Nurel Javissyarqi
IV
M. Yamin: “Sebelum berlarut, ambilkan
pengertian Sumpah Palapa lebih dulu di Wikipedia.”
Nurel: “Ya Bapak. Sumpah Palapa
ialah suatu pernyataan atau sumpah, yang dikemukakan Gajah Mada pada upacara
pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, 1258 Saka (1336 M).
Sumpah ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi: “Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun
amuktia palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara isun amukti
palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring
Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti
palapa.” Terjemahannya, “Beliau Gajah
Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, Jika telah
mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan
Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.”
Dari naskah ini diketahui masa
diangkatnya Gajah Mada, sebagian wilayah Nusantara yang disebut pada sumpahnya
belum dikuasai Majapahit. Arti nama tempat atas keterangan dalam sumpah
sebagaimana berikut: Gurun = Nusa Penida, Seran = Seram, Tañjung Pura =
Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat, Haru = Kerajaan Aru Sumatera
Utara (Karo), Pahang = Pahang di Semenanjung Melayu, Dompo = sebuah daerah di
pulau Sumbawa, Bali = Bali, Sunda = Kerajaan Sunda, Palembang = Palembang atau
Sriwijaya, Tumasik = Singapura.”
Sebagai pijakan saya jumput
pernyataan Idi Subandy, sebelum menuju kelembutan Nadine Gordime, seibarat
menyelam sambil minum air: Bagi Barthes,
mitos mendistorsi realitas demi efek ideologis. Ideologi adalah inti dari
mitologi. Mitos mengubah bias dan prasangka menjadi sejarah. Namun, ia adalah
sejarah yang sudah “dibengkokkan.” [Idi Subandy Ibrahim, Maret 2006,
Memahami Mitos-mitos Budaya Populer dalam “Masyarakat Komunikasi” Mutakhir:
Arti Penting, Kritik Ideologi Barthes (sebuah pengantar). Roland Barthes,
Membeda Mitos-mitos Budaya Massa (edisi terjemahan), terbitan Jalasutra,
Cetakan I Februari 2007].
***
M. Yamin: “Melihat susunan kutipan
di atas, sepertinya agak melompat?”
Nurel: “Kutipan bagus serupa postur
wanita bertubuh sintal, maka wewaktu permenungan pembaca di antara dialog
sebagai lemaknya makna. Lalu tarikan nafas segerak peragawati
berlenggak-lenggok di sepanjang catwalk.”
M. Yamin: “Oh…” (sambil agak
pesimis sejenis menyindir).
Nurel: “22 Desember 2012 saya
pulang, maka referensi dari buku Bapak bisa ditulis nantinya.”
M. Yamin: “Hati-hati di jalan
Nurel.”
Nurel: “Ya Bapak, ini sedang mampir
ke Jombang di kediamannya Sabrank, besok pagi melanjutkan perjalanan ke kampung
halaman.”
M. Yamin: “Salam untuk Ahmad
Syauqillah, lewat gelombang yang kita rasa.”
Nurel: “Ya Pak. Oya, bulan awal di tahun
depan 2013 saya berniat ke Tanara. Jadi sebelum pembahasan arsip di atas, saya
ingin sedikit tulis beberapa pengalaman di Ponorogo. Lagian buku ini semacam
catatan perjalanan, semi novel barangkali, namun tetap tertuju kritik. Dan
tidak mengelak adanya anggapan kurang fokus. Yang penting perihal inti sudah
terjabarkan, yakni beberapa pokok keberatan saya yang masih mereka suarakan
hingga sekarang.”
M. Yamin: “Silahkan...”
***
Persis pengelanaan masa silam 2001,
tahun 2012 saya kembali ke bumi Reog. Dulu menanti hari bahagia, kemudian
seolah lenyapnya pelangi di jiwa. Balutan fisik sama bertirakat, senada doa
pada epilog yang saya tulis dalam bukunya Sutejo, Pembacaan lain “Senarai Pemikiran Sutejo.”
Dan rasanya belajar dari ketiadaan
itu berdekatan kehendak-Nya, seterang hati berkeyakinan, meski di antara waktu
terserang badai keimanan. Alhamdulillah
tidak senasib Faust, yang hampir pada tahun 2000 saya tertimpa bebatuannya.
