Senin, 02 Maret 2015

(III)

Nurel Javissyarqi

Sayaingat betul perjalanan menyusuri jejak Ken Angrok. Mendapati buku pinjaman darialmarhum Suryanto Sastroatmodjo, tetapi buku lawas tersebut tidak penulisfotokopi, sehingga detailnya kurang bisa menceritakan. Ketika bertanya kepadabeliau, buku tersebut dipinjam temannya namun tidak kembali. Buku bersampulmerah tulisan hitam, berjudul Sejarah Kerajaan-Kerajaan Tanah Jawa,penyusunnya guru besar Universitas Gajah Mada, sewaktu beliau menjadimahasiswa.

Jauhsebelum cerita di atas, sewaktu kecil saya mendengarkan kisah Ken Angroksebagai hikayat yang menghidupi tanah Jawa. Penyebarannya melewati mulut kemulut atau cerita bertutur. Karena sudah menjadi fosil semacam mitos, dantanda-tanda keberadaannya pun kian melebur. Di samping cerita rakyat mengenaiSogol dari sumur gemuling, juga Mbok Rondo Ndadapan, yang terletak di desaNdadapan, tujuh kilo meter dari kediapan penulis.
Ditanah Singosari, Malang, saya mendapati satu candi bernama Candi Shingosari,disebut juga Candi Ken Dedes. Kalau menurut wisatawan tahun 1803-1939, candi didaerah Singosari sebanyak tujuh buah, ini dimungkinkan karena sebuah dinasti adalahtujuh turun raja. Karena candi tempat pemujaan, bisa ditujukan pada raja-rajatelah mangkat atau bersungkem kepada Yang Wenang. Juga tempat abu jasadnya,kalau tidak dilabu ke lautan.
Candidi Shingosari yang tinggal satu merupakan wujud keserakahan penjajah tanpamelihat dampaknya, menghapus monumen-monumen bersejarah di tanah Dwipa. Selainperubahan alam, juga kurangnya perhatian oleh perubahan wacana menujukehancuran nilai sejarah.
Teringatlahsaya akhir buku bertitel The Birth Of Tragedy Nietzsche, lewatmenuliskan suara Aeschylus; "Tapi pertimbangkan juga hal ini, orang asingmenakjubkan. Betapa banyak bangsa ini harus menderita agar menjadi begituindah! Tapi kini ikutlah bersamaku, menjadi tragedi dan melaksanakan upacarakurban pada kuil kedua dewata!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.