chairil Anwar” (Obor 1995), Zaenal Hakim “Edisi kritis puisi Chairil Anwar”
(Dian Rakyat 1996), “Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar” Eko Tunas,
sutradara Joshua Igho di Gedung Kesenian Kota Tegal (2006).
Puisi-puisi Chairil sempat
dituduh hasil plagiarisme oleh H.B Jassin. Dalam tulisan Jassin di Mimbar Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran dan Plagiat,
membahas kemiripan puisi Karawang-Bekasi
dengan The Dead Young Soldiers karya
Archibald MacLeish, tapi Jassin tidak menyalahkan. Menurutnya, meski mirip
tetap ada rasa Chairil di dalamnya, sedang sajak MacLeish menurut Jassin hanya
katalisator penciptaan.” Lebih banyak lagi tengok
bukunya H.B. Jassin berjudul “Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45,” disertai
kumpulan hasil-hasil tulisannya, Gunung Agung 1956, seharga Rp. 22,50 saat itu.
***
Lalu
saya harus bersikap bagaimana? Kepada para inisiator, konseptor dan deklarator Hari Puisi Indonesia, yang tidak
mencermati jalannya nafas-nafas sejarah tanah air, bangsa serta bahasa
Indonesia, ataupun yang benar-benar tidak menghargai kenyataan sejarah sebelum
melambungkan imajinasi mereka?
Iqra’
(Bacalah!), pada tanggal 7 Maret 1915, Tri
Koro Dharmo berdiri beranggotakan pelajar dari Jawa dan Madura. Dua tahun
kemudian anggotanya diperluas dengan menerima pemuda pelajar dari Jawa, Madura,
Bali serta Lombok, lantas nama organisasinya menjelma Jong Java.
Iqra’ (bacalah!),
sejak semula Muhammad Yamin sudah percaya pada kekuatan yang menuju Indonesia
Raya. Pada Lustrum I dari Jong
Soematranen Bond yang diadakan di Jakarta pada tahun 1923, M. Yamin telah
mengemukakan gagasan mulia dengan pidatonya berjudul “Bahasa Melayu pada masa
lampau, masa sekarang dan masa depan.” M. Yamin telah melihat datangnya bahasa
kebangsaan Indonesia yaitu berasal dari bahasa Melayu, walau pidatonya sendiri
masih dibawakan dalam bahasa Belanda. Ia juga menggubah sajak “Indonesia, Tanah
Tumpah Darah,” yang berisikan bisikan cinta suci murni terhadap Indonesia.
Menyongsong
Kongres Pemuda I 1926, M. Yamin mengusulkan istilah mahasiswa bagi sebutan student, meski waktu itu belum dapat
diterima oleh kalangan masyarakat pemuda, tetapi nyata hal tersebut dipakai di
kampus-kampus seluruh Indonesia hingga sekarang, (di kemudian hari M. Yamin yang membetulkan hari wafatnya Pangeran
Diponegoro tepat jatuh tanggal 8 Januari 1855 dan bukannya Pebruari 1955, ia
juga berhasil melukis wajah Patih Gajah Mada, seperti gambar dan patung yang
kita kenal dewasa ini). Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI)
berdiri di bulan September 1926 sesudah Kongres Pemuda I di Jakarta, merupakan
perhimpunan para student atau para
mahasiswa dari perguruan tinggi yang waktu itu sudah ada.
Dalam
Kongres Pemuda I, M. Yamin belum lagi berumur 23 tahun serta masih menjadi siswa
AMS di Surakarta, betapa ia mampu memberikan gambaran tentang
kemungkinan-kemungkinan hari depan bahasa Indonesia dan kesusastraannya secara teliti,
teratur juga terus terang. Dengan tidak bermaksud mengurangi penghargaan
terhadap bahasa daerah seperti bahasa Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Minangkabau,
Rotti, Batak dll. Ia menutup pembicaraannya yang seluruhnya masih diucapkan
dalam bahasa Belanda sebagi berikut, “Sejarah kini ialah menuju nasionalisme
yang dalam serta luas ke arah kemerdekaan dan tujuan yang lebih luhur, yaitu
kebudayaan yang lebih tinggi nilainya, agar Indonesia dapat mempersembahkan
kepada dunia hadiah lebih berharga serta lebih indah, selaras dengan kebangsaan
kita.”
