(kupasan ke empat dari paragraf
lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
I
Taufiq Ismail: “Enak jadi
penyair daripada yang lain.”
A Mustofa Bisri: “Enaknya
gimana?”
Taufiq Ismail: “Kalau
orang baca syair sampean keliru,
misalnya. Yang disalahkan ndak sampean,
yang disalahkan dirinya sendiri.”
A Mustofa Bisri: “Wah saya
ndak paham ini, terlalu tinggi.”
(Ceramah Gus Mus pada
acara Haflah Seni dan Budaya dalam Peringatan Tahun Baru Islam 1428 H di
Pekalongan).
***
Tengok Bagian
15 kejadian di Surakarta pada malam 4 November 2011, lalu baca petikan dialog
Afrizal Malna bersama Heyder Affan (Wartawan BBC Indonesia), yang dimuat
tanggal 24 September 2016 di bbc.com dengan judul; “Afrizal Malna, Politik
Sastra dan Puisi Gelap.”
Jadi, inti alasan penolakan Anda (terhadap penghargaan
Achmad Bakrie Award 2016) adalah Anda khawatir dari konstruksi media yang
membuat Anda seolah-olah terkotak-kotak?
Ya, dan ini berkaitan erat dengan politik sastra di
Indonesia. Politik sastra di Indonesia itu satu politik yang saya tidak tahu
dikuasai oleh siapa, tapi kalau Anda melihat, misalnya, akhir-akhir ini
bagaimana Majalah Tempo mengangkat lagi Chairil Anwar, ada lagi yang mengangkat
lagi koleksi-koleksi Sukarno di galeri Nasional, ada lagi misalnya kita melihat
lagi film-film di era Sukarno, sementara kelompok-kelompok agamawan, mengangkat
lagi sastra sufi melalui Abdul Hadi dan Sutardji Calzoum Bachri. Semua itu
untuk saya seakan-akan meniadakan perkembangan sastra sekarang ini. Jangankan
generasi saya, generasi di bawah saya itu, mengalami kesulitan untuk terjadinya
regenerasi sastra. Kalau misalnya sastra dijadikan semacam tombak, atau
tonggak, atau bandul, untuk kita selalu diajak lagi kembali ke masa lalu.
Seakan-akan kita tidak pernah punya wilayah yang kita bangun sendiri untuk di
depannya.
***
20 Juli
2017 Marhalim Zaini menulis di status facebooknya “Di zaman ini, menjadi sastrawan itu, gampang kok....” Jika membaca
kata-kata Afrizal, rasanya sangat sulit berbanding terbalik dengan perkataan
Marhalim. Mungkin ungkapan itu disengajakan sindiran bagi para penulis karya
sastra, yang betapa mudahnya kini naik daun, melesat tidak perlu waktu lama
sudah kerap diundang dalam acara sastra sekaliber nasional, misalnya. Sementara
karya-karyanya belum mapan kokoh, durung
cukup teruji oleh pergolakan jaman.
Kehadiran
manusia setengah matang itu berakibat gampangnya ditarik-tarik ke wilayah
politik sastra. Ada yang menyebut mereka penggembira, sebab sebentar akan hilang
ditelan para pendatang baru yang juga setengah matang (karbitan); ini dimanfaatkan
seniornya menancapkan pengaruh serta pandangannya yang terlanjur mengikuti
pendahulunya yang belum berhasil membangun sastra Indonesia secara terhormat ke
mimbar dunia. Maka tidak heran orang-orang mentah jadi terkotak-kotak,
sekaligus disibukkan ritual mengangkat patung tinggi-tinggi yang disangka
pelopornya telah berhasil membangun tonggak sastra. Demikian kritikusnya betapa
gampang terkurung ruang sempit yang barangkali didorong kepentingan pribadi (sesaat),
atas hasratnya ingin lekas mengumpulkan laporan kejadian sampai perihal pokok
terdekat sejarah yang ditelitinya lepas terlupa.
Saya kira
Afrizal tahu politik sastra di Indonesia dikuasa siapa saja, dan kini kubu-kubu
sastra kian membeludak tidak terhitung jumlahnya. Afrizal lanjut berujar: “Sekarang sastra Indonesia menarik ya. Saat
ini muncul banyak kelompok yang menciptakan versi-versi. Ada versi hadiah
Khatulistiwa Award, ada versi Hari Puisi Indonesia, ada yang kemarin agak ramai
33 sastrawan terkenal itu ya. Saya suka cukup banyak versi-versi ini ya, tapi
yang menyedihkan adalah tidak pernah terjadi dialog antara versi-versi ini.
