Nurel Javissyarqi
(kupasan ke tiga dari paragraf lima
dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Dialog Imajiner Mohammad Yamin
tentang “Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” (I-VII)
I
“Mungkin
selera saya belum terbentuk dengan baik, pendapat saya mungkin keliru. Pokoknya
Anda tahu bahwa saya terbiasa mengatakan terus-terang pendapat saya, atau lebih
tepat perasaan saya. Saya curiga bahwa pendapat orang sering dipengaruhi ilusi,
mode atau tingkah sesat. Sedangkan saya berbicara secara alamiah. Mungkin saja
keadaan alamiah pada diri saya masih belum sempurna, namun boleh jadi juga
pendapat alamiah ini masih sangat kurang diperhatikan oleh kebanyakan orang.” (Voltaire, L’IngĂ©nu, 1767, terjemahan Yayasan Obor
Indonesia, Januari 1989).
Kenapa para sastrawan serta
kritikus Indonesia suka memakai kata ‘imajinasi?’ Maka seolah M. Yamin ingin
berdialog dengan saya, atau sebaliknya saya berharap dapat mewawancarai Beliau.
Olehnya sebelum jauh, mari berkirim ‘Surah Pembuka’ untuknya, semoga diberikan
kelapangan sahaja di dalam peristirahatannya yang terindah. Al-Fatihah...
***
M. Yamin: “Nurel, aku melihat
kemarin kau menggarap bagian ‘XXIV (kupasan ke tiga dari paragraf lima dan
enam, lewat esainya Ignas Kleden)’ yang rencananya mengurai perangai berpikirnya
Ibn Khaldun. Lantas kenapa kau ajak aku kemari?”
Nurel: “Begini Pak, baru-baru ini
dideklarasikan ‘Hari Puisi Indonesia,’ tentu Bapak sudah tahu. Maka rencananya
isi di bagian 24 yang seyogyanya mengurai model pemikiran, saya undur dulu.
Bapak tidak keberatan kan, saya undang meniti kali ini?”
M. Yamin: “Tentu tidak NJ. Oya, aku
baca tulisanmu yang mengutip bukuku ‘Bagian XIV (kupasan ke nol dari sebelum
paragraf ketiga, lewat esainya Ignas Kleden) bertitel BABAD NUCA NEPA.’ Kau mempunyai
pribadi menarik Nurel, masak ada kupasan ke nol segala. Yang kau rampungkan dua
bulanan, sampai kepada paham Howking. Kau memang berjiwa menarik!”
Nurel: “Pak Yamin bisa saja membuat
besar kepala, saya kan hanya pengelana.”
M. Yamin: “Terserahlah, aku tidak
mau berlama-lama berdebat dengan yang masih hidup. Toh kelak sejarah
membuktikan.”
Nurel: “Saya tinggal sarapan dulu
Pak.”
M. Yamin: “Ya.”
***
Nurel: “Maaf agak lama Pak, tadi
setelah sarapan bersih-bersih sambil mengingat beberapa berita yang terposting di
tahun lalu, pun yang terbaru.”
M. Yamin: “Oya, web yang kau kelola
apa tidak diganggu Hecker lagi?”
Nurel: “Alhamdulillah tidak, dan semoga seterusnya tidak. Kok malah saya
yang diwawancarai Pak?”
M. Yamin: “Santai Nurel. Aku tahu engkau
muda, eemm… semangatmu meledak-ledak. Jadi pembicaraan kita pelan saja.
Sebelumnya, ringkaskan biografiku dari riaupos.co 25 November 2012. Biar aku
bisa mengingat masa mudaku, yang pengen menjadi penyair. Tidak usah pakai
judulnya, lantaran kurang menarik!”
Nurel: “Dengan senang hati. Namun
saya sambil dengar lagunya Helloween Future
World. Tidak apa kan?"
M. Yamin: “Hehehe... kau memang
bandel. Ya sudah…”
***
Nurel: “Pak, data di sana sama
persis di Wiki. Jadi saya jumput dari Wikipedia saja:
Prof. Mohammad Yamin S.H., lahir di
Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat 24 Agustus 1903 - meninggal di Jakarta 17
Oktober 1962. Seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, ahli hukum,
pahlawan nasional RI. Perintis puisi modern Indonesia, pelopor Sumpah Pemuda
yang mempengaruhi sejarah persatuan di Nusantara.
