Nurel Javissyarqi
***
Sebelum mengudar jauh, saya ungkap mentalitas para pelaku sastra (sedikitnya diri saya mungkin). Kita kerap terpukau oleh kupasan-kupasan yang
dinalarkan, dialog yang diandaikan memperkuat bangunan yang hendak dicanangkan,
apalagi dari orang-orang bertitel (sekecilnya para senior), serta adanya ketakutan disaat menyuarakan langgam ketidaksesuaian kepada mereka. Rasa minder itu membentuk watak kepatuhan berupa mengamini apa saja yang dilayarkan, padahal belum mesti
telah purna. Bisa jadi mereka bermain dengan embel-embel pelajaran yang pernah dikenyamnya.
Sedangkan kedinamisan ilmu pengetahuan akan harum semerbak, jikalau menegakkan panji-panji agung; suara-suara sejati yang terbit tidak hanya hadir dari bangku
sekolah semata, dapat juga dari taman-taman kembang kehidupan lainnya.
Perasaan takut tidak dianggap
keberadaannya, hawatir dikira pengacau, culun membebek yang menggerus jiwa hingga tidak mampu mengeruk kehakikian kreatif pada dirinya.
Maka yang muncul baju seragam, ini otomatis tidak mengindahkan fitroh hayatnya sebagai insan berfikir. Nalar tidak sampai bergolak mendidih, hanya sehangat kuku dipanasi kayu arang penalaran orang lain, karenanya kembali membeku dalam pencariannya. Seperti berdiam di kutub ketaklidan; nafas-nafas tersengal cuma mampu berselancar ringan, kalau para pendahulunya itu dianggap mentereng sudah menerangkan. Dan
pengoreksian tinggal diam atau desas-desus tidak memiliki asas yang bisa
dipertanggungjawabkan!
Terus terang saya lebih condong pada gagasan yang telah melewati satu
abad misalkan, setidaknya sudah teruji atau adanya kemungkinan diterima nalar-kalbu sebagian insan. Dari pada
berpegangan atas
hasil-hasil belum teruji kebenarannya, meski dari corong
berpendidikan tinggi. Kerap saya maknai isu, jika gagasannya
belum benar-benar diuji (belum melalui tempaan pahit yang mendalam sekaligus
menyeluruh) seperti kicauan gosip. Maka penggallah mereka para pembunuh rahmat-Nya (para pengancam atas hadirnya
kemungkinan, para penolak semangat ijtihad) sedini
mungkin, sebelum penalaran saudara pecah sendirian di atas usaha keras memeram
gejolak jaman dalam diri sekalian.
***
Sejak belia, kita kerap dicekoki oleh bentuk-bentuk pengenceran otak agar pribadi menjadi lembut, santun dan
patuh. Apakah pujian, penalaran masuk akal yang diperkuat dalil-dalil juga abstraksi miring, agar menerima jalan-jalan yang telah ada,
maka berlengganglah (lempenglah) langkah sejarah bersegenap pembodohannya. Kemerosotan makin kentara, melihat permasalahan bertumpuk
menggunung tidak diselesaikan bersamaan wewaktu pengujian yang
dilontarkannya di muka. Laksana hutang negara takkan terbayar atau wabah korupsi di tubuh pemerintahan yang merajalela. Dan alam susastra kita dijangkiti wabah hama tersebut oleh terlena hanyut di atas daya memukau, tersebab tidak suntuk menelisiki akar masalah yang tengah terjadi!
Hal mencorong (terang
benderang) itu
memunculkan pemberhalaan di dalamnya, serupa artis ngepop
sebab goyangannya, sosok kemayu mengandalkan olahan fisik, penampakan setubuh titel dibandingkan gema suara karya yang diluncurkannya. Hingga timbul
pertanyaan yang kurang mendasar; siapakah
yang berbicara? dan bukan yang dibicarakannya. Kasus ini menampilkan orang-orangnya dan tidak hasil-hasil karyanya, menerangkan nama-namanya dan bukan capaiannya. Andai yang terkenal
gagasannya, hal
itu berangkat dari nafas-nafas penyelewengan, mengada-ada
yang direkatkan semangat jamannya dengan telaten sampai yang kurang
teliti silau olehnya, lantas lekas-lekas mengamini, serupa mitos jendela awan di langit, dimasa-masa pengetahuan mengenai hujan belum terjangkau. Maka kesadaran di seluruh bidang pengetahuan
wajib dilibatkan, di sisi menengok pergeseran sesuai, ataukah ngambang dekat keraguan, sebab hukum remang cepat tertelan jaman!