Kalau misalnya terjadi dialog, versi-versi ini akan memproduksi pengetahuan.
Kenapa mereka membuat versi ini, kenapa membuat versi itu. Karena tidak ada
dialong, maka yang terjadi kontraproduktif.” Dan hal ini menjadikan kurang
obyektifnya suatu penelitian, sebab hanya di gerbong masing-masing; terlanjur
condong (mempertebal) keyakinan mereka sendiri-sendiri. Yang mempersulit untuk duduk
bersama, lebih fatal kondisi tersebut melemahkan pertumbuhan sastra ke arah
kematangan.
Sketsa tersebut
barangkali lantaran kuatnya kaca cermin politik di tubuh pemerintahan yang terkotak-kotak
partai, atau hal itu penjelmaan dari beberapa media massa yang mengusung
sebagai corongnya kubu-kubu mereka, oleh berjubelnya kepentingan antar golongan
karena nafsu para pentolannya yang sangat mudah membantai maupun rujuk atas
dorongan perut ke bawah. Dan langkahnya semakin tidak rasional; meninggalkan
rakyat ketika uang di saku membengkak, lalu berbalik menebarkan ranjau janji-janji
saat isi kantongnya menipis.
Saya serasa
bersama Janual Aidi di puncak Gunung Tambora, Rinjani pun lainnya sambil
melontarkan kalimat; “Tidak mungkin alam ini tercipta sendiri, dan tidak
mungkin bisa rusak sendiri.” Saya melihat kekacauan di atas akan menguntungkan pribadi suntuk
belajar, tekun membaca jeli mengamati, cermat memilih dalam kebeningan pikir, yang
tidak mudah terombang-ambil terperangkap situasi jaman edan. Namun betapa
banyak orang setengah matang jadi tumbal, penggembira jadi sampiran, yang cepat
puas menjadi korban; mungkin itu keinginan jaman demi memunculkan bibit mempuni,
tidak goyah iming-iming, tidak gampang terpesona gula-gula, tidak lekas
terpukau batiniahnya. Ini terbaca tidak dalam sesaat masa, namun bertahun-tahun
pandangan terbuyarkan menemui kejelasan, ketika duduk jenak mengkaji keilmuan dengan
sebenar-benar obyektif dari bebahan yang seimbang tentunya.
***
Baca paragraf 5-6 esainya Dr. Ignas
Kleden, lalu ingat kritik saya dalam buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan
Sutardji Calzoum Bachri.” Hassan Hanafi
berpetuah; “Bagaimana mungkin seorang
yang bercuci tangan bertanggung jawab atas keramaian hidup ini? Bagaimana
mungkin seorang yang membebaskan diri bertanggung jawab tentang dosa-dosa jaman
modern dan tentang fenomena kemiskinan serta penderitaan?” Sementara para
kritikus yang terkotak-kotak lekas cuci kaki, menganggap tugas mulianya sudah
usai. Ini otomatis menindas generasi selanjutnya, seperti kata Afrizal.
Arah politik sastra yang carut
marut hanya bisa membebaskan kreatifitas kelompok masih-masing, yang dikiranya
telah memberikan makna pada kehidupan berbahasa dan berbangsa. Seandainya sikap
Sutardji
seperti wawancara Afrizal yang tidak terperangkap kelompok tertentu di kancah
politik sastra, tentunya terbebas dari belenggu. Nyatanya malah memperkuat
kelompok hingga jurang perpecahan kian melebar, menambah sulitlah menciptakan
jembatan kesadaran bersama. Beban ini terus menumpuk, jika kritikus sastra
tidak memiliki sikap bijaksana yang berakibat pembacanya tidak segan kepadanya,
dan berimbas dianggap (seolah-olah) tidak ada kritikus sastra di Indonesia.
***
II
Alangkah indah saya kembali kepada Ibn Khaldun; “Pikiran
bekerja dengan kekuatan yang ada di tengah-tengah otak yang memberi kesanggupan
menangkap bayangan berbagai benda yang bisa diterima oleh panca-indera, dan kemudian
mengembalikan benda-benda itu ke dalam ingatannya sambil mengembangkannya lagi
dengan bayangan-bayangan lain dari bayangan benda-benda itu.”
