Nurel Javissyarqi
II
Di bawah ini saya gunakan beberapa
pendekatan, ada dongengan bagi yang suka cerita, serta jalur lain. Terpenting
tidak lepas dari harapan M. Yamin, yakni lima faktor yang memperteguh ikatan persatuan;
sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan.
***
Kelahiran M. Yamin sama dengan tahun
lahirnya Syekh Haji Ilyas Ya’cub (1903-1958 M), yang lahir di Asam Kumbang,
Painan, Pesisir Selatan, anak dari Haji Ya’cub, ibundanya Siti Hajir. Setelah
tamat sekolah Governemen di desanya, bekerja sebagai kandidat klerk (juru
tulis) pada Perusahaan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto, yaitu daerah M.
Yamin dilahirkan.
Perjuangan H. Ilyas, tidak kalah menarik
dengan sosok yang kita bicarakan. Tengok buku “Riwayat Hidup dan Perjuangan 20
Ulama Besar Sumatera Barat,” terbitan Islamic Center Sumatera Barat, 1981.
Sebagai juru tulis ia menyaksikan langsung derita berat kaumnya dijajah
Belanda, tapi tidak dapat berbuat apa-apa karena masih berusia muda, 14 tahun.
Saya tidak tahu apakah ia pernah berjumpa M. Yamin, saya pun belum tahu warna
alam Sumatera Barat, apalagi di masa tersebut. Kita sama tidak mengetahuinya,
kehilangan jejak, barangkali bahasa lainnya!
Tahun 1919 Ilyas berhenti bekerja,
pulang ke kampung halaman, lalu belajar ilmu agama kepada Syekh H. Abdul Wahab,
yang kemudian menjadi mertuanya. Jika ditelisik, M. Yamin terlambat menikahi
Siti Sundari (1937). Setidaknya, mendapati pasangan baru ke luar pulau dalam
situasi peperangan. Ilyas berangkat menunaikan ibadah haji dengan gurunya ke
Makkah. Sementara M. Yamin telah menamatkan sekolah di Algemeene Middelbare
School Yogyakarta, mempelajari sejarah, purbakala, bahasa Yunani, Latin, serta
Kaei. Saya perkirakan Ilyas berada di Mesir, ketika M. Yamin kuliah di Recht
Hogeschool, Jakarta.
Lantaran referensi terbatas, maka
rerabahan nyata terharapkan. Saya bayangkan pertemuan Sundari dan Yamin di
stasiun Tugu Yogyakrta atau di stasiun Senen Jakarta. Menyebut dua stasiun itu,
mengingatkan tulisan saya bertitel Sastra
“Versi Iklan Kecap” Indonesia, yang ditanggapi Hasnan Bachtiar lewat
esainya “Mendiagnosa Kritik Sastra Mutakhir.” Barangkali, mereka berdua pernah
jalan bareng ke Parangtritis, ke makam Raja-raja Mataram di Imorigi (dibangun
Sultan Mataram III Prabu Hanyokrokusumo tahun 1632, keturunan Panembahan
Senopati Raja Mataram I), atau Sundari dan M. Yamin bergandengan tangan di
Malioboro.
Kala M. Yamin menerbitkan bukunya
“Tumpah Darahku” 28 Oktober 1928. Seumpama iramanya disandingkan, sehalus
lekukan ombak menggelombang. Maka dimasanya Ilyas memimpin majalah “Seruan
Azhar” dan “Pilihan Timur.” Kedua majalah tersebut konsumsi bacaan orang
Indonesia dan Malaya yang berada di Mesir waktu itu, pun yang berada di tanah
air. Akhir tahun 1929, pemerintahan Belanda di Indonesia gempar, mendengar Ilyas
akan pulang dari Mesir. Kapal ditumpangi Ilyas dipersukar pihak penjajah,
singgah di Singapura, berlabuh di Jambi. Namun tetap sampai juga di
Minangkabau, dan selamat sampai kampung halamannya.
Penulisan naskah drama, esei, novel
sejarah, puisi, menterjemahkan karya William Shakespeare, Tagore, oleh M.
Yamin, segerak temponya Ilyas menjadi wakil ketua Al-Jamiiat Al-Khairiyah,
sebuah organisasi sosial, dan ketua Difa’ul Wathan, suatu organisasi politik.
Ilyas berhubungan dekat dengan organisasi politik Hizb Al Wathan di Mesir, yang
sedang dalam penjajahan Inggris.