Seirama bait ke XXXVIII dalam puisi saya yang bertitel “Balada di Bukit Pasir Prahara”:
Pentas
mulai digelar,
para
pelukis sedikit menorehkan keberanian warna,
dan
para penyair baru menggores beberapa aksara,
seakan
merangkum dunia dengan kesombongan;
mereka
rasa telah unggul dari Sang Pencipta.
Separuh
dari mereka berucap;
“bila
Tuhan masih ada, Ia punya rencana!”
Bunyi bait selajutnya:
(XXXIX) Sementara itu,
aku
tetap duduk di rerumputan hijau perawan,
sambil
memahat waktu di atas batu,
menujum
takdirku untuk mereka.
(XL) Sesekali untaian rambut mengenai mukaku,
aku
biarkan, dan terkadang kuseka lembut
dengan
jemari tangan yang ada cincin setia darinya.
(XLI) Lalu ia berjalan, sambil mengunyah makna batu nisan;
berkali-kali
senja menyeret matahari,
jam-jam
kembali terhenti di embun daun kalbumu.
Serupa
malam-malam sebelumnya,
kesepian
tanpa seorang teman,
juga
tiada lagi, kata mereka;
“raut
yang patut dibayangkan!”
(21
September 2000, Parang Tritis Yogyakarta).
***
Perbedaannya, tahun 2001 saya masih
memanjangkan rambut di tanah Batoro Katong, selaksa berpanjangnya harapan kepada
hidup. Menjadi terkenang awal sampai terminal lawas Ponorogo, karena tampang
saya mungkin, bertanya ke alamat Tegalsari. Seorang ojek berucap, “Wah, ndak mempan dibacok iki!” Saya
tersenyum mendengarnya, sambil mengingat perjalanan waktu itu dari Watucongol.
Sedangkan tahun 2012 di Ponorogo, saya potong rambut ikal memanjang itu.
Seperti bait akhir XXXVIII, “bila Tuhan masih ada, Ia punya rencana!” Saya
terdampar di bumi Hasan Besari bertemu kawan lama, Mahendra yang dulu kenal
sewaktu ia mahasiswa ISI Jogja, seangkatan Satmoko Budi Santosa, Marhalim
Zaini, Raudal Tanjung Banua. Ada rasa kesamaan proses pencarian jati diri meski
berbeda bidang. Berjumpa Mahendra lagi seperti membetulkan timbangan,
mengoreksi sisi ruang melecutkan pandangan ke bentuk kegilaan, seperti lukisan
Barthes pada selera makan Raja Louis XVII di pengantar bukunya L’aventure
Sémiologique:
“Orang mengatakan bahwa raja Louis XVII,
seorang yang memiliki selera makan yang sangat tinggi, memerintahkan tukang
masaknya untuk mengolah masakan berupa daging iga sapi dengan cara dipanggang
tumpuk-tumpuk. Lalu yang dimakan oleh sang raja adalah daging iga terbawah yang
di dalamnya terkumpul resapan kelezatan yang telah tersaring oleh
tumpukan-tumpukan yang di atasnya.” (terjemahan Stephanus Aswar Herwinarko, terbitan Pustaka Pelajar,
Cetakan I September 2007, Petualangan Semiologi, karya Roland Barthes). Di sini
saya ucapkan terima kasih kepada Sutejo yang menemani petualangan kedua di Ponorogo,
tepatnya memberi penawar dalam permasalahan yang menggelayuti badan-jiwa di
bawah terik nasib mendera.
Dan perpisahan saya dengan Mahendra
hampir seumurnya Louis XVII (lahir 27 Maret 1785, meninggal 8 Juni 1795) yakni
10 tahun lebih. Samar-samar antara waktu itu pernah bertemu, seolah kesamaran
Louis XVII yang tidak pernah benar-benar menjadi Raja Perancis. Karena kadang
berkabar lewat sms namun tidak rutin, juga berhubung saya beberapa kali ganti
nomor pun sempat tidak ingin memiliki nomor kontak, maka kerap kehilangan
jejak. Tapi diam-diam merawat proses panjang mengalami keterkejutan sejenis
timbangan njomplang. Pengelanaan setengah tahun di Ponorogo seakan menyatukan
ketimpangan menjelma nada. Iramanya yang dulu tercatat, saya berpentas di Taman
Budaya Solo 2001, Mahendra berpentas di kampusnya, ini berbeda namun memiliki
aura sama.