Kita ingat di bebagian lalu
mengenai perangai akal atas paham al Kindi sampai pengulitannya Majid Fakhry.
Dan sebelum ke pendekatan Ibnu Khaldun soal berfikir, saya tuangkan buah pengantar
bagi kesempatan merambahi kata-kata di tanah kelahiran. Sebab bebulan lalu
belum sempat mengguratkan tinta di bencah
Lamongan, maka anggap ini perayaan kecil serupa kangen keharuman kembang sedap
malam, meski belum genap memalam.
Tahun 2004 saya menulis di buku
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga; “Makna
jodoh ialah lebih ajaib dari mimpi.” Dan segerak perjalanan diri, rasanya batasan
keajaiban telah terkuak. Saya memperoleh penyadaran mengimbangi kasmaran,
dengan memandang puncak realitas. Keterjagaan memberi bulir pekerti mematangkan
pendewasaan, bahwa semua di timbangan akal. Kadang tampak tidak mungkin
lantaran belum menyibak kabut perasaan lama, atau jari-jemari nalar belum
menyentuh tekstur hakiki.
Memang tidak dapat dipungkiri
takdir misteri Ilahi, seperti air tenang sulit ditebak betapa halus seakan tidak
sanggup meraup logika darinya. Pun seturut perjalanan masing-masing diri, tapi
bolehlah edarkan kembara, misal menjelajahi sejarah mendapati pepundi bernilai
senapas merawat kesadaran yang selalu terjaga, dan keajaiban menjadi biasa; sehembusan
olahan napas-napas pekerti menuju pengertian hayati.
Lalu teringat semasa bocah, ketenteraman
alam berbalut keriangan belia, menuntun kaki-kaki menghampiri kehalusan
percaya, semua rahayu meski ada buah pahit maja. Kefitrian rasanya oleh ikhtiar
mengimbagi gejolak jiwa, memuara ketentuan atas kehendak-Nya. Jika melihat laju
catatan ini, tidak tersangka meski ada bayang sebelumnya, pilar rencana berkembang
seolah sebutir jagung yang dilempar filsuf Thales ke lautan, kemudian berenang mengikuti
ombak gelombang hidup berkejaran sebagai hukum penyebaran.
Bencah tanah kelahiran serta hawa
udaranya berbeda dengan tlatah
Ponorogo. Lamongan daerah Pantai Utara Jawa, berhawa agak panas dan letak saya
tempati di dataran rawa-rawa, maka tidak banyak angin yang menyapa. Lain dengan
wilayah Betoro Katong, desir bayu rahayu berhembus kencang bertumpuk menebalkan
ingatan masa silam, menguatkan kesenian tradisi terus melestari, hingga para
generasinya masih menghormati pilihan hidup berkesenian, dibanding di tempat
saya berdiri.
***
Untuk mengimbagi pertemuan, saya
masukkan yang tertulis di Bumi Reog mengenai filosofi Kali Tempuran, ataukah
saya sedang menyatukan unsur kerinduan demi terbangun jalanan kebersamaan.
Rasanya diatur oleh kehendak alam, naik-turun dihebuskan ketetapan-Nya, ini penjelajahan
menuju perjumpaan yang mengekalkan persemaian.
Nenek moyang orang Jawa memiliki
keyakinan, “Barang siapa yang bertapa di
letak bertemunya dua arus sungai, akan mendapati kesaktian.” Mata air yang tumbuh
dari pegunungan bersimpan magma pergolakan, memunculkan sumber air mengaliri
kaki gunung pebukitan, curah hujan disimpan tanah diserap akar ke jantung pohon,
tumbuhlah batang cecabang-reranting, mengisi lebat dedaunan. Ketika hujan deras
mengguyur hutan segar terjadi letupan, dan mata air itu jalan panjang
pernafasan di tubuh pegunungan.
Dari gunung muncul beberapa mata
air mengalir, bersebut anak-anak sungai ke lekukan bebatuan kaki bukit, lembah,
tanah perkampungan. Sungai-sungai dari mata air pegunungan sama pun lain
berjumpa menambah daya, pertemuan arus memperbesar penyatuan mesra. Peleburan penuh
lika-liku perjalanan berpisah sedari stupa gunung atau pegunungan berbeda
betapa lain pengejawantahannya dalam kodrati penurunan, ini percumbuan asyik
bersimpan mara bahaya.