Perjuangan M. Yamin di tanah air
menginspirasinya menulis karya-karya sastra, sedangkan tulisan-tulisan Ilyas
yang anti penjajahan, telah menyinggung pihak Perwakilan Pemerintahan Belanda
di bentangan dataran Sungai Nil. Tidak kalah penting, M. Yamin bergabung
organisasi Jong Sumatranen Bond, bekerja di bidang hukum di Jakarta hingga
tahun 1942, tercatat sebagai anggota Partindo, mendirikan Gerindo, dan tahun
1939 selaku anggota Volksraad.
Ilyas menuju tanah Jawa, mengadakan
kontak dengan para pemimpin pergerakan, bergabung PNI, PSI. Kunjungannya
sebagai studi perbandingan untuk menetapkan corak partai politik yang akan
didirikan di Minangkabau. Bersama Mukhtar Luthfi, mendirikan Partai Persatuan
Muslimin Indonesia (PERMI) yang berlandaskan Islam, radikal, revolusioner anti
penjajahan. Di masa itu Partai Muslimin Indonesia (PMI) sudah berdiri
(1930-1931). Sewaktu M. Yamin bergelar sarjana hukum (1932), di lain tempat PMI
mengadakan kongres di Koto Berapak Bayang, Painan; yang mencapai kesepakatan
untuk melebur PMI ke dalam PERMI, kantor besarnya di Alang Lawas, Padang, di
gedung perguruan Islamic College.
Kedua tokoh ini serta yang
lainnya adalah ada dan nyata! Orang-orang yang memiliki darah bergolak keringat
mendidih, bernyali semangat membaja dalam perjuangan di masa hidupnya. Sayang,
mereka tidak mencatatnya! Mereka dengan kelihaiannya memutarbalikkan kata serta
fakta sejarah, yang diringkus dalam bayang-bayang ‘sejarah imajinasinya!’
***
Sama-sama dari Sumatera
Barat, hadir sastrawan perempuan yang dikenal bernama Selasih, di Wikipedia
namanya Sariamin Ismail. Lengkapnya saya meringkas tulisan Babe Derwan sedari web
rangtalu.net
“Sariamin lahir pada 9 Juli
1909 di Talu (kini Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat), Sumatera Barat,
bernama Basariah. Menurut Korrie Layun Rampan, Selasih merupakan wanita novelis
Indonesia pertama, lahir 31 Juli 1909 di Talu, Kecamatan Talamau, Pasaman,
Sumbar. Tamatan Sekolah Dasar kelas V (Gouvernement School), melanjutkan
sekolah guru (Meisjes Normaal School), mungkin sama dengan SGA (Sekolah Guru
Atas), yang berubah jadi SPG (Sekolah Pendidikan Guru).
Tamat sekolah guru tahun 1925,
ditugaskan mengajar di Bengkulu serta diangkat menjadi kepala sekolah. Lima
tahun kemudian, dipindahkan ke Matur, Padangpanjang, ke Lubuk Sikaping (kini Ibu
Kota Pasaman), ke Bukittinggi hingga tahun 1939. Di Aceh dua tahun, dan sejak
tahun 1941 sebagai pendidik di Riau; Kuantan, Pekanbaru, dan Tanjung Pinang,
sampai tahun 1968. Terjun ke panggung politik dan sempat terpilih sebagai
anggota DPRD Propinsi Riau priode 1947-1948.
Di Riau, sering ikut bermain
sandiwara berkeliling di daerah. Sesuai profesinya, drama yang dimainkan
bertema pendidikan. Ia menulis sejak umur 16 tahun. Menurut Korrie, budayawan
Darman Moenir pernah menulis di majalah sastra Horison no 11, Tahun XXI, edisi
November 1986, bahwa Sariamin dalam suatu ceramah sastra diadakan di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta 17 September 1986, menjelaskan mulai menulis bulan Mei
1926, ketika menjadi guru di Matur. Ketika Siti Noor Mariah Naro gurunya,
memaksanya supaya menulis di majalah Asyara, yang terbit di Padang. Majalahnya
Persatuan Guru Perempuan, dipimpin Rustam Effendi dan Rasjid Manggis, yang banyak
mendorong bakat baru tampil memberikan gagasan inovatif. Maka lahir tulisan
pertama Sariamin di majalah tersebut, berjudul “Perlukah Anak Perempuan
Bersekolah?”