Putra dari pasangan Usman Baginda
Khatib dan Siti Sa’adah berasal Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya beranak
enam belas sedari lima istri. Di antara saudaranya: Muhammad Yaman, pendidik;
Djamaluddin Adinegoro, wartawan; Ramana Usman, pelopor korps diplomatik.
Sepupunya, Mohammad Amir, tokoh pergerakan kemerdekaan.
Pendidikan dasarnya di
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, dilanjutkan Algemeene Middelbare
School (AMS) Yogyakarta. Mempelajari sejarah purbakala, bahasa Yunani, Latin,
Kaei. Kuliah di Recht Hogeschool (RHS, kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas
Indonesia) Jakarta, memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum)
tahun 1932.
Memulai karier kepenulisan pada dekade
1920-an, semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya
pertamanya ditulis berbahasa Melayu di jurnal Jong Sumatera, jurnal bahasa
Belanda 1920. Kekaryaan terawalnya, terikat bentukan bahasa Melayu Klasik.
Tahun 1922, muncul awal kali
sebagai penyair dengan puisinya “Tanah Air” (himpunan puisi modern Melayu
pertama yang pernah diterbitkan), “Tumpah Darahku” 28 Oktober 1928. Karya ini
penting bagi sejarah, karena waktu itu Yamin bersama para pejuang kebangsaan
memutuskan demi menghormati satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa Indonesia.
Dramanya “Ken Arok dan Ken Dedes” berdasarkan sejarah Jawa, terbit di tahun itu
juga.
Puisinya berbentuk soneta yang
dipinjam dari literatur Belanda. Walau sering melakukan eksperimen, puisinya
masih menepati norma klasik Bahasa Melayu, dibandingkan generasi penulis
termuda. Menerbitkan drama, esai, novel sejarah, dan puisi. Menerjemahkan karya
sastrawan dunia; William Shakespeare (Julius Caesar), serta karyanya
Rabindranath Tagore.
Karier politiknya kala mahasiswa di
Jakarta. Bergabung organisasi Jong Sumatranen Bond, menyusun ikrah Sumpah
Pemuda yang dibacakan dalam Kongres Pemuda II. Ikrar tersebut menetapkan Bahasa
Indonesia berasal dari Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional. Melalui
organisasi Indonesia Muda, mendesakkan supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai
alat persatuan. Setelah kemerdekaan menjadi bahasa resmi, serta utama di dalam
kesusastraan.
Tahun 1932 bergelar sarjana hukum.
Bekerja pada bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942, dan tercatat anggota
Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir
Sjarifoeddin, mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia. Tahun 1939 sebagai anggota
Volksraad.
Semasa pendudukan Jepang
(1942-1945), bertugas di Pusat Tenaga Rakyat; organisasi nasionalis yang
disokong pemerintah Jepang. Tahun 1945, sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada sidang BPUPKI, pendapatnya mengenai hak
asasi manusia dimasukkan dalam konstitusi negara. Dan mengusulkan wilayah
Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor
Portugis, semua wilayah Hindia Belanda.
Setelah kemerdekaan, Ir. Soekarno menjadi
Presiden RI pertama, M. Yamin dilantik untuk jabatan penting dalam
pemerintahannya: Anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952),
Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Menteri Urusan
Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan
Pengawas IKBN Antara (1961-1962).
Saat menjabat Menteri Kehakiman,
membebaskan tahanan politik yang dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa
grasi, remisi, mengeluarkan 950 tahanan yang dicap komunis atau sosialis. Atas
kebijakannya, dikritik anggota DPR, tetapi berani bertanggung jawab atas
tindakannya. Semasa menduduki Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan,
mendorong pendirian univesitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Di
antara perguruan tinggi yang didirikannya, Universitas Andalas di Padang, Sumatera
Barat.
Tahun 1937, menikahi Siti Sundari,
putri bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah. Dikaruniai satu putra, Dang
Rahadian Sinayangish Yamin (Dian). Tahun 1969, Dian melangsungkan pernikahan
dengan Gusti Raden Ayu Retno Satuti, putri tertua sedari Mangkunegoro VIII.