Perjumpaan dua arus berbenturan mengisi
aliran lanjut dan letak wingit di
pusaran awal. Di tempat itu orang dahulu bertapa menyelami perbedaan-persamaan
arus-arus sungai yang menimbulkan pemikiran cemerlang. Ibarat sastra bandingan
mengkaji antar teks dari sumber berbeda demi memperoleh putusan imbang. Wingit bisa
dimaknai kekosongan sekaligus kepenungan. Yang kosong kembali mengantarkan arus
menggelinjak terhalangi bebatuan, dan kepenuhan sebab hukum melengkapi sudah tercanangkan.
Anak-anak sungai seperti murid dan
guru, meski kedudukannya berlainan sejatinya sama anak-anak dari ibunda kehidupan,
yang mereguk nikmat pencarian keilmuan. Pada belahan lain pertumbuhan di
dataran Timur-Barat; yang mampu menyatukan irama memperoleh pengertian kala mengurai
sejarah peradaban, dan karya orang-orang besar itu bukti kesanggupan; mereka
dalam kekaryaannya selaksa bersila antara beberapa arus sungai yang bertemu dalam
pergolakan hidupnya, yang mewarnai ke punjer penciptaan.
Anak-anak sungai hayat antar
gagasan dalam persinggungan sama berhasrat meleburkan kandungan yang dimiliki,
kadang seimbang pula njomplang tergantung berapa dinaya arus mengalir dari
sejarah panjang yang diarungi. Letak Kali (Sungai) Tempuran itu benturan
terjadi di bangku sekolah, kursi pendiskusian, penyelidikan satu bidang serta persamaan,
atas beberapa permasalahan di meja penelitian. Dan menanti timbangan peradilan
demi memperoleh kondrat semestinya disandang pada bidang tertempa, sesuai
takaran takdirnya.
Alamat perbedaan anak-anak sungai di
antaranya, paham memegang hitungan nalar, berpangku di bawah kesadaran, serta
sumber pengetahuan spiritual. Saya jadi teringat Kali Tempuran di daerah Magelan,
kala musim penghujan arusnya berlipat-lipat penambahan, penjumlahan bermakna perkalian.
Semacam fokus ke satu bidang dari beberapa energi pemikiran-perasaan, atas
lawatannya ke langit pengembaraan. Ketika burung elang sudah kuasai ribuan
gelombang angin tekanan suhu udara seperti penjelajahan anak sungai. Saat hinggap
di gugusan batu atau ranting pohon, ia tampak tenang bak penguasa yang sudah
mengetahui alur hukum perubahan.
Sumber mata air mengarus menjelma
anak-anak sungai ialah kerinduan Adam-Hawa, kangennya sebab lama terpisah yang
dulu bersatu di pegunungan firdaus. Tuhan menurunkan ke bumi tidak pada dataran
sama saling mencari, atau rasa kehilangan laksana mimpi buruk ditinggal kekasih.
Di siang kesadaran, anak sungai merintih ke reranting pohon menjulur ke
permukaan air, kadang berputar mencipta lesung manis menghanyutkan. Di malam kayungyung berat memadati tubuh aliran
terbius masa kelam. Lantas betapa gembira dua insan memandang bertemu kecupan, gairahnya
bertubi-tubi sebesar Kali Tempuran menyenggamai tuntutan alam dari sepasang
kekasih menjadi aturan pertumbuhan-penyebaran.
Iramanya membicarakan pengalaman
saat-saat berpisah sebelum menyatukan paham dari pengelanaan masing-masing,
sebagai timbangan demi aturan kelak bagi anak turunnya. Persamaan, ketika air Kali menggumuli perbedaan sebagai
penyatuan pandang berlalunya arus pelan mengalir ke ladang tandus membasahi
pesawahan gersang untuk kehidupan insan.