Bakat menulisnya berkembang setelah
pindah ke Lubuk Sikaping tahun 1927 (bersamaan masa Rabindranath Tagore awal
kali menginjakkan kaki di tanah Jawa). Daerahnya dingin yang diapit pebukitan,
membuatnya inspiratif. Katanya, di sini banyak bacaan yang semakin mendorongnya
menulis. Bertemu Abdul Latif yang memperkenalkannya dengan majalah Sari Pusaka,
Panji Pustaka, dan Bintang Hindia. Dari Lubuksikaping dimutasi ke Bukittinggi;
di Kota Jam Gadang lebih dingin, ia mengaku cakrawala wawasannya kian luas
berkat beberapa media massa; Surat kabar Persaman, Sinar Sumatera, dan Sumatera
Bond, yang mengembangkan bakat menulisnya, baik di bidang sastra, seni budaya,
pendidikan, bahkan dalam dunia politik.
Di zaman penjajahan, jadi
penulis bukan soal mudah. Juga aktif sebagai anggota organisasi politik;
Indonesia Muda, Gerakan Ingin Merdeka, dan menjadi Ketua Jong Islamieten Bond
Dames Afdeling Cabang Bukitttingi tahun 1928-1930. Karena itulah, selalu
dibawah ancaman, kalau-kalau ditemukan bukti tulisannya melawan rezim penjajah.
Selasih tidak ingin mengalami nasib serupa kawan-kawan seperjuangannya; Aziz
Chan, Alwi Luwis, Djafar Djambek. Yang bergerak dibawah tanah, bernasib malang
di ujung bedil, atau mendekam di jeruji besi. Tapi tetap menulis sakaligus
memperjuangkan kemerdekan tanah air, dengan mensiasatinya lewat menggunakan
sejumlah nama samaran untuk karya-karya tulisnya. Nama samarannya; Sekejut
Gelingging (sekejut, sejenis tanaman yang bahasa Talunya Sikojuik), Dahlia,
Seri Tanjung, Seri Gunung, Bunda Kandung, Sen Gunting, Ibu Sejati, Mande
Rubiah, Selasih, Saleguri, atau digabung Selasih Seleguri.
Nama samaran Selasih
ditemukan ibu Sariamin pada tahun 1932, saat merampungkan novelnya “Kalau Tak
Untung.” Semula bingung, dengan nama samaran apa novel itu diterbitkan. Sedang
sejumlah nama samaran sudah sering digunakan, kecuali Selasih. Seperti Ibu
Sejati dan Saleguri, sudah dikenali ‘penulis penentang’ pemerintah kolonial
Belanda. Setelah menimbang, akhirnya menamakan nama Selasih untuk novelnya
tahun 1933. Nama Selasih juga diambilnya dari salah satu jenis tanaman kecil
yang banyak tumbuh di kampung halamannya, Talu.
Novelnya diterbitkan oleh Balai
Pustaka, yang bagi Sariamin merupakan penerbit kebanggaan tersendiri saat itu.
Setelah diluncurkan ternyata best seller. Bahkan Aman Datuk Madjoindo yang juga
pengarang, dalam siaran radionya berkomentar; telah lahir pujangga putri
pertama di Hindia Belanda. Armeijn Pane dan Kasoema Datuk Pamuntjak bersepakat
menobatkan Selasih, sebagai pioner kaum perempuan dalam penulisan novel.
Karya-karyanya: Kalau Tak
Untung (novel, 1933), Pengaruh Keadaan (novel, 1937), Rangkaian Sastra (1952),
Panca Juara (cerita anak, 1981), Nakhoda Lancang (1982), Cerita Kak Mursi
(cerita anak, 1984), Kembali ke Pangkuan Ayah (novel, 1986), Puisi Baru, St.
Takdir Alisjahbana (bunga rampai, 1946), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih, Toeti
Heraty (bunga rampai, 1979), Tonggak 1, Linus Suryadi AG (bunga rampai, 1987),
Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia, Korrie layun Rampan.”
***
Di saat memimpin PMI maupun PERMI,
Ilyas menerbitkan majalah “Medan Rakyat,” sebagai pemimpin redaksi. Penerbitan
perdana 1 Pebruari 1931. Karena aktivitasnya di PERMI, dalam waktu singkat
partai ini berkembang harum pesat menjalari daerah lain terutama di Sumatera,
dan Jawa. Sudah pasti pemerintah kolonial Belanda tidak berpangku tangan, lewat
Vergarder Verbod, mengeluarkan ‘Exorbita Terechten’ yang menetapkan partai
tersebut tidak boleh mengadakan rapat maupun sidang. Beberapa pemimpin partai
ditangkap; Haji Ilyas Ya’cub, Mukhtar Luthfi serta Haji Jalaluddin Thaib
ditahan di rumah penjara Muaro, Padang.
