Senin, 02 Maret 2015

(VIII)

Nurel Javissyarqi

TapaWangkeng seorang biasa awalnya, mungkin kecewa wewarna yang disuguhkan dunia, mulaimencari kesejatian, memasuki wilayah tanpa tlatah, tidak terbatasiruang-waktunya. Sebagian pendapat berkata, dia minder setelah berhadapankeganasan manusia. Namun dalam kehidupan berupa sanggahan, tidaklah mutlakkebenarannya.

Sebuahpertimbangan melucuti diri dari Kepanditaan, Brahmana maupun Shramana. Diaseorang pernah suntuk dengan gemilang keduniawian, telah kenyang kebrutalan di masamudanya, seorang habis muak kegemaran lama. Meninggalkan balutan fatamurgana,demi mengharap kelembutan hakiki tidak berubah.
Awalsamadinya menguasai ruangan. Ketika tak diperhatikan, makin sempit kehendakruang waktu menerkam. Saat dimasuki kesadaran, mencengkramlah dunia. Setelahmencoba berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, ditemukannya ketepatan,yakni kepasrahan.
Memasrahkanbeban di luarnya sampai batas sirna. Dia tidak berada atau terlapisi ruangan,menjadi ruang terjadi yang dimasuki apa saja. Ruang tidak beruang, angincahaya memasuki kedirian. Padat maupun uap, serupa tidak menembusi apa-apa,sebagai ruang telah akrab.
Setelahmengelola kegunaan ruang-waktu hingga ganjil kembali, barulah keluar darijeruji membelenggu. Memasrahkan diri, menyusuri tanpa pengekangan. Waktubergairah, namun bukan kegembiraan atau luapan amarah. Mengalir menelusupisegenap penjuru hening.
Darisekian masa-masa, tiada lagi merasakan kantuk memberat. Kantuk maupun laparhanyalah periodesasi ruang-waktu. Ketika terlewati, berlalu tanpa menarikbenang panjang harapan jauh.
Sebelumdi puncak itu, dia hanya memakan buah-buahan yang dijatuhkan kelelawar.Keberangkatan doa mantra puja keharusan kepada Pencipta. Menaiki tangga isyaratawal, setelah tingkatan kebebasan hewani. Menembus padatnya keangkuhan dengki,pun nuanse yang sanggup melucuti ke tingkatan terendah kembali.
Diamengulangi berkali-kali, celah-celah berangsur terpenuhi lelaku memberat. Yangpernah merasakan pun berulang balik sangat sulit. Sebuah jalan tidakmemungkinkan, kecuali dikehendaki Sang Maha.
Disuatu masa menggoda, dia merapalkan mantra dewa Brahma, komat-kamit dalamkesendirian terpencil, kekhusyukan yang tidak terdeteksi. Dan datanglah suaramenggemuruh, badai petir-halilintar berpadu. Dirinya seakan tak mampu terimaberkah menyakitkan itu.
Tubuhnyagemetaran, dia tak pernah merasakan sebelumnya kecuali sebentar, kali itu lamabertambah besar memenuhi semedi. Disusul seruan lembut penuh permai, yang takasing serasa suaranya sendiri. Bagaikan penyair terlupa maknanya kata, sangkinglamanya terbebani nasib kata-kata.
Ketikakekhusukan serupa, wewarna kata-kata bercahaya, menjelma bahasa pengertian yangmudah terejawantah. Menterjemah simbul panggung gemawan. Kala sang petapamenyimaknya, menjadikan mempuni selaksa berbahasa Ilahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.