Nurel Javissyarqi
III
M. Yamin: “Kenapa tidak ambil data
dari karya-karyaku, Nurel?”
Nurel: “Buku-buku Bapak berada di
Lamongan, sedang saya kini di Ponorogo. Ya semoga sebelum catatan ini rampung,
bisa pulang dulu ke kampung halaman.”
M. Yamin: “Kelanjutan daripada ini apa?”
Nurel: “Saya lagi memikirkannya Pak,
tepatnya memilih beberapa kemungkinan.” Dan…
***
Saya lanjutkan sambil menghisap
rokok. Sebagian orang berpendapat itu tidak menyehatkan, namun harapannya kata-kata
saya tidak berbau asap serta percaya sistem kerjanya tubuh sangat menawan, pemampu
menetralisir segala. Sedikitnya bisa beradaptasi perihal buruk, apakah asap
atau lainnya yang membentuk karakter kesadaran, sekecilnya di saat-saat saya
sedang menulis.
Lama menanti kapan diteruskan, ada
saja penggoda; keraguan atau keyakinan belum purna demi berpijak pada
jalur-jalur di dalamnya; memilih, menghitung reaksi kalau ini dan itu didahulukan;
bagaimana penerimaan pembaca, corak kejiwaan sewaktu mengejanya. Pagi 17
Desember 2012, saya balik melangkah di sisi mengingat perbendaharaan yang lewat.
Masa menyesuaikan materi, semangat jiwa penampung referensi juga pengalaman di
saat mengakrapi data-data terbaru. Pun menarik benang-benang perekat kemungkinan
yang beredaran di tengah-tengah lintasan bacaan.
***
Terasa perbedaan menulis gagasan
dengan mengkritisi pandangan lain lewat penglihatan bermacam; pertama
mengumpulkan kesungguhan baru juga jeli letak perkara yang jadi sanggahan. Mencari
alternatif yang berseberangan di sisinya tetap berpandangan bijak, agar yang
terketuk pintu perbendaharaan nilai yang diambil manfaatnya. Ini menghibur diri
sekiranya terlambat, daripada cepat namun hasilnya mudah terjungkal,
ditertawakan masa pembalasan.
Tidak perlu meminta maaf berkali-kali,
kala hendak memasuki sidang pembaca, lebih khusyuk lewat kata pembuka. Tidak lain
gerak proses kreatif patut disandangkan kesadaran menerus, daripada
mengutarakan cara baik tapi keliru lantaran bernafsu atau seluruh kepahaman
belum mempuni, sampai ada terlewat lantas mudah melupa perolehannya.
Jangan-jangan kehilafalan berulang itu disengaja menggenapi untuk dijadikan
sesuatu ‘kebenaran?’ Alhamdulillah pandang
saya dari awal hingga kini tidak beranjak dari lampu sorot kecurigaan pada perihal
pokok yang sengaja mereka selewengkan di jalan-jalan kesusastraan yang pantas
dipertanyakan, mestinya!
***
Jika para kritikus menerima buku “Menggugat
Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri,” tentu mengenai Sumpah
Pemuda, apakah puisi (?) dan sosok M. Yamin disebut di sana. Lihatlah “Deklarasi
Hari Puisi Indonesia” dengan mengusung kata ‘imajinasi’ serta nama asing
penyadur jalang. Lantaran suara saya terlalu kecil bagi mereka, jadi tidak
didengar. Saya senang sehingga tidak perlu lagi melempar kerikil ke dasar kali
untuk mengetahui kedalamannya. Imajinasi
itu seperti mengaburkan (ingat) kekeliruan SCB mengenai kata emanasi-nya Ibnu
Arabi.
Dan tidakkah teringat jargon puisinya
ialah ‘alibi?’ Maka dengan terjadinya deklarasi, alibinya menghilangkan jejak
buku kritik saya. Karena saya tahu ada kekeliruan besar, maka dilanjutkan
dengan mengejar alibinya, agar bahasa ini dipahami di kemudian hari. Sekecilnya
bersama para pembaca yang tetap pada posisi kritis, tidak memakan buah mentah membikin
sakit perut yang lepas dari sejarah. Selanjutnya mundur sejengkal, lalu
melompat…
***
M. Yamin: “Kenapa kau suka
mengilustrasikan jalan pada tulisanmu, kadang serupa melukis lingkaran,
lengkungan, berkeliling, menikung dll. Dan sekarang seperti berolah raga, ‘mundur
sejengkal, lalu melompat…?’”
Nurel: “Biar tampak manis tidak
membosan dan memudahkan pembaca menerawang Pak.”