Karya-karyanya: Tanah Air (puisi)
1922, Indonesia, Tumpah Darahku 1928, Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama)
1932, Ken Arok dan Ken Dedes (drama) 1934, Sedjarah Peperangan Dipanegara 1945,
Tan Malaka 1945, Gadjah Mada (novel) 1948, Sapta Dharma 1950, Revolusi Amerika
1951, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia 1951, Kebudayaan Asia-Afrika
1955, Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi 1956, 6000 Tahun Sang
Merah Putih 1958, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1960; 3 jilid,
Ketatanegaraan Madjapahit 7 jilid.
Penghargaan diraihnya: Bintang
Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari Presiden RI atas jasanya kepada
nusa-bangsa. Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta
lambang Gajah Mada, dan Panca Darma Corps. Tanda penghargaan Panglima Kostrad
atas jasanya mencipta Petaka Komando Strategi Angkatan Darat.
Referensi: “Tokoh Bangsa Multitalenta: M. Yamin,” Jurnal Nasional, 27 Juli
2011. Diakses 5 Juni 2012, “Posisi M.
Yamin dalam Sejarah Indonesia,” Okezone.com diakses 5 Juni 2012, Simbolon,
Parakitri Tahi (2006), Menjadi Indonesia, penerbit buku Kompas, Hukumonline.com
Muhammad Yamin, Pelopor Hak Asasi Manusia di Awal Republik, Tempo Edisi Khusus
Sumpah Pemuda, Sundari, Kacamata Merah Muda, 2008.”
***
M. Yamin: “Terimakasih Nurel. Dan
jumputkan catatan ‘Deklarasi Hari Puisi Indonesia,’ serta yang kau anggap perlu.
Yang ditulis siapa itu… aku lupa, di koran tertanggal sama aku sebutkan di
atas.” (Tengok pula Majalah Sastra Horison, edisi Januari 2013, di lembar
pertama dan kedua, halaman 2-3 “Catatan Kebudayaan” mengenai Deklarasi Hari
Puisi Indonesia, Inisiator dan Konseptor, Deklarator-nya).
Nurel: “Namanya Fedli Azis, Pak.
Saya ambil dulu isi deklarasinya.”
M. Yamin: “Silahkan.”
Nurel: “Berikut ini Bapak, Deklarasi Hari Puisi Indonesia
Indonesia
dilahirkan oleh puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh para pemuda dari
berbagai wilayah tanah air.
Puisi
pendek itu adalah Sumpah Pemuda. Ia memberi dampak yang panjang dan luas bagi
imajinasi dan kesadaran rakyat Nusantara. Sejak itu pula sastrawan dari
berbagai daerah menulis dalam bahasa Indonesia, mengantarkan bangsa Indonesia
meraih kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka.
Bahasa
Indonesia adalah pilihan yang sangat nasionalistis. Dengan semangat itu pula
memilih menulis dalam bahasa Indonesia, sehingga puisi secara nyata ikut
membangun kebudayaan Indonesia. Nasionalisme kepenyairan ini kemudian mengental
pada Chairil Anwar yang dengan spirit kebangsaan berhasil meletakkan tonggak
utama tradisi puisi Indonesia.
Sebagai
rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahi bangsa
Indonesia dengan kemerdekaan dan kesusastraan, sekaligus untuk mengabadikan
kenangan atas puisi yang telah melahirkan bangsa ini, kami mendeklarasikan tanggal
lahir Chairil Anwar, 26 Juli, sebagai Hari Puisi Indonesia.
Dengan
ditetapkannya Hari Puisi Indonesia, maka kita memiliki hari puisi Nasional
sebagai sumber inspirasi untuk menunjukkan kebudayaan Indonesia modern, literat
dan terbuka.
Pekanbaru,
22 November 2012”
***
M. Yamin: “Ambilkan pula daftar
nama pengikut kesaksian itu, yang tercatat di facebooknya Dimas Arika
Mihardja.”
Nurel: “Ya Bapak.” (M. Yamin
manggut-manggut tanda setuju). “Demikian ini Pak, Para Inisiator, konseptor dan
deklarator Hari Puisi Indonesia di Riau: 1. Sutardji Calzoum Bachri (Presiden
Penyair Indonesia), 2. Rida K. Liamsi (Penyair, Novelis, Yayasan Sagang), 3.
