Senin, 02 Maret 2015

(IX)

Nurel Javissyarqi

SebelumTapa Wangkeng berdiam dalam samadi, dirinya diberi kemampuan lebih. Sanggupberbicara dengan dedaunan, burung-burung menyapa di perjalanan. Ialah kodrat,suatu waktu menjadi petapa kata-kata alam semesta raya, dalam gua keheninganhayati.

Suaragelegar terus-menerus menggelepar di balik hatinya, yang dibolak-balikkanlaksana mensucikan kalbu. Dibingungkan sedari ketetapan lama, jiwadirevolusioner atas kedatangan gema. Kadang menghentak keras mendekap, pun jauhmenyengat kedalaman rupa.
Bisikanmenjelma teriakan, lengkingan gemuruh berucap kata:
"WahaiTapa Wangkeng
berhentilahbertapa
kaukini berkelanalah
mencariseorang wanita
yangkan menjadi istrimu
namanyaNyai Ndok
kauharus menggaulinya
sebabdengan itu
ilmukumengalir kepadanya."
Mendadaksuara itu menghilang, disusul keheningan amat sangat, ketenangannya setajamlaknat.
MulanyaKi Mpu hendak menggeser lengan, namun seakan membatu, urat-urat kaku, kakinyapun bernasib demikian. Seperti bayi lembek tulang, kulitnya keriput mengeras,seolah tak mampu melaksanakan. Semakin berusaha bangkit dari pertapaan, kianpadat jasadnya tidak mau digerakkan. Cukup lama berusaha, lagi-lagi menemuikegagalan.
Lalupetapa itu memasuki alam semedi kembali, menggerak-gerakkan organ tubuhnya dalamhening. Melepaskan ikatan jasadnya yang telah membatu karang, dari kecadasanasinnya garam pertamaan menempa.
Diamengenali nafas-nafasnya kembali, menyadari bayu mengibas anak-anakan rambutnyaikal panjang. Sedikit demi sedikit menuju kepemilikan, yang lama tidakdiperhatikan, yang pernah tak dirasai. Yang terbuang dari keramaian, mati rasasengatan mentari, terbiasa dingin hujan membekukan masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.