Senin, 02 Maret 2015

(II)

Nurel Javissyarqi

Ketikamenyelidiki sejarah, kita melewati lelembaran waktu beraura. Menyusuripepohonan berita ke masa silam, penuh lebatnya bayangan prasangkan. Sangsi jugakemungkinan yang merajalela di kepala. Kita menjadi tamu saat berhadapan jarak,maka emosi kesungguhan kudu bergerak bersedekap. Pemahaman penerimaan tulus,dengan mengharapkan rahmat atas kemungkinan ilmu pengetahuan.

Penasaranyang tidak terbendung, membangun tangga atau jejaring pemikiran ke rawa-rawakesaksian. Menjulurkan tangan mengambili bunga-bunga padma pengetahuan, agartumpukan memori sanggup terpetik bagi hikmah kedamaian. Lewat ketenanganlahterwujud, menyimpulkan berserak. Betapa yang sedang terlakukan cara gamang,miris lagi lekat cemooh akan pengadaan. Karenanya, setelah suntuk mencermatiseksama, perlulah mengendapkan rasa, memasuki keakrapan tanpa bercermin. Sebabkesaksian tengah ada di depan mata. Sekilas firasat terbersit penyimakantertera, mengikuti naluri menjelajah.
Angka1222 sebagai angka terus saya kenang. Angka memiliki misteri yang tidak menutupkemungkinan beradu pandang kejelasan, meski bukan tunggal dalam satuanpengertian runtut. Kita melihat naskah Arjunawiwaha ditulis di tahunruntut 1334 (Holle), berasal dari pertapaan di Parahyangan. Dimungkinkan tempatasal naskah Kunjarakarna, yang rupanya dari abad empat belas diterbitkanoleh Kern. Dan Brandes dalam karangan mengenai Diponegoro tahun 1888.
Bagisaya, angka-angka runtut menyimpan daya revolusi. Saya jadi teringat mitos yangmenyatakan; tiada pujangga lagi di tanah Jawa Dwipa, sepeninggal R. Ng.Ronggowarsito (1803-1873). Kalau penulis berpandangan, mitos itu dicetuskan danserbuknya sampai sekarang. Namun tidakkah menelisik pemaknaan pujanggamasa itu, tengah terjadi penyempitan makna yang berarti pujangga (bhujangga,dari bahasa Sangsekerta berarti ular naga, dan R.Ng. Ronggowarsito bertandatangan ular naga); ialah sastrawan yang diangkat atas kerajaan. Seyogyanyatidak lantas dimaknai bahwa pujangga harus berangkat dari abdi kerajaan, dapatbermula juga dari orang-orang bebas, yang tidak memiliki ikatan di suatupemerintahan.
Sayasering mengunjungi makam beliau (Pujangga asal Surakarta tersebut dan kepesantrennya di desa Tegalsari, Jetis, Ponorogo, yang dibelakangnya terdapataliran sungai Keyang, tempat beliau bertapa), dengan harapan dapatmenuturkan suatu kali di tempat lain. Dan penulis mengagumi berdirinyaShingosari, sebab menyaksikan gerak gairah hidup Ken Angrok merebut kekuasaan,melewati garba gadis Panawijen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.