Budi pekerti hukum kekekalan,
kaidah terbit dari nasib aliran, yang dilakoni anak-anak sungai menggelinjak membentur
ke dinding bebatuan. Merasakan uap menyapa ikan-ikan berenangan, menyembuhkan
haus dahaga kembara yang berkaca. Semua direkam kuat, dijumputi satu-satu
seperti kidung merdu tidak saja dikenang pula dihayati bagi penopang Kali
Tempuran. Itulah mimpi (harapan) kemanusiaan; kelanggengan, nyanyian abadi,
syair yang tidak lekang mengikuti perubahan jaman atas pasang-surutnya
kesadaran mempelajari kehidupan.
***
Saya dipertemukan sesosok manusia yang secara balutan fisik
‘gila,’ seperti di Lamongan (wajahnya, ada kemiripan). Pagi di Ponorogo saya berpapasan
di jalan yang biasa terlewati; auranya tidak lagi ganjil, tapi lumrah meski
masih bersimpan kewibawaan sama. Jangan-jangan saya sudah masuk kegilaannya,
sampai tidak asing terhadapnya? Pertemuan itu tetap asing, merambahi kewajaran
tidak saling kenal? Masih ada getar memandangnya, namun tetap sebagai manusia
asing seperjumpaan anak-anak sungai? Atau belum tahu persis, ini asing
sekaligus kenal sebab mendialogkan jiwa? Ini tidak kenal jadi wajar berasa
asing, tetapi di batas masuk akal karena sekadar berpapasan.
Dan sebelum perjalanan Lamongan ke Ponorogo, ada hal aneh. Orang
itu biasanya dari barat ke timur atau sebaliknya, namun pagi itu dua kali
menjumpai di tempat berbeda. Pertama biasa, kedua berpapasan di jalan lain,
tepatnya dari arah utara menuju Selatan. Ini tidak pernah saya lihat, tapi masih
merasakan jarak kedekatan, ataukah hanya saya yang merasakannya? Meski ia jalan
ke selatan dan saya dari utara di belakangnya, sejauh pandangan ia balik
menghadap utara melihat saya seolah menanti. Saya tidak asing, dan sepertinya mulai
kini terasa biasa, meski pada perihal tidak wajar. Atau mungkin persoalan yang menimpa
diri saya lebih asing, sehingga ke puncak kewajaran tertentu yang masih asing
bagi mereka.
***
III
Sudah lewati seratus kali
lebih bolak-balik Jogjakarta-Ponorogo pun sebaliknya. Dan saya tidak bosan
membaca alamnya, meski jalannya ini-itu tidak banyak berubah, tapi seolah menyimak
lembaran baru senantiasa. Peristiwanya sekuat membaca buku serius, karena sekali
kantuk bisa berakibat fatal, misal membaca sambil lalu akan mendapat pengertian
menyimpang, atau terjadi penafsiran mengsle mudah njomplang, maka nikmatilah
perjalanan yang menyegarkan badan-jiwa, dengan persiapan yang baik.
Perjalanan jauh yang diulang-ulang
semacam laku merevisi tulisan, pun menyuntuki kembali kitab berbobot dengan
terus mematangkan pemaknaan yang digali, syukur dapat melebih cakrawala yang
tersuratkan. Adalah kematangan pengertian yang dikenyam setua naik-turunnya
jalan yang terbaca menerus, atau usia bacaan membumi sedalam tempaan hayat.
Membaca, menulis, dan
perjalanan fisik yang dibarengi berfikir, akan menimbulkan kelelahan asyik, diam
mengeja makna di depan pun yang terlewat. Kebisuan terindah selalu memperbaharui
kesadaran, menanjaki tangga kedewasaan, ketekunan merambati puncak konsentrasi
menajamkan belati pengertian, merumpilkan keraguan, karena hati kerap bolak-balik
memegangi bara keyakinan.
Perubahan musim terpaan
menerus menguji tumbuhnya pepohonan pula menentukan cabang rantingnya menjulur.
Batang-batang kayu jati, mahoni, trembesi, randu diterpa hawa sama, bedanya ditanam
di atas bukit, di lereng pegunungan. Dan perputaran musim itu musti, yang sanggup
menjaga ketahanan sampai batas usianya. Demikian batuan gunung diguyur hujan
lebat, rintik gerimis, dikurung mendung, dihardik mentari, semua terbebani waktu
terus menua. Apa bermakna di saat hidupnya, setelah tumbangnya, atau kurang berfaedah
bagi lainnya.
