Senin, 02 Maret 2015

(V)

Nurel Javissyarqi

Masaitu bencah Dwipa, pohon-pohon tertancap hijau perawan, rimbun daun-daunnyaberwarna purba. Jika musim kemarau melanda, serupa gadis cantik lanjut usiabelum menikah.

Sebuahsiklus yang tidak terjemah ulah pakola hasrat kuasa, kecuali telempap disebutpemukiman. Rata-rata penduduknya buta huruf, yang mampu membaca aksara dianggappemilik kesaktian, ilmu linuwi menembusi makna meleburkan tinta hitam titahpujangga. Orang-orang agung masa itu para dikjaya kanuragan, kematangan jiwamencerna alam. Selembut dentingan merdu suara gamelan, yang berasal tetesan airdalam goa keheningan.
SangMpu bersemedi dalam kesendirian, merapalkan babak kan terjadi. Membaca isyaratpertiwi yang terbawa burung-burung jarang berkidung, serta kelelawar tidak lagimenghuni lembah. Sang petapa menyeimbangkan budhi pekerti, demi mendapatkanridho Ilahi. Ketika kecerdasan mulia diberi kedudukan, di sanalah awal mulaperubahan.
Batudan air bersenda manisnya embun pagi, di mata para penduduk desa berkacaperigi. Gunung-gemunung berapi gagah bertengger di langit ungu di kala senja, serupatubuh-tubuh dewata manyaksikan kekerdilan manusia. Cabang-cabang pohonmenjalarkan sayang, kasih memberi salam kecupan mesra. Gadis-gadis datang daripedalaman, menuju sendang kemungkinan telanjang. Bermandi mencuci pakaian,bersukaria sesekali diintip pejaka. Awal sebuah keisengan jahiliah, yangmeruntuhkan martabat insan.
Kendaraanhanyalah cikar atau pedati yang ditarik sapi-sapi jantan, lainnya berjalan kaki.Ketika kesombongan membungkus persaingan, keserakahan, bersukaria-berlebihan.Perintah kerajaan dijunjung tinggi serupa ajaran Gusti, saat agama benar-benarmenancap dalam dada beriman.
Masapenulis sampaikan ialah berkembangnya kerajaan Kediri, ketika Shingosari belumterbentuk, Tumapel diperintah seorang tumenggung. Kelas-kelas martabat memungkinkansesamanya saling menghisap darah dan keringat.
Daerahpebukitan antara desa Lebak dan Pungkur, bertapalah Mpu Tapa Wangkeng, duduk bersiladi atas batu dikelilingi ilalang, pepohonan juga tanaman menjalar. Namun engganmendekatinya lebih, menyerupai lahan kosong melingkar, taman hijau persemedian.Selalu merapalkan mantra pemujaan, demi Sang Maha Agung pencipta alam.
Ketikaterik menyengat punggungnya legam hitam, saat hujan deras menggigil kedinginan.Tak bergerak sama sekali bagai arca ditinggal kemajuan. Para penduduksekitarnya tiada berani mendekati tempat pertapaan. Seakan mencium kepekaanmarabahaya, jikalau melintasi rerimbun pepohonan waru, trembesi, mahoni, jati,putat serta ilalang yang menyembulkan duri-duri tajam. Di samping ketakutannyaakan makhluk buas, yang kasunyatan maupun kegaiban.
Bertahun-tahunMpu menghadapkan diri pada Sang Yang Pencipta, tiada hewan-gemawan beranimengusiknya. Seakan ada atmosfir besar ketika kedekapan mulai akrab, dan Tapa Wangkengberada dalam ruangan tiada kebertemuan. Sebuah lengkungan lingkar tak terlihat,namun sanggup menggariskan, pagar bulat tidak tampak, tapi tiada yang mampumemasukinya, serupa kaca bening setebal benteng mengelilingi istana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.