Kata-kata ‘ketimpangan menjelma
nada’ mengingatkan pada seseorang yang secara balutan fisik edan, yang sering
saya singgung di beberapa bagian di depan. 22 Sapar 1946, Setu Wage, orang itu
memakai capil (Ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya, meski masuk musim hujan.
Saya tidak tahu, dari mana caping diperolehnya), ia menuju timur (seakan
menanti saya balik ke arah barat). Warna mendung kelabu mendekati hujan tidak datang,
dan angin enggan berbisik, hanya melepaskan napas ringan oleh lelahnya dari
pantai harapan.
Ketika di Ponorogo saya berpapasan
‘kembarannya orang gila,’ ia lebih muda sekitar sepuluh tahun dari orang yang
saya ceritakan. Biasanya melalui jalur alun-alun (terusan Jeruksing) ke Pulung.
Menyoal kembarannya, saya agak ragu memasukkannya ke dalam catatan, sampai saat
turunan kali ini. 8 Januari 2013 (25 Shafar 1434 H / 25 Sapar 1946 J), Selasa
Pahing ( di malam Rebo Wekasan) saya bersiap untuk berangkat ke Tanara, Banten,
namun akhirnya batal hanya sampai Cirebon.
***
Mampir ke rumah teman semasa Aliyah
di Denanyar, Jombang (1993-1995), Ahmad Yani di desa Gebang Kulon, Babakan,
Cirebon. Di sana saya melihat para ahli pembuat perahu yang hasil karyanya
mampu berlayar ke pantai pulau Jawa bagian timur serta menyeberangi gelombang
laut menuju Sumatera dan Kalimantan. Perahu yang mereka ciptakan rata-rata dengan
panjang bagian bawah 7,5 meter, panjang bidang atas 12,5 meter. Ketinggiannya
1,10 cm, lebar 2,70 cm atau tergantung pemesan, yang harganya berkisar tidak
sampai 30 juta rupiah.
Dinding perahu terbuat dari kayu
jati dan pembatas (perekat) antar dinding pembentuk badan kapal dengan kulitnya
kayu putih, yang saat terkena air mengembang, jadi tidak menggunakan pendempul.
Patek untuk merekatkan kayu-kayunya sedari
kayu Besi (pun dari kayu Pung). Para pembuat perahu, ada yang sudah
berketurunan di perairan Sumatera (Lampung), pula tetap membuat perahu dengan ukuran
lebih besar.
Sayangnya di Lamongan sendiri saya
belum menelisik jauh apa saja kegiatan para nelayan di Paciran juga di Ujung
Pangkah (Gresik). Saya teringat perkataan seorang nelayan Cirebon: “Yang membahayakan dikala berlayar ialah ketika
menghadapi gelombang laut yang pecah, atau tidak bergulung-gulung secara
sempurna.”
***
Malam
menuju tanggal 15 Januari 2013, bertemu Si Lugu dan Pak Gordon (penganut Jansenisme).
Bukannya di penjara, namun di dalam bus menuju Yogyakarta.
M. Yamin: “Lo, kok bisa?”
Nurel: “Yang jelas alur kidup saya
semenarik kisah yang dituturkan filsuf Voltaire. Doakan saja Pak, semoga Tuhan
memberikan umur panjang bagi saya untuk menuliskannya.”
M. Yamin: “Ya Nurel. Apa tidak jadi
ke telatah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi?”
Setelah
menghatamkan “Al-Insan al-Islam wa Madaris Al-Gharbi” karya Ali Syari’ati,
serta membaca ulang “L’Ingénu atau Si Lugu” karya Voltaire 1767, saya
melanjutkan perjalanan.
M. Yamin: “Ke mana Nurel?”
Nurel: “Ke tempat yang saya
inginkan.”
M. Yamin: “Benar yang kau
inginkan?”
Nurel: “Ya Bapak” (dengan
menyisakan keraguan).
M. Yamin: “Aku tak bisa berkomentar
apa-apa, setelah tahu perjalanan tulisanmu tidak sekadar lawatan nalar, hati
juga badani. Sepertinya lelangkahmu menuntun membentuk putusan untuk memandang
keseluruhan permasalahan yang kau teliti.”