Menurut
M. Tabrani, sebenarnya pada Kongres Pemuda I secara aklamasi sudah dapat
disetujui bahasa Melayu sebagai bahasa Persatuan. Tapi M. Tabrani berpendapat
dan pendapatnya ini hanya diketahui Muhammad Yamin dan Djamaluddin (Adi
Negoro), bahwa tujuan kita ialah mengarah pada tercapainya satu nusa, satu
bangsa dan satu bahasa. Dan bahasa itu harus pula bernama Bahasa Indonesia,
bukannya Bahasa Melayu walaupun unsur-unsurnya berasal dari bahasa Melayu. M.
Yamin dan Djamaluddin belum dapat menerima pendapat M. Tabroni, karena itu
masalah nama bahasa persatuan ditunda pada Kongres Pemuda II, dua tahun
kemudian.
Prof.
Dr. Hooykaas memberi komentar atas pidato Muhammad Yamin pada Kongres Pemuda I
yang mengenai “Kemungkinan-kemungkinan untuk bahasa dan kesastraan Indonesia di
kemudian hari.” Hooykaas mengatakan; “Pemuda dari Sumatera itu (M. Yamin) akan
menjadi pelopor dari usaha pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar
serta bahasa pergaulan di Indonesia. Sedangkan bahasa Belanda lambat laun pasti
akan terdesak karenanya.”
Pada
Kongres Pemuda II 1928 Muhammad Yamin memainkan peranan besar. Ia sudah bekerja
di tingkat persiapan sebelum rapat-rapat dimulai, bahkan dua tahun sebelum
Kongres ia ikut sebagai pemikir atau perancang. M. Yamin menyelenggarakan
tugas-tugas sekretariat selama berlangsungnya Kongres Pemuda II, kemudian
melaksanakan keputusan-keputusan serta akibat-akibat dari Kongres itu. Ia juga
bertindak sebagai penerjemah pada pidato-pidato yang masih ditulis dalam bahasa
Belanda, misalnya pidato Th. Pengamanan dari Jong Celebes (Manado). Ia tentu telah bekerja sepenuh hati dalam
Kongres Pemuda II, yang selaras ucapannya sendiri; “Hina tabiat pemuda yang
bekerja setengah sampai, takkan ada kehormatan bangsa lain kepada pemuda yang tiada
tahu akan bangsa dan tumpah darahnya.”
Ketika
Sunario SH sedang memberikan ceramah dalam rapat ketiga yang dipimpin ketua
Sugondo, tiba-tiba M. Yamin selaku sekretaris yang duduk di sebelah ketua,
menyodorkan secarik kertas kepada Sugondo sambil berbisik, “Saya punya rumusan
resolusi yang lebih bergaya.” Sugondo membaca rumusan resolusi yang tertulis di
secarik kerja itu lalu memandang M. Yamin yang juga memandang Sugondo dengan
senyuman manis. Reaksi Sugondo spontan “setuju” dengan membubuhkan paraf pada
usul rumusan resolusi. Selanjutnya Sugondo meneruskan usul rumusan resolusi itu
kepada Amir Sjarifudin yang memandang Sugondo dengan mata bertanya-tanya.
Sugondo mengangguk-anggukkan kepala dan Amir membubuhi pula perkataan “setuju”
pada rumusan itu. Kemudian anggota lainnya dari Panitia Kongres Pemuda juga menyetujui
usul resolusi. Demikianlah usul resolusi tersebut diterima secara referendum, naskah
“Sumpah Pemuda” rumusan Muhammad Yamin itu akan dibacakan di muka sidang umum.
***
M.
Yamin: “Nurel, alangkah santun kau memohon kepada mereka untuk membaca sendiri
buku tersebut maupun buku-buku lain, biar tidak seperti menghujamkan belati di
dada berkali-kali.”
Nurel:
“Hematnya seperti itu Pak, namun lumayan untuk menambah beberapa halaman.”
M. Yamin:
“Terserah kaulah, mungkin di sebalik itu ada manfaatnya pula.”
Iqra’
(Bacalah!), Putusan Kongres Pemuda susunan Muhammad Yamin itu kemudian disebut
“Sumpah Pemuda,” yang kian menjiwai semangat pemuda Indonesia dalam masa-masa
berikutnya. Sebagai tindak lanjut dari SP, pada tanggal 23 April 1929 atas
undangan Pedoman Besar Jong Java
wakil-wakil pemuda Indonesia, Pemuda Sumatera dan Jong Java mengadakan rapat pertama di gedung Indonesisch Clubhuis, Kramat Raya 106 Jakarta. Keputusannya; mereka
menginginkan segera didirikan perkumpulan baru yang sejalan dengan kemauan
persatuan Indonesia dan berdasarkan kebangsaan Indonesia serta membentuk Komisi
Persiapan yang dinamakan Komisi Persiapan Indonesia Muda (KBIM). Dalam rapat
tersebut M. Yamin hadir mewakili pemuda Sumatera. Selanjutnya dalam Komisi
Besar itu M. Yamin dipilih sebagai Wakil Ketua, sedang Ketuanya Kuntjoro
Purbopranoto.