M. Yamin: “Hakikat Sumpah Pemuda
yang dikatakan puisi itu baik, meski tidak mencatat namaku dan yang lain, tapi
menyebut penyair pembaharu seturut mereka. Ini seperti Candi Borobudur yang terendam
masa peristiwa berabad-abad, yang baru ditemukan oleh Raffles.”
Nurel: “Apakah Sumpah Pemuda itu
puisi?”
M. Yamin: “Tentu bukan, sumpah ya
sumpah, puisi ya puisi! Sebelum ke permasalahan, ambilkan data Wikipedia soal
kronologi berdirinya juga masa ditemukannya Borobudur.”
Nurel: “Jangan marah, pertanyaan
itu mengurangi rasa penasaran saya beserta para pembaca. Jika boleh menyela;
kenapa Borobudur lama terendam, sedangkan pemitosan sastra Indonesia tidak
perlu waktu seabad terbongkar? Mungkin mereka menanam bijian pendapat tidak
sedalam larut penyelidikan.”
M. Yamin: “Belajar rendah hati
Nurel, sebab semua ada masanya.”
Nurel: “Ya Bapak. Di bawah ini
jumputan yang bapak inginkan:
Borobudur ialah candi Buddha yang
terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasinya kurang-lebih 100 km
barat daya Semarang, 86 km sebelah barat Surakarta, 40 km barat laut
Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha
Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi di masa pemerintahan Wangsa Syailendra.
Dari bukti sejarah, ditinggalkan dalam abad 14, seiring melemahnya kekuasaan
kerajaan Hindu-Buddha di tanah Jawa serta masuknya pengaruh Islam. Dunia sadar
keberadaannya sejak ditemukan tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles,
Gubernur Jenderal Inggris di Jawa. Sejak itu Borobudur mengalami serangkaian
upaya penyelamatan juga pemugaran.
Naskah Jawa kuno petunjuk bangunan
suci Buddha yang mungkin merujuk Borobudur adalah Nagarakretagama, ditulis Mpu
Prapanca 1365. Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapati
gelar doktor tahun 1950 berpendapat, Borobudur tempat pemujaan. Berdasarkan
prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, memperkirakan pendirian candi oleh Raja
Mataram dari Wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan
sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa tersebut diselesaikan di masa putrinya,
Ratu Pramudawardhani.
Dalam prasasti Karangtengah
tertulis penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan
(Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah
Kamūlān berasal dari kata mula yang bemakna tempat asal muasal, bangunan suci
memuliakan leluhur (dari Wangsa Sailendra). Casparis memperkirakan Bhūmi
Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta berarti “Bukit himpunan kebajikan
sepuluh tingkatan boddhisattwa,” nama asli Borobudur.
Borobudur terletak di atas bukit
pada dataran dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing
sebelah barat laut, dan Merbabu-Merapi di timur laut, utaranya bukit Tidar,
lebih dekat di selatannya terdapat jajaran perbukitan Menoreh. Candi ini dekat
pertemuan dua sungai; Progo dan Elo sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah
yang dikenal dataran Kedu dianggap suci, disanjung sebagai Taman pulau Jawa
karena keindahan alam kesuburan tanahnya.
Borobudur tersembunyi dan terlantar
berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah, debu vulkanik, kemudian ditumbuhi
pepohon, semak belukar hingga serupa bukit. Alasan candi ditinggalkan sampai
kini masih belum diketahui. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok
memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur, setelah letusan
gunung berapi; tidak bisa dipastikan apakah faktor ini penyebab diabaikannya, tapi
beberapa sumber menduganya.
Bangunan suci ini disebut
samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya
Nagarakretagama, ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Prapanca menyebut adanya
“Wihara di Budur.” Selain itu Soekmono (1976) mengajukan pendapat popular, yakni
candi itu mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih
keyakinan memeluk ajaran Islam, abad ke-15.
Dua Babad Tanah Jawa ditulis pada abad
ke18 menerakan ‘nasib buruk’ dikaitkan monumen itu. Monumen (Candi Borobudur) itu
faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang kepada Pakubuwono I, Raja Kesultanan
Mataram 1709. Disebutkan bukit “Redi Borobudur” dikepung dan para pemberontak
dikalahkan lalu dihukum mati. Dalam Babad Mataram dikaitkan kesialan Pangeran
Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta, karena mengunjungi Borobudur
tahun 1757.
Meski terdapat tabu ‘pelarangan’ mengunjungi
Borobudur, “Sang Pangeran mengunjungi satria yang terpenjara dalam kurungan
(arca buddha dalam stupa berterawang)”. Setelah kembali ke keraton, ia jatuh
sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa di masa Mataram
Islam, reruntuhan percandian dianggap tempat bersemayam roh halus berhawa
wingit, juga dikaitkan kemalangan menimpai yang mengunjungi (mengganggu) situs itu.