Tahun M. Yamin menerbitkan naskah
drama “Ken Arok dan Ken Dedes” 1934, Ilyas bersama beberapa pemimpin PERMI
lainnya dibuang ke Digul, Irian Barat. Istri beserta anaknya pertama turut
menderita di dalam menapaki jalan kesetian suaminya, juga kepada bangsa yang
dicintanya. Totalitas merindingkang bulu roma, sisi lain meski berbeda
keberangkatan, Ken Angrok dengan pelbagai cara menunjukkan setia terhadap
seorang yang dirindukannya, tak cukup stategi perang, kudeta dijalankan. Resiko
serupa gula-gula, nasib pahit menjadi madu berharga, umpama jamu mujarat
menyembuhkan semua penyakit; bentuk pengabdian tak tertandingi banyaknya
jumlah!
Semasa pendudukan Jepang
(1942-1945), Yamin bertugas di Pusat Tenaga Rakyat; organisasi nasionalis yang
disokong pemerintah Jepang. Pemerintah Belanda mengungsikan para tahanan Digul
ke pedalaman, Kali Bian Wantaka. Panglima tentara Belanda Van der Plas
memindahkan tahanan kembali menuju Digul, termasuk Ilyas bersama keluarganya.
Di kala Belanda semakin terdesak pasukan Jepang, tahanan yang berada di Digul
dipindah ke Australia. Ilyas dan seluruh keluarganya, dipindahkan dalam tahun
1944, semasa M. Yamin menulis karyanya yang bertitel “Sedjarah Peperangan
Dipanegara.”
Jikalau Yamin bekerjasama dengan
Jepang, sedang Ilyas berteguh pendiriannya tidak sudi. Ungkapannya yang
terkenal direkap istrinya senada berikut ini: “Beliau ialah orang yang keras, kalau musuh ya musuh, walau bagaimana
pun tidak mau dibujuk bekerjasama dengan musuh...” Terbukti rayuan Van der
Plas, dan Van Mook menemukan jalan buntu. Akibat penolakannya, dilarang
mendarat di Tanjung Periuk, ketika dipulangkan ke Indonesia dengan kapal, tahun
1945. Ilyas sekeluarga diasingkan lagi ke Kupang di Pulau Timor, ke Labuhan,
Singapura, ke Serawak, ke Berunai, balik ke Labuhan. Di Labuhan, Singapura,
anaknya ketuju bernama Iqbal, meninggal dunia. Dari sana, istri dan enam
anaknya langsung pulang ke tanah air.
Bulan juni 1946, Ilyas sampai di Cirebon,
enam bulan kemudian ke Sumatera, bergabung kaum pejuang republik, sampai
terjadi clash kedua tahun 1948, masa M. Yamin menerbitkan novelnya “Gadjah
Mada.” Di dalam perang gerilya, Ilyas bersama para pejuang membentuk
pemerintahan darurat di Sumatera, yang diketuai Mr. Sarifuddin Prawiranegara.
Ilyas ditugaskan menghimpun semua partai dan barisan di Sumatera, untuk bersama
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), meneruskan langkah melawan
agresi Belanda.
Sejak 1948, Ilyas memangku jabatan
ketua DPRD Sumatera Tengah di Bukittinggi, merangkap sebagai Penasehat Gubernur,
dan sepuluh tahun lewat, tepatnya 2 Agustus 1958, Ilyas berpulang ke hadirat
Allah SWT, dikala M. Yamin merampungkan karyanya yang misterius, lagi berbobot
tinggi, “6000 Tahun Sang Merah Putih.”
Sangatlah dimungkinkan M. Yamin dan
H. Ilyas pernah berjumpa, bertukar pengalaman serta wawasan keilmuan; yang satu
bergerak di tanah kelahirannya, satunya lagi memusatkan diri di tanah Jawa.
Ditambah Ir Soekarno sebagai anggota BPUPKI, maka atas kedekatan jiwa pejuang sama
mempuni keilmuan, diangkatlah mereka berdua untuk jabatan penting dalam
pemerintahan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.