Tampilkan postingan dengan label Kritik Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kritik Sastra. Tampilkan semua postingan
Jumat, 20 April 2018
Acara Bedah Buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” di FIB Universitas Indonesia
Minggu, 17 Desember 2017
Bagian 25: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
(kupasan ke empat dari paragraf
lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
I
Taufiq Ismail: “Enak jadi
penyair daripada yang lain.”
A Mustofa Bisri: “Enaknya
gimana?”
Taufiq Ismail: “Kalau
orang baca syair sampean keliru,
misalnya. Yang disalahkan ndak sampean,
yang disalahkan dirinya sendiri.”
A Mustofa Bisri: “Wah saya
ndak paham ini, terlalu tinggi.”
(Ceramah Gus Mus pada
acara Haflah Seni dan Budaya dalam Peringatan Tahun Baru Islam 1428 H di
Pekalongan).
***
Sabtu, 28 Oktober 2017
Bagian 24 (VII): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
VII
Bung Karno sendiri menganggap Sumpah Pemuda 1928
bermakna revolusioner: satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke,
masyarakat adil dan makmur, dan persahabatan antar bangsa yang abadi. “Jangan
mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar
mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah
satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Soekarno
dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta
28 Oktober 1963. (Rudi Hartono, “Sejarah
Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda,” berdikarionline.com 20 Mei 2011).
***
Selasa, 17 September 2013
Bagian 24 (VI): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
VI
Data-data di bawah ini jumputan sepintas
dari Wikipedia, sedangkan urutannya mengikuti buku “Tanah Air Bahasa, Seratus
Jejak Pers Indonesia” terbitan I:boekoe, Cetakan I, Desember 2007.
Ketika menulis buku
kenang-kenangannya di tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatatkan nama Tirtohadisoerjo,
seperti berikut: “Kira-kira pada tahun
berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian
karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M.
Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu
bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita
Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut
pelopor dalam lapangan journalistik.”
Bagian 24 (V): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
V
Nurel: “Pak Yamin, Bapak Ki Hadjar
Dewantara pengen nimbrung.”
M. Yamin: “O… Mas Dewantara, dipersilahkan
masuk, Nurel.”
Nurel: “Ya Bapak” (Selanjutnya
mereka berdua ngobrol dan saya membuka Laptop).
Dewantara: “Assalamualaikum”
M. Yamin: “Waalaikumsalam”
Bagian 24 (IV): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
IV
M. Yamin: “Sebelum berlarut, ambilkan
pengertian Sumpah Palapa lebih dulu di Wikipedia.”
Nurel: “Ya Bapak. Sumpah Palapa
ialah suatu pernyataan atau sumpah, yang dikemukakan Gajah Mada pada upacara
pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, 1258 Saka (1336 M).
Sumpah ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi: “Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun
amuktia palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara isun amukti
palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring
Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti
palapa.” Terjemahannya, “Beliau Gajah
Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, Jika telah
mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan
Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.”
Bagian 24 (III): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
III
M. Yamin: “Kenapa tidak ambil data
dari karya-karyaku, Nurel?”
Nurel: “Buku-buku Bapak berada di
Lamongan, sedang saya kini di Ponorogo. Ya semoga sebelum catatan ini rampung,
bisa pulang dulu ke kampung halaman.”
M. Yamin: “Kelanjutan daripada ini apa?”
Nurel: “Saya lagi memikirkannya Pak,
tepatnya memilih beberapa kemungkinan.” Dan…
***
Bagian 24 (II): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
II
Di bawah ini saya gunakan beberapa
pendekatan, ada dongengan bagi yang suka cerita, serta jalur lain. Terpenting
tidak lepas dari harapan M. Yamin, yakni lima faktor yang memperteguh ikatan persatuan;
sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan.
***
Bagian 24 (I): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan ke tiga dari paragraf lima
dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Dialog Imajiner Mohammad Yamin
tentang “Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” (I-VII)
I
“Mungkin
selera saya belum terbentuk dengan baik, pendapat saya mungkin keliru. Pokoknya
Anda tahu bahwa saya terbiasa mengatakan terus-terang pendapat saya, atau lebih
tepat perasaan saya. Saya curiga bahwa pendapat orang sering dipengaruhi ilusi,
mode atau tingkah sesat. Sedangkan saya berbicara secara alamiah. Mungkin saja
keadaan alamiah pada diri saya masih belum sempurna, namun boleh jadi juga
pendapat alamiah ini masih sangat kurang diperhatikan oleh kebanyakan orang.” (Voltaire, L’Ingénu, 1767, terjemahan Yayasan Obor
Indonesia, Januari 1989).
Senin, 04 Juni 2012
Bagian 20: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan keenam dari paragraf tiga dan empat, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
I
Untuk mencapai nol
kembali, harus
mendengar lalu melaksanakan “kejahatan.”
