Senin, 02 Maret 2015

(VI)

Nurel Javissyarqi

Takjauh dari letak pertapaan Mpu, terdapat aliran sungai gemerincing, gemerecakbagai canda para gadis dengan batu-batu terjal nan ayu. Selekuk tubuh meruncingmenuju barat bersedekap erat pekabutan pagi, memancarkan sinar badannya ketikasiang menerawang. Kala senja alirannya khusuk memasuki malam kedamaian. Sebabtidak berjauhan, malam-malam Ki Mpu selalu diiringi suara ricikan deras, melodinyamendekat, dikesempatan lain nadanya hilang ditelan samadi.

Diusianya telah genap matang, dia bertambah mantap serupa pohon jati tidak lekangperpindahan musim. Ketika kemarau daun-daunnya rontok, di kedalaman batangnyamenyimpan berjuta-juta keajaiban. Sekali hujan datang, daun bertumbuhan antarareranting dan cabang-cabang. Keunikan tak terkira, kala bayu belumlah menyapakesadaran purna.
Watakditempa berulang pengalaman, menjadi batu sekaligus bayu. Batu pendirianmendekam teguh, menancapkan keyakinan menuju yang dituju, dan bayu halusmenelusupi sela-sela waktu mempelari peredaran alam. Bagaikan batuan granitdidatangkan langit takdir memberi penalaran berlipatan pamor pusaka, menelisikke bawah kerendahan hati menyenangkan jelata pemberani, serta memberiperingatan para penguasa.
Petapamenemukan kebuntuan, wewarna legam membingungkan saat penalaran mengeja badanmengejawantah. Namun lambat laun akrap keadaan, sebagai awal pembelajaranpengetahuan. Segarisan horizon bersegala kemenjadian, gerak perasaan memasukiselubung sukma pusaran ruh paling tunggal. Kedekatan intim, mengosongkan wujudsangsi, wasangka juga curiga was-was.
Sebelumitu, Tapa Wangkeng melewati rayuan menghadang di antara masa dikulitinya jiwa,memasuki selubung rahasia tanpa suara tanpa warna dalam keterasingan, sampainyawanya seakan terlepas ketika segalanya sirna, tiada lagi malih rupaperolehan. Inilah inti daripada keheningan, henang-hening-henung dalam pusarantanah membumbung ke langit terang tanpa warangka. Begitulah diri ketikatiada kuasa, seperti si gila berjalan letih tergganjal kelopak matanya,kesendirian padat duduk bersila bagaikan stupa.
Malam-malamdatang, hadirlah rembulan sepotong-potong harapan, dia mengarungi lautan bathinbertambah, tiada lagi ingatan-kelupaan, seirama kekosongan bukan melompong. Diatengah berhadapan tanpa menghadapkan muka, sebab dalam bumbung kemungkinanterus naik, disetingkap pelajaran usia. Murid tidak sadar ilmunya bertambah,atau guru lupa tengah sinau kepada muridnya. Berkah ilham itu menyerupaipusaran angin dingin ke pekuburan ditumbuhi kemboja.
Diamerasakan detak-detik usianya berbeban sangat, hari-hari bergantimenghanyutkan, tetapi dirinya seperti orang berenang dengan rambanan, kadangnaik terhempas dibawa gelombang, tanpa pedulikan berapakali bernafas menghirupudara dalam-dalam. Sebuah peredaran cepat tidak tampak perubahan, seperti bumimengelilingi matahari seolah sebaliknya, begitulah petapa dalam kesadaran danketidaksadaran.
Kesadarannyabukan tanah tumbuh-tumbuhan, bukan miliknya burung atau ular di rawa-rawa,namun udara ditarik angin kasih rerumputan, bunga-bunga, putik-putik pernikahan.Siklus yang sebelumnya tidak sanggup diperhatikan, tertutup kabut halimunkepekatan, hanya suara risik dedaun kabarkan secumput penyelidikan. Ketikasiang mendung memberi ampun tanah kerontang, dialah air menguap perasaan awangemawan di sekitar peredaran. Anak-anak manusia menjelma naga, sebagai alasanseekor ular selamat dari pembantaian penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.