Sebelum perjalanan, seperti
membaca judul buku dan daftar isinya. Ketika dikerjakan berulang akan meremajakan
pikiran, sambil membuka lelembarannya untuk mengingat yang pernah lewat, demi
nanti menanjaki jalan memperoleh wawasan mapan. Kerap saya melewati Gunung
Kidul sesekali mampir ke Desa Ngelipar di rumah teman Indarto, salah satu
daerah di mana saya membenamkan diri “Kitab Para Malaikat” tepatnya di Bukit
Ngerempak.
Laluan berliku naik-turun
berkelok yang kanan-kirinya dihiasi pohon jati serta lainnya, mengabarkan suatu
musim sedang menerpa. Kadang melalui pebukitan yang ditanami rumput pepadi, dan
langit memberi isyarat cuaca yang diberitakan awan melayang di udara. Bayu
sepoi-sepoi keindahan bahasa terhampar, sedang sang surya men-yepyur-kan butiran cahaya ke relung-relung
semesta seolah menaburkan buliran nyawa bagi kekayaan dunia. Lalu nafas-nafas
menyatu hangat menandakan nyanyian alam memeluknya, seperti persahabatan guyub
sentausa.
Kepayahan di perjalanan
hampir sama sesuntuk belajar, dan khusyuk berdialog dengan buku-buku atau mengerjakan
tulisan; perlunya mengatur nafas, emosi, merawat kegelisahan. Ini terasa indah
senikmat pelesiran ke taman-taman kemungkinan dengan diam-diam, atau bacaan
yang kelak tampil di panggung pelajaran. Semua boleh bersuara, kala bobot yang
dirasakan sama.
Ketika melalui Waduk Gajah
Mungkur serupa memasuki bab berikutnya dari bagian buku yang terbaca, keayuan
alam memesona yang ditawarkan menghibur, sejenis kajian dalam kitab yang mulai
menyeruak dalam. Adanya melodi rayuan menyemai lembar-lembar berikut, senada
simfoni ketiganya Beethoven. Perasaan merinding mengundang gemetar, nyanyian
halus di jalanan berliku, pepohonan di kanan-kiri jalan memayungi orang-orang
lewat melalui dua jembatan panjang, dan batin ditarik berhenti sejenak demi
merasakan badan waduk yang menghampar luas.
Perjalanan jauh sebulan
sekali dan lebih seperti perokok yang beberapa jam tidak merokok, maka memulai
hisapan terasa menyandu yang mengembalikan segenap kebugaran, sikap tampan
nalar mapan seolah memanggil semua bacaan yang pernah tersimak, seakan hidangan
bersusul-susul saling berebut ingin diincipi. Tentu pembaca sudah bayangkan
jalan Wonogiri menuju Purwantoro naik-turun tajam berkelok, seirama simfoni
kelimanya Beethoven. Ada keseriusan menantang ketika mengendarai motor sambil menggembol
beban berat tentunya menyuguhkan keutamaan perhitungan, dan pertimbangan jernih
memeriahkan puncak kebahagiaan.
Ketika diawali pagi-pagi setelah
subuh, rasanya menyongsong hari baru. Berangkat ke arah timur sambil menanti
mentari siuman dari tidur panjang, lamat-lamat bayangan remang pelan memudar
membentuk keterjagaan. Ada perbedaan, antara yang semalamnya tidur dan terjaga;
jika malamnya terlelap pagi hari terasa anyar,
suatu yang pantas diucapkan selamat, seperti kerling mata jelita pandangan
pertama. Jika malamnya terjaga dan paginya melangsungkan perjalanan, seakan
menguak bagian hidup dalam perputaran, semisal menyaksikan persiapan hingga
pentas digelar.