Beberapa hari di Watucongol, Muntilan,
Magelang. Demi ke pucuk Gunung Pring tanpa dibebani wewaktu kesibukan, namun pelan seirama
langgam kelanggengan sepautan kata-kata Nietzsche, bahwa kasih semacam kejahatan yang sempurna. Saya terjerumus ke dalam pusaran pesantren kembali, lantaran
mendengar adanya seorang setiap pagi memberi makan tetangganya
yang jompo, sejenis kejahatan kecil saya yang kadang membagikan buku-buku secara cuma-cuma; memanjakan sekaligus meremehkan diri sendiri. Menganggap pribadi ringan
sebongkahan daging yang diberi napas,
tidak lebih agung dari hujan lebat yang membanjiri kota-kota besar dalam membersihkan polusi udara?
Jumat, 24 Februari 2012
Bagian 19: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan kelima dari paragraf tiga dan empat, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
“Dunia
pelajaran, ilmu pengetahuan, tidak mengenal perbedaan golongan-golongan
tinggi-rendah, atau kaya-miskin.” (Confucius)
I
Bismillahi-rahmani-rahim...
Bagian ini dan seterusnya, mulai mengalami pergeseran besar-besaran dari bebagian lalu.
Meski tetap mendedah paragraf IK, namun porsinya menjadi sampiran. Ini tidak lebih karena kekecewaan saya oleh kesalahkaprahan akbar di beberapa tempat pandangan SCB, yang tampak
terlampau dholim pada ajaran agama
pun terhadap
dalil akli ilmu pengetahuan, sehingga tidak menghasilkan keilmuan kecuali ditopang asap para
spekulan. Sampirannya setitik tekan semata dan lebih lapang menyoroti hikmah para pendahulu Timur-Barat yang kerap berlainan pendekatan, maka saya di sini berikhtiar menyeiramakan perolehannya.
Senin, 06 Februari 2012
Bagian 18: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan keempat dari paragraf tiga dan empat, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Sesuatu yang esensial itulah yang mengubah suatu potensialitas menjadi
aktualitas, baik dengan maupun tanpa perantaraan. (Ibnu Sina)
I
Selalu saja saat mengawali tulisan, diri
ini merasakan bergetar dan untuk mengurangi debarannya dengan kata-kata pengantar. Pada awalan kini bercerita tentang pertemuan saya dengan tiga orang gila (balutan fisiknya begitu); mereka merasuki jantung. Orang gila yang pertama sama yang sudah terceritakan di bagian VII, kali itu ia menuju ke arah barat seperti
perjalanan saya, demikian juga yang kedua, hanya jarak antara yang pertama dan kedua, satu kilometeran. Yang ke
tiga di kota Bojonegoro sewaktu tengah malam, dia meringkuk berlimutkan sampah plastik sebagai penghalau hawa dingin oleh rintikan hujan gerimis.
Selasa, 17 Januari 2012
Bagian 17: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan ketiga dari paragraf tiga dan
empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
I
“A masterpiece always moves, by definition,
in the manner of a ghost” (Jaques Derrida, Spectres of Marx).
Sudah
lumayan lama tidak melanjutkan tulisan, terhitung setengah bulan lebih. Kini menginjak
angka 17, nomor yang saya sukai, bilangannya
sama dengan
tanggal kemerdekaan Republik Indonesia, tujuh belas bulan Agustus 1945. Setelah membenamkan diri beberapa masa sambil membaca ulang dan membenahi catatan lama, Alhamdulillah cara belajar semacam ini mengalami peningkatan. Melodinya sedari pertama terlihat kemajuan, seperti deburan gelombang mendedah kesaksian, ke puncak-puncak tertakar pula lebih sadari kelemahan juga beberapa temuan yang mengecewakan.
Jumat, 06 Januari 2012
Bagian 16: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan kedua dari paragraf tiga dan
empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
I
Gugatan untuk Anugerah Sastra Mastera
(Majelis Sastera Asia Tenggara) 2006, dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian
Riau 2000, yang meloloskan pengertian “Kun Fayakun,”
(yang dirombak
oleh Sutardji ke dalam bahasa Indonesia
dengan
membentuk makna; “Jadi, lantas jadilah!, serta Jadi maka jadilah!”).
Bagian 15: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan pertama dari paragraf tiga dan
empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
“Esai-esai (godaan subyektivitas)
Ignas Kleden semacam obrolan menggurui, nadanya bertele-tele dengan tempo lamban, musik orang mapan seperti lagu kenangan yang nglokro, ini cocok bagi pemalas atau para pensiunan, dan bukan sejenis irama
keroncong atau musik klasik yang meski pelan berjiwa keterlibatan. Di sana IK berjarak, demi memperoleh pandangan obyektif, maka yang terjadi pada tulisan-tulisannya semi
ilmiah.