Secara ilmiah diduga tidak terurus ditutupi semak belukar, menjadi sarang penyakit
demam berdarah atau malaria.
Setelah Perang Inggris-Belanda
memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) dalam
kurun 1811-1816 M. Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, ia memiliki
minat baik terhadap sejarah Jawa. Mengumpulkan artefak antik kesenian Jawa
kuno, membuat catatan sejarah-kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari
perjumpaannya dengan rakyat setempat, dalam perjalanannya mengelilingi Jawa.
Kunjungan inspeksinya di Semarang
tahun 1814, dikabari adanya monumen besar jauh dalam hutan dekat desa
Bumisegoro. Karena berhalangan dalam tugasnya menjadi Gubernur Jenderal, tidak
bisa pergi sendiri mencari bangunan itu, kemudian mengutus H.C. Cornelius,
insinyur Belanda untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar tersebut. Dua
bulan Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan, semak belukar yang tumbuh
di bukit Borobudur, dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi. Karena
ancaman longsor, tidak dapat menggali membersihkan semua lorong. Lantas
melaporkan penemuannya kepada Raffles, termasuk menyerahkan berbagai gambar
sketsa candi itu.
Hartmann, seorang pejabat pemerintah
Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius, tahun 1835
seluruh bagian bangunan tergali dan terlihat. Minatnya pada Borobudur lebih
bersifat pribadi daripada tugas kerjanya, tidak menulis laporan kegiatannya;
secara khusus beredar kabar menemukan arca buddha besar di stupa terbesar. Di tahun
1842 menyelidiki stupa utama, namun temuan Hartmann tetap menjadi misteri,
karena bagian dalamnya stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda
menugaskan F.C. Wilsen, insinyur pejabat Belanda di bidang teknik, mempelajari Borobudur
dengan menggambarkan ratusan sketsa relief. JFG. Brumund ditunjuk penelitian secara
terperinci, rampung tahun 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasar
Brumund yang dilengkapi sketsa karya Wilsen, tapi Brumund menolak bekerja sama.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan C. Leemans yang mengkompilasi
monografi berdasar sumber Brumund dan Wilsen. Tahun 1873, monograf awal dan
penelitian lebih detil Borobudur diterbitkan, lalu edisi terjemahan ke bahasa
Perancis setahun kemudian. Foto awal Borobudur diambil tahun 1873 oleh ahli
engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.
Bagian candi Borobudur dicuri
sebagai cinderamata, arca serta ukirannya diburu kolektor benda antik.
Penjarahan situs bersejarah ini bahkan direstui Pemerintah Kolonial. Di tahun
1896, Raja Thailand, Chulalongkorn mengunjungi tanah Jawa di Hindia Belanda (Indonesia),
menyatakan minatnya memiliki bebagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda
mengizinkan atau menghadiahkan delapan gerobak penuh arca, dan bagian bangunan
Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand; 5 arca Buddha bersama 30 batu relief,
dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga, gerbang, dan arca
penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi -beberapa ratus meter di
barat laut Borobudur. Beberapa artefak, arca singa dan dwarapala, kini
dipamerkan di Museum Nasional di Bangkok.
Borobudur kembali menarik perhatian
tahun 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi Yogyakarta menemukan
kaki tersembunyi. Foto-foto yang menampilkan relief di kaki itu dibuat dalam kurun
tahun 1890-1891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda mengambil
langkah menjaga kelestariannya. Tahun 1900, pemerintah membentuk komisi yang
terdiri tiga pejabat menelitinya: Brandes, sejarawan seni, Theodoor van Erp,
insinyur dan tentara Belanda, kemudian Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi
bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Inilah ikhtisar waktu proses
pemugaran Candi Borobudur:
1814 - Sir Thomas Stamford Raffles,
Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar temuan benda purbakala di
desa Borobudur. Ia memerintahkan H.C. Cornelius menyelidiki lokasinya berupa
bukit yang dipenuhi semak belukar.
1873 - Monografi pertama candi
diterbitkan.
1900 - Pemerintahan Hindia Belanda
menetapkan panitia pemugaran dan perawatan candi.
1907 - Theodoor van Erp memimpin
pemugaran hingga tahun 1911.
1926 - Candi dipugar kembali,
terhenti tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.
1956 - Pemerintah Indonesia meminta
bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia dari Belgia untuk
meneliti sebab-sebab kerusakan candi.
1963 - Pemerintah Indonesia
mengeluarkan surat keputusan memugar candi yang berantakan setelah peristiwa
G-30-S.
1968 - Konferensi15 di Perancis,
UNESCO setuju memberi bantuan demi menyelamatkan candi.
