Tampilkan postingan dengan label Nurel Javissyarqi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nurel Javissyarqi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Desember 2017

Bagian 25: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

(kupasan ke empat dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

I
Taufiq Ismail: “Enak jadi penyair daripada yang lain.”

A Mustofa Bisri: “Enaknya gimana?”

Taufiq Ismail: “Kalau orang baca syair sampean keliru, misalnya. Yang disalahkan ndak sampean, yang disalahkan dirinya sendiri.”

A Mustofa Bisri: “Wah saya ndak paham ini, terlalu tinggi.”

(Ceramah Gus Mus pada acara Haflah Seni dan Budaya dalam Peringatan Tahun Baru Islam 1428 H di Pekalongan).
***

Sabtu, 28 Oktober 2017

Bagian 24 (VII): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

Nurel Javissyarqi

VII
Bung Karno sendiri menganggap Sumpah Pemuda 1928 bermakna revolusioner: satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke, masyarakat adil dan makmur, dan persahabatan antar bangsa yang abadi. “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Soekarno dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta 28 Oktober 1963. (Rudi Hartono, “Sejarah Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda,” berdikarionline.com 20 Mei 2011).
***

Senin, 02 Maret 2015

(XI)...

....

(XI)

Nurel Javissyarqi

Jalanmenuju telaga kembar di desa Pungkur, bunga-bunga putat merah menjalarmerangkai angan, peputiknya berbulu idep mata, pemandangan terpampangmelingkari telaga. Yang dingin tenang ketika siang, pemancing menaburkanharapan. Pohon-pohon tinggi tegar, akar-akarnya menjalar ke tepian, sebagiandigunakan ondak-ondakan mengambil air. Daerah penuh kekicauan burung menyabetikan, seakan tak menjamah permukaan air mempercantik kehidupan.

(X)

Nurel Javissyarqi

Dalamhening dia memohon:
"YaSang Percipta Jagad
gerakkanlahtubuh ini atas kemauan-Mu
agarsanggup menunaikan perintah-Mu

(IX)

Nurel Javissyarqi

SebelumTapa Wangkeng berdiam dalam samadi, dirinya diberi kemampuan lebih. Sanggupberbicara dengan dedaunan, burung-burung menyapa di perjalanan. Ialah kodrat,suatu waktu menjadi petapa kata-kata alam semesta raya, dalam gua keheninganhayati.

(VIII)

Nurel Javissyarqi

TapaWangkeng seorang biasa awalnya, mungkin kecewa wewarna yang disuguhkan dunia, mulaimencari kesejatian, memasuki wilayah tanpa tlatah, tidak terbatasiruang-waktunya. Sebagian pendapat berkata, dia minder setelah berhadapankeganasan manusia. Namun dalam kehidupan berupa sanggahan, tidaklah mutlakkebenarannya.

(VII)

Nurel Javissyarqi

Sementaradi desa Lebak dan Pungkur, para penduduknya setiap pagi menuju pasar. Ada berdagangsayur-mayur, umbi-umbian, kacang-kacangan, serta segala macam kebutuhan.

(VI)

Nurel Javissyarqi

Takjauh dari letak pertapaan Mpu, terdapat aliran sungai gemerincing, gemerecakbagai canda para gadis dengan batu-batu terjal nan ayu. Selekuk tubuh meruncingmenuju barat bersedekap erat pekabutan pagi, memancarkan sinar badannya ketikasiang menerawang. Kala senja alirannya khusuk memasuki malam kedamaian. Sebabtidak berjauhan, malam-malam Ki Mpu selalu diiringi suara ricikan deras, melodinyamendekat, dikesempatan lain nadanya hilang ditelan samadi.

(V)

Nurel Javissyarqi

Masaitu bencah Dwipa, pohon-pohon tertancap hijau perawan, rimbun daun-daunnyaberwarna purba. Jika musim kemarau melanda, serupa gadis cantik lanjut usiabelum menikah.