Mungkin hanya satu yang saya suka, yakni yang sedang terkupas kini agak lain dari kebiasaannya bercuap-cuap.”
Bagian 14: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan ke nol dari sebelum paragraf ketiga, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
“Wahrheiten wollen erkannt und festgestellt, eben
bewahrheitet sein; die Wahrheit selbst bedarf dessen nicht, sondern sie ist es,
die allein bewährt, was irgend als wahr erkannt sein und gelten soll.” “Segala
kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu
sendiri tidak perlu akan itu, karena ialah yang menunjukkan, apa yang diketahui
benar dan harus berlaku.” (Paul Natorp, Individuum und Gemeinschaft, diterjemahkan oleh Dr. Mohammad Hatta).
***
Bagian 13: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan keenam dari paragraf kedua, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Mitos angka tiga belas,
banyak yang mengira sebagai nomor
kesialan, mungkin ada yang menganggapnya hingga ke tataran mempercayai. Sebab kini menemui bilangan ke 13, saya kan membuka selaputan penuh kalimat pada paragraf satu dan dua dari esainya IK, melalui kaca mata tiga dimensi.
Kamis, 05 Januari 2012
Bagian 12: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan kelima dari paragraf kedua, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Untuk menjadi telaah karya yang istimewa, harus ada ketajaman dalam menggali kepengrajinan karya,
inspiratif dan orisinal, argumentasi yang meyakinkan, dan keberanian menafsir (Jakob Sumardjo).
***
Tahun
1999 saya bermain ke TIM (Taman Ismail Marzuki) dan mendapati buku “The Creative Process” susunan
Profesor Brewster Ghiselin, dialihbahasakan Wasid Soewarto yang diterbitkan pertama kali oleh Gunung Jati Jakarta di bulan Januari 1983. Jauh sebelum itu saya memfotokopi kitab
tersebut dari perpustakaannya almarhum Gus Zainal Arifin Thoha. Seingat saya dalam
tahun 2011, pada deretan toko-toko buku di Jalan Semarang kota Surabaya, masih ada bundelan tersebut.
Senin, 02 Januari 2012
Bagian 11: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan keempat dari paragraf kedua, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Kini marilah mengudar pahamnya Jean-Paul
Sartre, “Man is condemned to be free” (Manusia dikutuk untuk bebas), yang saya benturkan dengan kalimat bernada kentir, “Man is blessed to be free” (Manusia diberkahi untuk bebas)?
Sabtu, 31 Desember 2011
Bagian 10: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Nurel Javissyarqi
(kupasan ketiga dari paragraf kedua, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Sebelum masuk bagian ini, izinkan
menulis perihal keheranan saya pada penyair atau yang mengakui identitas
dirinya tersebut, namun ungkapannya
telah melampaui batas sejarah kodrat iradat insani. Oleh saking keterlaluan
menggumuli kata-kata, seakan ‘kata’ menjelma sekutu terbaik seolah gerak
hasratnya mampu memerintah kalimat atau bahasa sedari kekuasaan hidup dengan pandangan sebelah mata, tidak
menengok profesi lain juga memakainya. Ataukah hilaf tidak merasai gerakan
terlembut kehidupan dari Sang Maha Hidup yang senantiasa mengatur segenap
indra, mengurus planet-planet beserta peredaranya, tidak terkecuali menghadiahi
nafas-nafas bagi tukang-tukang syair.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Mustofa Bisri
Abdul Hadi W.M.
Afrizal Malna
Andong Buku #3
Antologi Sarang Ruh
Arie Yani
Arti Bumi Intaran
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Utama
Brunel University
Brunel University London
Catatan
Chairil Anwar
Cover Buku Kritik Sastra
Dami N. Toda
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Esai
Filsafat
G.W.F. Hegel
Hamzah Fansuri
Hari Puisi Indonesia
Ibnu Khaldun
Ibnu Wahyudi
Ignas Kleden
Imam Al-Ghazali
Iskandar Noe
Kasparov
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Kritik Sastra
Kumpulan Esai Kritik Sastra
Lord Byron
M. Yoesoef
Maman S Mahayana
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Mark R. Woodward
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mohammad Yamin
Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak
Murnierida Pram
Nietzsche
Nigel Short
novel sejarah
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
P.J. Zoetmulder
PDS. H.B. Jassin
Peribahasa
Puisi
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sumpah Pemuda
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Taufiq Ismail
Umar Junus
Universitas Indonesia
Veronika Ninik
Video
William Shakespeare
Wislawa Dewi
Y.B Mangunwijaya
YouTube
Isi Kandungan Buku Kritik Sastra
- ** Mulanya #
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- # Akhirnya *