1971 - Pemerintah Indonesia
membentuk badan pemugaran candi, diketuai Prof.Ir.Roosseno.
1972 - International Consultative
Committee dibentuk, ini melibatkan berbagai negara dan Roosseno ketuanya.
Komite disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar AS dari biaya pemugaran 7.750
juta dolar. Sisanya ditanggung Indonesia.
10 Agustus 1973 - Presiden Soeharto
meresmikan pemugaran candi; selesai tahun 1984.
21 Januari 1985 - Serangan bom
dilakukan kelompok Islam ekstremis dipimpin Husein Ali Al Habsyi yang merusak
beberapa stupa candi, kemudian diperbaiki kembali.
1991 - Borobudur ditetapkan Warisan
Dunia oleh UNESCO.”
***
Sekarang mundur beberapa jengkal
lalu berlari-melompat. Empat belas tahun lebih muda dari Sariamin Ismail
(Selasih, pengarang novel Kalau Tak
Untung); saya kini memegang bukunya, cetakan ke V 1956, namun belum peroleh
waktu seirama membicarakannya. Saya menyukai gaya bahasa para pengarang lawas,
disamping istilah asing yang tiada di Jawa, logika bahasa pula perangai
penulisnya meracik kata-kata.
Saya pun terkesan novelnya Bokor
Hutasuhut (lahir di Balige, Tanah Batak, Sumatra Utara 2 Juni 1934) “Penakluk
Ujung Dunia” tahun 1964 yang dipengantari W.S. Rendra. Dan 14 tahun lebih akhir
lahirnya dari Selasih; novelis dan penulis cerita pendek peroleh Nobel Sastra
tahun 1991, Nadine Gordimer (1923-) asal Springs, Afrika Selatan. Simaklah
Pidato Nobel-nya yang bertitel “Writing and Being,” ada sepintas kemiripan
pandangan SCB, ini bukan berarti Sutardji sekelas pengarang dunia. Namun melihat
letak kedangkalannya berpijak, dan bagaimana kedalaman sungai besar penalaran kelas
wahid sesungguhnya?!
“In
the beginning was the Word” kata
pembuka pidatonya hampir sama dengan ungkapan Sutardji “Pada mulanya adalah Kata” yang diteruskan SCB: “Dan kata pertama adalah mantera. Maka
menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.” Ini
mirip kalimat Gordimer pada paragrafnya awal: “when it was first scratched on a stone tablet or traced on papyrus,
when it materialized from sound to spectacle, from being heard to being read as
a series of signs, and then a script;…” Perbedaan atau persinggungan hasil
akhirnya kentara saya kupas di bagian awal juga pada kalimat Gordimer, tepatnya
paragraf keempat pidatonya, yang akan saya gunakan membongkar mitos
kesusastraan Indonesia kali ini.
“Roland
Barthes2 asks, ‘What is characteristic of myth?’ And answers: ‘To transform a
meaning into form.’ Myths are stories that mediate in this way between the
known and unknown. Claude Levi-Strauss3 wittily de-mythologizes myth as a genre
between a fairy tale and a detective story. Being here; we don’t know
who-dun-it. But something satisfying, if not the answer, can be invented. Myth
was the mystery plus the fantasy - gods, anthropomorphized animals and birds,
chimera, phantasmagorical creatures - that posits out of the imagination some
sort of explanation for the mystery. Humans and their fellow creatures were the
materiality of the story, but as Nikos Kazantzakis4 once wrote, ‘Art is the
representation not of the body but of the forces which created the body.’”
Untuk mengurainya, saya mengembara
mengikuti Gordimer yang berkata-kata sewarna “Kun Fayakun” (yang maknanya bukan
“Jadi, lantas jadilah!,” “Jadi maka jadilah!” seperti keteledoran yang disengaja
SCB, namun “Jadilah, maka jadilah ia”) “The
Word was with God, signified God’s Word, the word that was Creation.” Kata
‘Creation’ merupakan Ciptaan, Jadilah, sebuah kata besar (kata kerja perintah)
penciptaan, bukan sekelas kata benda (jadi) yang mandek, kemerosotan;
kejahiliaan yang datang mak bedunduk Sim
Sala Bim, atau baca bagian XVI sampai kemari. Pembacaan saya atas Pidato
Nobel Nadine Gordimer dalam bahasa Indonesia dipandu penerjemah M. Rodhi As’ad,
edisi revisi, April 2006 di buku yang diterbitkan Pinus Book Publisher, “Pengakuan Para Sastrawan Dunia Pemenang
Nobel.” Namun saya sendiri lebih mengartikan “In the beginning was the Word” sebagai “Pada mulanya adalah Firman.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.