***
IV
Untuk mencerna pelayaran-pelayaran di atas, saya turunkan
perkembangan daya pikir seturut pandangan Ibnu Khaldun (1332-1406) dari bukunya
Muqaddimah, yang diterjemahkan
Ahmadie Thoha, terbitan Pustaka Firdaus, Cetakan ke tiga, September 2001, pada
Bab VI halaman 522-523. Membagi penalaran ke dalam tiga tingkatan, yang diperkuat
landasannya dengan Al-Qur’an, Surah al-Mulk ayat 23. Berpikir, fikr, ialah
penjamahan bayang-bayang di balik perasaan, dan aplikasi akal di dalamnya membuat
analisa dan sintesa. Inilah arti kata af-idah (jamak dari fu-ad) pada firman
Allah ta’ala: “Dia yang menciptakan kamu
dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan akal. Tetapi amat sedikit
kamu bersyukur.” Fu-ad ini yang dimaksud pikiran, fikr dan kesanggupan
berpikir ada beberapa tingkatan:
“Tingkatan
yang pertama ialah pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang
ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tata yang berubah-ubah, dengan
maksud supaya dia dapat mengadakan seleksi dengan kemampuannya sendiri. Bentuk
pemikiran semacam ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi. Inilah akal pembela
(al-‘aql ut-tamyizi) yang membantu manusia memperoleh segala sesuatu yang
bermanfaat bagi dirinya, memperoleh penghidupannya, dan menolak segala yang sia-sia
bagi dirinya.”
“Tingkatan
kedua ialah pikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan prilaku yang
dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang bawahannya dan mengatur mereka.
Pemikiran semacam ini kebanyakan berupa appersepsi-appersepsi, (tashdiqat) yang
dicapai satu demi satu melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasakan
manfaatnya. Inilah yang disebut dengan akal eksperimental, al-‘aql at-tajribi.”
“Tingkatan
ketiga, pikiran yang memperlengkapi manusia dengan pengetahuan (‘ilm) atau
pengetahuan hipotesis (dzann) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi
indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Inilah akal spekulatif (al-‘aql
an-nadzari). Ia merupakan persepsi dan appersepsi, tasawwur dan tashdiq, yang
tersusun dalam tatanan khusus, sesuai dengan kondisi-kondisi khusus, sehingga
membentuk pengetahuan lain dari jenisnya yang sama, baik perseptif atau
apperseptif. Kemudian, semua itu bergabung dengan hal-hal lain, lalu membentuk
pengetahuan yang lain lagi. Akhir dari proses ini ialah supaya terlengkapi
persepsi mengenai wujud sebagaimana adanya, dengan berbagai genera, diferensia,
sebab-akibatnya. Dengan memikirkan hal-hal ini, manusia mencapai kesempurnaan
dalam realitasnya, dan menjadi intelek murni dan memiliki jiwa perseptif.
Inilah makna realitas manusia (al-haqiqah al-insaniyah).”
***
Akhirnya saya sampaikan; jauh
sebelum buku ini dimulai, dari kemunculan awalnya kurang tertarik ikut cawe-cawe, pun saya memandang dunia
sastra melalui jendela di kamar belajar, dan ketika hadirnya kritik sebab
perihalnya sudah kelewat. Tentu para pembaca karya saya sudah paham, bahwa kelembutan
ini menegakkan kebenaran sekaligus memukul habis yang sewenang-wenang. Ada
kawan yang bilang gaya tulisan kritik saya lugu, tapi dengan keluguan pun
mereka yang tertohok bungkam tidak mampu bersuara. Begitu pula alur ini
berangkat dari autodidak nekat di atas ketampanan referensi yang tidak gampang
diganggu atau coba saja; karena saya belajar sambil menghajar!
Ketika memulai urusan ini,
setelah baca tulisan kritikus sastra Ignas Kleden dan menyaksikan catatannya
membawa angin segar, di samping pemapar berdekatan emosional dengan orang-orang
yang terlibat di dalamnya. Kata lain, larik-larik kalimatnya halus bijak dengan
takaran sesuai porsinya, sejenis sentuhan lembut penuh cahaya rasa seperti gerimis
di Jogja. Namun masalah pengklaiman dari sebelum masehi sampai jaman mendatang,
terus mencederai sekeliling, meski dilakukan hati-hati tanpa tendensi selain menyiarkan
secara bajik, apalagi jika dikerjakan atas maksud lain lagi serampangan, bisa
dipastikan mengundang protes. Hal itu wajar, atau jangan-jangan mereka ingin
adanya penggugat? Sepertinya, jika menengok langkah kecerobohannya, tapi semuanya
kembali ditimbang perjalanan masa, yang senantiasa menguji pandangan anak-anak
jamannya, serta mengikuti derap langkah kaki-kaki sejarah.
Di
tengah-tengah pulau dikelilingi Bengawan Solo, Pilang, Tejoasri, Laren,
Lamongan 6 Agustus 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.