Nurel: “Doakan Bapak, meski pelahan
menuju kerampungan.”
M. Yamin: “Amin...”
Nurel: “Pak, ada yang menyelidiki
lahirnya Sumpah Pemuda lebih jauh, namanya Haekal Afifa (President Joint Committe
of the Aceh People). Dia menulis di theglobejournal.com 28 Oktober 2011 dengan judul “Kebohongan Sumpah Pemuda
Indonesia.”
M. Yamin: “Jumput saja keterangan
darinya yang kau anggap perlu. Aku percaya kau seimbang dalam menyodorkan
pandangan sejarah.”
Nurel: “Ya Bapak.”
“Maka
pada hari ini (28 Oktober 2011), Penulis ingin menguak pemikiran Muhammad Yamin
yang sangat berperan penting dalam “memutarbalikkan” sejarah Sumpah Pemuda.
Muhammad Yamin membelokkan kata “Poetoesan congres’ menjadi ‘Sumpah Pemuda’.
Peralihan kata ini berawal dari Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada 28
Oktober 1954.”...
“Pada
hari minggu 28 Oktober 1982, Muhammad Yamin di depan 750 peserta rapat
menggiring organisasi pemuda yang hadir saat itu untuk berikrar bersama. Dan
Muhammad Yamin-lah yang menulis teks “Poetoesan Pemoeda.” Dengan Deklarasi
inilah semua organisasi peserta “dijajah” ideologi daerahnya masing-masing
sehingga melebur menjadi satu organisasi yakni “Indonesia Muda.”.”
“Tabrani,
perwakilan dari organisasi Jong Jawa menolak usul itu, menurut dia harus ada
satu bahasa persatuan yang sesuai dengan tujuan awal peserta kongres, yakni
satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Seandainya saat itu Muhammad Yamin
bersikeras mempertahankan konsepnya, maka bahasa Indonesia saat ini akan
menjadi “Bahasa Jawa” dan inilah dasar pemikiran pertama saat penulis menggugat
“Keberadaan Indonesia sebagai suatu Bangsa” pada Seminar Sejarah yang diadakan
University of Malaya tahun 2009.”
“Sumpah
tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar
oleh Yamin. Setelah disahkan, ikrar pemuda itu pun menjadi tonggak bersatunya
bangsa Indonesia. “Yamin-lah yang mengubah kata Ikrar menjadi Sumpah,”
[sejarawan Anhar Gonggong].”
M. Yamin: “Coba kau amati, Nurel.”
Nurel: “Yang jelas saya belum tahu
apakah benar ungkapan Haekal Afifa, bahwa: “Muhammad
Yamin membelokkan kata ‘Poetoesan congres’ menjadi ‘Sumpah Pemuda’ dst. Peralihan
kata ini berawal dari Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada 28 Oktober
1954.” Namun kesalahan fatal terjadi saat Haekal menulis tahun 1982 (yang
seharusnya 1928, sumber di atas saya ambil tanggal 19 Januari 2013). Haekal pun
mengutip perkataan Anhar Gonggong, yakni:
“Yamin-lah yang mengubah kata Ikrar menjadi Sumpah.” Esai bertitel
“Kebohongan Sumpah Pemuda Indonesia” yang menurut saya serampangan di dalam penuliskannya,
maka saya tidak berpegang pada data yang secara penuturan gegabah, meski
mungkin ada sebersit kebenaran. Yang terang, saya lebih percaya kepada sang penulis
buku “6000 Tahun Sang Merah Putih.”
M. Yamin: “Teruskan Nurel, sebab
kepentinganmu tidak hanya di sini. Oya, terimakasih telah menyimpan buku-buku
karanganku, semoga yang belum kau peroleh kelak mendapatkannya.”
Nurel: “Amin… Pak, saya diseret
ke dalam peristiwa lain. Tentu Bapak sudah tahu kalau saya tertarik dengan kata
‘pemberontakan,’ apakah pemberontakan Ken Arok, Diponegoro pun PKI. Tidak apa
kan? Lagian pemberontakan PKI pun meletus di Sumatera Barat?”