***
Serupa bayangan mimpi barusan, pengakuan dari orang-orang yang dianggap besar, kelak menjelma monumen
(tugu). Melihat-mengingat, betapa dan berapa banyak berhala di
tengah-tengah kota tidak mampu berdialog dengan jaman yang terus menemui perubahan. Seorang tua penjaga pintu, tidak
menyadari datangnya senja, orang-orang yang diangkat sebagai
sastrawan dari generasi tertentu, tetapi kecelik tidak
berkreasi lagi (mandul), lebih parah di antara karyanya palsu alias njiplak. Di sini pengujian, bukan malah salah kaprah pujian
dimaknai sindiran itu dijadikan pegangan, semisal HB. Jassin disindir sebagai pausnya
Sastra Indonesia, maka apa saja yang keluar darinya seolah benar semua, lalu
merasa aman jikalau mengutip tulisannya, seakan sudah sejalur rel kereta. Sepadan judul bukunya Hudan Hidayat, Nabi Tanpa Wahyu (Penerbit
PUstaka puJAngga) ialah sindiran kepada Taufiq Ismail, namun
patut disayangkan juga HH pula lantas terperangkap mentalitasnya ‘orang mapan’
dengan bukti ianya menyematkan kata ‘Tuhan’ di sebelah namanya, seperti jurnal
yang sempat digagasnya Jurnal Sastra Tuhan Hudan. Titel presiden penyair SCB pun jikalau si penyandangnya mawas, lebih dekat cemoohan, sebab peranannya tidak ada sama
sekali dalam pemerintahan susastra di
Indonesia, alias lucu bin wagu yang membikin
menjamurnya badut-badut di daerah, yang baru kacung bisalah disematkan namanya
sebagai
bupati penyair, juga keculunan lain.
Semenjak pangkat ditaruh di pundak,
maka kokohlah. Lalu (entah mengapa) mereka silap cepat-cepat mengangguk hingga analisanya (kritiknya) menuju ke
bentuk pembenaran, meski bersusah payah mencari padanannya; di antara gagasan
keblingen penyair dengan pola-pola penalarannya, yang sebelumnya jeli menyusupi
rongga cipta pengarang. Ini kentara saat mencermati tulisannya di meja bedah, berpola apa dan berkehendak mengaburkan, mencocokkan jalannya nalar
dipunyai dengan yang diteliti. Maka membaca ulang sangat perlu (wajib),
barangkali anggukan awal itu semacam rasa kenyang (puas), atau suka cita yang keluar
dari kesadaran termiliki dikala itu. Dan keterpukauan atau kerap menganggap benar terlebih dulu, di mana saat baca
sudah menurunkan beban kewaspadaan, yang secara langsung mengikuti pola yang di-gembol-nya, seumpama berbondong menggandol angkutan umum meski itu membahayakan, tetaplah ikut grubyuk.
Dan bebentuk penyimpangan contoh
diberikan lewat bebahan kajian yang kita terima, laksana
petuah dukun kepada seseorang yang berkeadaan kalut, lantas kepercayaan yang
terbit tidak lebih kemerosotan dari jiwa-jiwa yang terkunci oleh kilauan pamornya.
Juga yang melingkupi pengalaman hidupnya seperti prestasi diterima, padahal jikalau meneliti bahan perbandingan -belum seberapa, tapi kita
sudah demam duluan di atas kehawatiran kurang beralasan yakni ketakutan. Serta
sulit jika sudah banyak yang telah menerima, tetapi saya sangat optimis lantaran hati mudah berbolak-balik mencari-cari
letak dataran di atas kebutuhan jaman. Setindak langkah keganjilan perubahan agama atau sistem kepercayaan yang tumbuh di
tanah Jawa; yang
pergeserannya mampu menggerus keimanan mereka
pelahan-lahan seolah sulapan di dalam diri
para umatnya, dibandingkan dengan kokohnya hukum dagang, seperti perlawanan kaum Sudra
disaat-saat Kerajaan Majapahit di ambang kehancuran, dan pola tanam tembakau
yang terus dikuasai para pemodal.
Pergeseran nilai yang pelan namun
pasti tersebut semakin jauh dari permasalahan, sehingga
fungsi daya cipta yang diteliti hampa dari gerak perubahan jamannya. Hanya
mendiami wajah teorisasi yang terlepas dari akar muasalnya, jadilah bayangan ilmu-turunan yang bernafas
di bangku
perkuliahan semata, karena tidak punya nafasan lebih yang sampai menapaskan dinaya ciptanya keluar dari tubuh
gagasannya. Tanpa segan saya sebutlah akal-akalan permainan, latihan bernalar
agar dikira sudah purna hasil pendidikannya, dengan tidak memiliki
(meninggalkan) kecurigaan capaiannya. Jangan-jangan ada perasaan ketakutan di dalam membongkar ulang, atau hawatir dianggap mencla-mencle semacamnya. Dari sana kekeliruan itu tetap bertahan,
malah ada yang menghembuskan berlebih, tentu berasal dari anak-anak turun yang
sudah siap mengamini, meski sekadar kerenyutan ringan di dahi.
Agar tidak berlama-lama saya turunkan
saja kajiannya
Dr. Ignas Kleden yang berjudul; “Puisi dan Dekonstruksi:
Perihal Sutardji Calzoum Bachri.” Dan mari menyimak esainya
yang saya dedah pelahan-lahan;
15 Juni 2011 / 23 Malam 24 Juni 2015 / 26 Oktober 2015.
http://pustakapujangga.com/2012/12/bagian-1-membongkar-mitos-kesusastraan-indonesia/
http://pustakapujangga.com/2012/12/bagian-1-membongkar-mitos-kesusastraan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.