Iqra’
(Bacalah!), Komisi Besar Indonesia Muda menyelenggarakan Kongres atau Kerapatan
Besar Indonesia Muda I untuk mendirikan badan fusi yang bernama Indonesia Muda
(I) di Surakarta (Solo) dari tanggal 28 Desember 1930 – 2 Januari 1931. Dalam Kongres
ini akan selesailah pekerjaan Komisi Besar, lalu nama-nama perkumpulan pemuda
daerah seperti Jong Java, Pemuda
Sumatera, Jong Celebes dan Sekar
Rukun, segera dihapus tidak dipakai lagi. Akan tertutuplah jaman pergerakan
pemuda kedaerahan dan diganti dengan jaman baru; jaman kebangsaan nasional
Indonesia.
Muhammad
Yamin (waktu itu masih berusia 27 tahun) dalam Kerapatan Indonesia Muda I di
Surakarta pada pergantian tahun 1930-1931, telah pula mengucapkan pidato
penting berjudul “Kebangunan Bangsa Indonesia.” Kemudian dalam Kongres II Partindo
yang diselenggarakan tanggal 23 April 1933 di Surabaya, M. Yamin dengan
berkobar-kobar telah mengeluarkan semboyan yang sangat keras; “Indonesia
Merdeka Sekarang.” Pada Kongres itu juga memutuskan bahwa seluruh pergerakan
kebangsaan akan menuju kepada pembentukan Republik Indonesia.
***
K’tut
Tantri (1898–1997) kalau tidak salah alamat, pernah menyetarakan Pangeran
Diponegoro seperti Abraham Lincoln dalam bukunya “Revolusi Di Nusa Damai.” Dan
tidak salah kalau pemuda-pemuda di tahun 1920-1930 menyamakan Muhammad Yamin
dengan tokoh Mirabeau. Ialah bangsawan Prancis yang memihak perjuangan rakyat
pada jaman pra Revolusi Prancis dalam perputaran abad 18 menuju abad 19.
Mirabeau mempunyai banyak kesamaan dengan M. Yamin, kedua tokoh tersebut
bercita-cita luhur, tidak menyukai sistem penindasan dan menghendaki kebebasan
dari kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, di Indonesia.
Dari
tulisan M. Yamin 15 tahun kemudian, tahulah kita bahwa yang dimaksud dengan
Bangsa Indonesia adalah semua suku-suku bangsa yang mendiami tanah air kita
Indonesia. Dalam tulisan-tulisan yang kemudian itu ia mengatakan, sejak 28
Oktober 1928 bangsa Indonesia baru dalam pengertian Cultur-nation yang berarti bangsa-kebudayaan, yang masih
bercita-cita menjadi bangsa yang bernegara. Barulah sejak 17 Agustus 1945
bangsa Indonesia menjadi Statesnation.
Dan dalam
Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, terdapat nama Muhammad
Yamin yang disebut pada daftar urutan anggota nomor 2 sesudah nama Ir.
Soekarno. Badan ini melewati dua kali persidangan; Pertama dari tanggal 29 Mei
1945 sampai 1 Juni 1945, yang Kedua dari tanggal 10 Juli 1945 hingga 17 Juli
1945. Dalam Sidang ke I, M. Yamin mengucapkan pidatonya tertanggal 29 Mei 1945 yang
bertitel “Asas dan Dasar Negara Republik Indonesia.” Sebab M. Yamin seorang
sastawan berfikir dengan hati yang besara di jantung, ia menutup pidatonya
lewat syair berjudul “Republik Indonesia.”
Antara
tanggal 22 Juni 1945 menuju hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, M. Yamin
sibuk dalam rapat-rapat demi menyempurnakan rencana Undang-undang Dasar. Dalam
Sidang ke II merupakan rapat-pleno, Muhammad Yamin (beserta Drs. Muhammad
Hatta) masih suntuk mengadakan penambahan-penambahan yang penting dari bagian
hak asasi manusia.