M. Yamin: “Santai Nurel. Aku
tahu kau pernah membuat tulisan bertitel ‘Ras Pemberontak.’ Setidaknya rentetannya
nanti tetap dalam lingkaran tuturan masa akan lahirnya Sumpah Pemuda. Dan aku
pernah menulis tentang Ken Arok, Diponegoro, Tan Malaka. Semuanya itu penting,
agar tidak hanya jongkok pada imajinasi semata. Maka sekarang kau baca buku
dulu, tidak luput tulisan Tan Malaka yang berjudul ‘Pemberontakan Komunis 1926’
yang ditulisnya pada tahun 1948.”
Nurel: “Matur nuwon Bapak atas kelonggarannya .”
M. Yamin: “Oya, ringkaskan
dari Wikipedia sejarah nama Indonesia, biar tidak ada yang mengira kalau nama Indonesia
pertama kali tertuang dalam Sumpah Pemuda. Apalagi mengiranya dariku, kan
kacau?”
Nurel: “Ya Pak, dengan senang
hati.”
***
Catatan masa lalu menyatakan
kepulauan di antara Indocina dan Australia beraneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa
menyebut kawasan ini Nan-hai
(Kepulauan Laut Selatan). Catatan kuno di India menamakan kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang),
yang diturunkan dari kata bahasa Sanskerta dwipa
(pulau), lalu antara (luar,
seberang). Dan Kisah Ramayana karya Pujangga Walmiki menceritakan pencarian
terhadap Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana sampai Suwarnadwipa (Pulau Emas, diperkirakan
Pulau Sumatera) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menamakan wilayah
kepulauan itu Jaza’ir al-Jawi
(Kepulauan Jawa). Nama Latin kemenyan benzoe,
berasal dari bahasa Arab, luban jawi
(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan sedari batang
pohon Styrax Sumatrana yang dahulu
hanya tumbuh di Sumatera. Sampai jemaah haji kita sering dipanggil ‘orang Jawa’
oleh orang Arab, termasuk orang Indonesia dari luar Jawa. Dalam bahasa Arab juga
dikenal nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), Sundah (Sunda), dan disebut kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa pertama
kali beranggapan Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan
Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok
semuanya Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut ‘Hindia Muka,’ daratan Asia
Tenggara dinamakan ‘Hindia Belakang,’ kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan
Hindia (Indische Archipel, Indian
Archipelago, l’Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak
dipakai ‘Kepulauan Melayu’ (Maleische
Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Unit politik di bawah jajahan
Belanda bernama resmi Nederlandsch-Indie
(Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang tahun 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur), untuk menyebut
wilayah taklukannya di kepulauan tersebut.
Multatuli (Eduard Douwes Dekker
1820-1887) pernah memakai nama spesifik menyebut kepulauan Indonesia dengan ‘Insulinde’ artinya ‘Kepulauan Hindia’
(bahasa Latin ‘insula’ berarti
pulau). Nama ‘Insulinde’ kurang
populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan nama organisasi pergerakan
di awal abad ke 20.
Pada tahun 1847 di Singapura terbit
sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of
the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: Jurnal Kepulauan Hindia
dan Asia Timur) yang dikelola James Richardson Logan (1819-1869), seorang
Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Di tahun 1849,
seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865)
bergabung sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun
1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel: On
the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian
Nations (Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia
dan Melayu-Polinesia). Dalam artikelnya, Earl menegaskan sudah tiba saatnya
penduduk Kepulauan Hindia (Kepulauan Melayu) untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia
tidaklah tepat, dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl
mengajukan dua pilihan nama: Indunesia
atau Malayunesia (“nesos” dalam bahasa Yunani berarti
“pulau”). Di halaman nomor 71 artikelnya tertulis (diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia sedari Bahasa Inggris): “... Penduduk Kepulauan Hindia atau
Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi ‘Orang Indunesia’ atau ‘Orang
Malayunesia’ .”