Maman S. Mahayana (Kritikus Sastra, Dosen FIB UI), 4. Agus R. Sarjono (Penyair,
Jurnal Sajak dan Jurnal Kritik), 5. Ahmadun Yosi Herfanda (Penyair, Komite
Sastra Dewan Kesenian Jakarta), 6. Kazzaini KS (Penyair, Dewan Kesenian Riau),
7. Asrizal Nur (Penyair, Yayasan Panggung Melayu), 8. Jamal D. Rahman (Penyair,
Majalah Sastra Horison), 9. D. Kemalawati (Penyair, Aceh), 10. Acep Zamzam Noor
(Penyair, Jawa Barat), 11. Bambang Widiatmoko (Penyair, Komunitas Sastra
Indonesia, KSI, Jakarta), 12. Dorothea Rosa Herliany (Penyair, Jawa Tengah),
13. Fatin Hamama (Penyair, Jakarta), 14. Isbedy Stiawan ZS (Penyair, Lampung), 15.
Chavcay Syaefullah (Penyair, Banten), 16. Hanna Fransisca (Penyair, Kalimantan
Barat), 17. Rahman Arge (Penyair, Sulawesi), 18. Joko Pinurbo (Penyair,
Yogyakarta), 19. Prof. Dr. Suminto Sayuti (Penyair, Guru Besar Sastra,
Yogyakarta), 20. John Waromi (Penyair, Papua), 21. Micky Hidayat (Penyair,
Kalimantan Selatan), 22. Pranita Dewi (Penyair, Bali), 23. Fakhrunnas MA Jabbar
(Penyair dan Cerpenis, Riau), 24. Taufik Ikram Jamil (Penyair dan Novelis,
Riau), 25. Husnu Abadi (Penyair, Riau), 26. Jefri Al-Malay (Penyair, Riau), 27.
Marhalim Zaini (Penyair, Riau), 28. Hasan Aspahani (Penyair, Wartawan,
Kepulauan Riau), 29. Husnizar Hood (Penyair, Kepulauan Riau), 30. Ramon Damora
(Penyair dan Wartawan, Kepulauan Riau), 31. Samson Rambah Pasir (Penyair dan Cerpenis,
Kepulauan Riau), 32. Iyut Fitra (Penyair, Sumatera Barat), 33. Dimas Arika
Mihardja (Penyair Jambi), 34. Hasan Albanna (Penyair dan Cerpenis, Sumatera
Utara), 35. Pandapotan MT Silagan (Penyair, Sumatera Utara), 36. Anwar Putra
Bayu (Penyair, Sumatera Selatan).”
***
M. Yamin: “Loh, kok dikasih angka?
Kan aslinya tidak ada?”
Nurel: “Biar mudah terbaca Pak.
Jikalau saya keliru, ada yang meluruskannya, sebab pada paragraf esai Dimas,
begini suaranya: Penyair Jambi, Dimas
Arika Mihardja (DAM), yang diundang ke PPI sekaligus salah seorang deklarator
Hari Puisi Indonesia, menyatakan Hari Puisi Indonesia itu mendapatkan dukungan
penuh para sastrawan, kritikus dan pengamat sastra. “Deklarasi Hari Puisi
Indonesia pada acara bertajuk “Malam Deklarasi Hari Puisi Indonesia” itu
dibacakan oleh Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, didampingi
oleh 37 penyair Indonesia (selaku inisiator, konseptor, dan deklarator)” jelas
DAM. “Turut memberikan sambutan adalah Gubernur Riau (H.M. Rusli Zainal), Ketua
Umum Dewan Kesenian Riau (H. Kazzaini Ks), dan Ketua Pembina Yayasan Sagang (H.
Rida K. Liamsi)”.”
M. Yamin: “Mungkin Dimas pernah membaca
makolah mengenai doa yang dipanjatkan
oleh sejumlah 40 jama’ah, kekuatannya sebanding seorang Wali. Lantas menulis
37, ditambah para penyambutnya.” (tengok Horison, jumlah Deklaratornya 31,
Jumlah Inisiator dan Konseptornya 7, maka totalnya 38 orang).
Nurel: “Saya tidak tahu Pak, apakah
di antara mereka ada Wali Allah, atau sudah sejumlah kekuatannya jika
dipersatukan. Tapi kalau tidak keliru saya dengar suatu makolah; kadang kebaikan pun keburukan, jika tidak tampak pada
perseorangan, akan diperlihatkan secara terbuka.”
M. Yamin: “Mereka mempuni dalam
kesusastraan di Indonesia, para sastrawan juga kritikus handal, serta Hari
Puisi Indonesia sudah ditetapkan. Sedangkan kau sendiri menyebut dirimu hanyalah
pengelana. Jangan-jangan kau yang keliru?”