***
Iqra’
(Bacalah!), Kisah
yang berakhir dengan kesedihan di dalam ragam cerita desa ini akan kita lihat
lagi berulang pada karya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka, khususnya pada
roman Azab dan Sengsara karangan
Merari Siregar dan Siti Nurbaya
(1922) oleh Marah Rusli. Di dalam Azab
dan Sengsara (1921) yang dianggap sebagai roman asli yang pertama dalam
bahasa Indonesia… (Subagio Sastrowardoyo “Sastra Hindia Belanda dan Kita” halaman
34, Balai Pustaka 1983).
Iqra’
(Bacalah!), Muhammad
Yamin membuat sandiwara sejarah berjudul “Ken Arok dan Ken Dedes.” Kisah itu
dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1930 untuk pertama kalinya. Menurut
catatan, cerita sandiwara ini sampai tanggal 17 Agustus 1950 sudah dimainkan 39
kali. Sementara jauh sebelum puisi Nisan (1942), dan Aku (1943) karya Chairil Anwar, sudah lahir puisinya M. Yamin bertitel
Andalas, Tanah Airku (1920). Sebutan
Andalas di sana dapat dipahamkan sebagai Indonesia; menurut Sutrisno ini wajar,
sebab M. Yamin baru berumur 17 tahun atau belum luas daerah penjelajahannya,
baik geografi pun sosial, intelek dan kultur. Lagi pula guru-guru Belanda
terutama pengajar sejarah dan ilmu bumi selalu melontarkan semboyan; “Maluku
masa lalu, Jawa masa sekarang dan Sumatera masa yang akan datang.”
Secara
ringkas, penerima tanda jasa tertinggi Yugoslavia “Star of the Yugoslavia Flag”
Kelas I untuk urusan luar negeri serta kebudayaan, tertanggal 24 Desember 1958
adalah Muhammad Yamin; dalam dirinya terhimpun persyaratan seorang intelektual
Indonesia yang gigih dan rajin, tekun berstudi dan belajar sepanjang hidupnya.
Sebagai sastrawan dan budayawan, ia termasuk angkatan perintis Pujangga Baru.
Sebagai sarjana, ia mencapai tingkat tertinggi dan diangkat menjadi Mahaguru
juga giat memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi. Sebagai sejarawan ia
berhasil mengarang berbagai macam buku baik di bidang sejarah lama pun modern.
Sebagai parlementaria, bertahun-tahun duduk di Dewan Rakyat, baik di jaman
penjajahan Hindia Belanda pula di Dewan Perwakilan Rakyat sesudah Indonesia
merdeka. Sebagai ahli hukum tatanegara, ia telah banyak mengarang berbagai buku
hukum negara, dan sebagai politikus ia telah mencapai puncak pengabdiannya atas
kedudukannya sebagai menteri di berbagai kabinet dari negara dan bangsa
Indonesia. (jumputan-jumputan dari bukunya Sutrisno Kutoyo, disunting Drs. R.Z.
Leirissa MA. yang berjudul “Prof.H. Muhammad Yamin S.H.”).
Dalam
buku tersebut disertakan beberapa hasil maha karya M. Yamin, baik berupa
risalah maupun buku, sejumlah 44 judul. Bagi saya, Mr Muhammad Yamin banyak
kesamaannya dengan Sir Muhammad Iqbal dalam pembentukan Negara Pakistan, oleh
karena para sastrawan serta kritikus Indonesia banyak yang cemburu mungkin,
menjadi agak enggan mempelajari secara mendalam hasil-hasil karyanya atau malah
condong pada penyair kemarin siang. Kini pembaca dapat membandingkan, apakah
penyair si penyadur jalang Chairil Anwar ataukah nama sastrawan Muhammad Yamin
yang sepantasnya disebut di dalam teks Deklarasi Hari Puisi Indonesia?
Maka saya ungkap perkataan Adolf
Hitler bagi diri pribadi juga bisa sebagai saran untuk mereka; “Aku adalah serdadu tanpa nama, satu di
antara delapan juta orang serdadu! Sehingga lebih baik aku menjaga lidahku dan
melakukan tugas di sepanjang parit perlindungan sebaik mungkin.” (Hitler “Mein
Kampf,” VII: Revolusi). Maka perbaiki parit-parit kalian, karena saya akan
melewatinya tanpa basa-basi, lantaran ini tuntutan jaman kalau belajar dari
kebodohan. Sinahu kewarasan adalah
melangkah kritis tanpa terlalu sungkan
dan tiada takut memantabkan langkah kebenaran. Karena sejarah berada dalam
kepalan tangan, dan perlindungannya pada kejujuran berita yang tersiarkan!
***
19
Juli 2017 Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.