Earl menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia tepat untuk ras Melayu,
sedangkan Indunesia bisa digunakan
untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat
itu). Dan Maldives (sebutan asing
Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh
kepulauan ini. Ianya menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah
Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV halaman
252-347, James Richardson Logan menulis artikel: The Ethnology of the Indian Archipelago (Etnologi dari Kepulauan
Hindia). Awal tulisannya, Logan menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan
tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago
(Kepulauan Hindia) terlalu panjang serta membingungkan. Logan kemudian memungut
nama Indunesia yang dibuang Mr Earl,
huruf “u” digantinya dengan huruf “o”, agar ucapannya lebih baik, maka lahirlah
istilah “Indonesia.” Ini membuktikan bahwa kalangan Eropa tetap meyakini
penduduk di kepulauan ini Indian, julukan yang dipertahankan karena terlanjur
akrab di Eropa.
Pertama kalinya kata “Indonesia”
muncul di dunia dengan tercetak di halaman 254 dalam tulisan Logan
(diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia): “Mr Earl menyarankan istilah etnografi
‘Indunesian,’ tapi menolaknya dan mendukung ‘Malayunesian.’ Saya lebih suka
istilah geografis murni ‘Indonesia,’ yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk
Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia.”
Ketika mengusulkan nama “Indonesia,”
agaknya Logan tidak menyadari dikemudian hari, nama tersebut menjadi nama
resmi. Sejak saat itulah Logan secara konsisten menggunakan nama ‘Indonesia’
dalam tulisan-tulisan ilmiahnya. Lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di
kalangan para ilmuwan di bidang etnologi dan geografi.
Tahun 1884 guru besar
etnologi di Universitas Berlin, Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku
bertitel: Indonesien oder die Inseln des
Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu)
sebanyak lima volume, memuat hasil penelitiannya kala mengembara di kepulauan
tersebut di tahun 1864-1880. Buku Bastian memopulerkan istilah ‘Indonesia’ di
kalangan sarjana Belanda, sehingga timbul anggapan bahwa istilah ‘Indonesia’
itu ciptaan Bastian. Pendapat tidak benar itu antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië 1918.
Kenyataannya, Bastian mengambil istilah ‘Indonesia’ sedari tulisan-tulisan
Logan.
Seorang pribumi yang
mula-mula menggunakan istilah ‘Indonesia’ ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara). Ketika dibuang ke Negeri Belanda tahun 1913, ia mendirikan sebuah
biro pers dengan nama Indonesische
Persbureau. Nama Indonesisch
(pelafalan Belanda untuk ‘Indonesia’) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van
Vollenhoven (1917). Seiring sejalan, Inlander
(pribumi) diganti Indonesiër
(orang Indonesia).
Dalam dasawarsa 1920-an, nama
‘Indonesia’ yang merupakan istilah ilmiah di etnologi dan geografi, diambil
alih oleh para tokoh pergerakan kemerdekaan, sehingga nama ‘Indonesia’ bermakna
politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan.
Akibatnya, pemerintahan Belanda mulai curiga, serta waspada terhadap pemakaian
kata ciptaan Logan itu.
Tahun 1922 atas inisiatif
Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels
Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan
mahasiswa Hindia di Belanda (terbentuk pada tahun 1908 bernama Indische Vereeniging), berubah menjelma Indonesische Vereeniging (Perhimpoenan
Indonesia). Majalah mereka, Hindia Poetra berganti jadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije
Indonesische staat) mustahil
disebut ‘Hindia-Belanda.’ Juga tidak ‘Hindia’ saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami, nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan, dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan
untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër)
akan berusaha dengan segala tenaga, dan kemampuannya.”
Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club tahun 1924. Di
tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI). Tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan: National Indonesische Padvinderij
(Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama
‘Indonesia’. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air,
bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia 28 Oktober 1928,
yang kemudian dikenal sebagai sebutan Sumpah Pemuda.
Agustus 1939 tiga orang
anggota Volksraad (Dewan Rakyat;
parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan
Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda, agar nama ‘Indonesië’ diresmikan sebagai pengganti
nama ‘Nederlandsch-Indie.’ Permohonan ini ditolak. Sementara itu,
pada Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan di tahun yang sama, mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk
‘kapuloan (Indonesiah).’ Lalu dengan pendudukan Jepang 8 Maret 1942, lenyaplah
nama ‘Hindia-Belanda.’ Dan pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi
Proklamasi Kemerdekaan, maka lahirlah Republik Indonesia.
Rujukan: David Chandler, et al. 2005. “The Emergence of Modern Southeast Asia: A
New History,” disunting oleh Norman G. Owen (U. Hawai‘i Press, 2005).
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.