Nurel: “Santai Pak. Bapak kan ingat
ketiga esai saya yang bertitel ‘Gugatan untuk MASTERA 2006, dan Anugerah Sastra
Dewan Kesenian Riau 2000’ I, II, III, juga perangai tulisan sebelum serta setelahnya;
yakni siap dikritik jika ada kehilafan, tentu Bapak memahami kandungannya?”
M. Yamin: “Ya, aku memahamimu Nurel
dan kabar sebenarnyalah yang patut diterbitkan. Dan kini kau ambil data yang
diperlukan untuk catatanmu. Oya, aku cemburu dengan Tagore, yang kau tulis
panjang-lebar. Kapan diriku kau kupas, sebagaimana sastrawan asal India
tersebut?”
Nurel: “Hehe... Kita kan sama
mengaguminya Pak. Dan kekaguman saya kepada Bapak, tidak kurang dibandingkan
terhadapnya. Mungkin jikalau waktunya berlaku, takdirnya betapa indah.”
M. Yamin: “Kau bisa saja
menghiburku. Ya sudah, siapa tahu ini menjadi ketetapan terindahku sebagaimana yang
engkau katakan.”
***
Nurel: “Sebagai sketsanya saya
ambil dari Wikipedia:
Sumpah Pemuda ialah bukti otentik
28 Oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Maka segenap rakyat memperingati
momentum tanggal tersebut sebagai hari lahir bangsanya. Proses kelahiran itu
buah perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas kekuasaan
kolonialis. Ini mendorong para pemuda saat itu membulatkan tekadnya demi
mengangkat harkat-martabat hidup orang Indonesia asli, menjadi komitmen
perjuangan rakyat hingga mencapai kemerdekaan 17 tahun kemudian; 17 Agustus
1945.
Rumusan Kongres Sumpah Pemuda
ditulis M. Yamin di secarik kertas, disodorkan kepada Soegondo, ketika Mr.
Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres (sebagai utusan kepanduan).
Sambil berbisik ke Soegondo: Ik heb een
eleganter formulering voor de resolutie (Saya punya formulasi lebih elegan
untuk keputusan Kongres ini). Soegondo membubuhi paraf setuju di kertas itu,
diteruskan yang lain paraf setuju. Sumpah awalnya dibaca Soegondo, lantas
dijelaskan panjang-lebar oleh M. Yamin.
Sumpah Pemuda versi orisinal:
Kami
poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
Indonesia.
Kami
poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami
poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia.
Sumpah Pemuda versi Ejaan Yang
Disempurnakan:
Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia.
Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami
putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dalam mempersatukan organisasi
pemuda pada satuan wadah dimulai sejak Kongres Pemuda Pertama 1926. Sebab 20
Februari 1927 telah diadakan pertemuan, namun belum mencapai final. Pada 3 Mei
1928 diadakan pertemuan lagi, dilanjutkan tanggal 12 Agustus 1928 dihadiri
semua organisasi pemuda. Dan diputuskan mengadakan Kongres pada bulan Oktober
1928, bersusunan panitia dengan setiap jabatan dibagi kepada satu organisasi
pemuda (tak ada organisasi rangkap jabatan):
Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI),
Wakil: R.M. Joko Marsaid (Jong Java), Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong
Soematranen Bond), Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond), Pembantu I:
Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond), II: R. Katjasoengkana (Pemoeda
Indonesia), III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes), IV: Johannes Leimena (Jong Ambon),
V: Mohammad Rochjani Su’ud (Pemoeda Kaoem Betawi).
Gagasan penyelenggaraan Kongres
Pemuda II berasal dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Atas inisiatif
PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung berbeda, dibagi tiga kali rapat:
Sabtu 27 Oktober 1928 di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB),
Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Sambutan ketua Sugondo Djojopuspito
berharap kongres dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para
pemuda. Dan uraian M. Yamin mengenai arti dan hubungan persatuan dengan pemuda.
Menurutnya ada lima faktor pemerteguh persatuan Indonesia: sejarah, bahasa,
hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Minggu 28 Oktober 1928 di Gedung
Oost-Java Bioscoop, membahas pendidikan. Pembicara Poernomowoelan dan Sarmidi
Mangoensarkoro berpendapat, anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, adanya
keseimbangan pendidikan sekolah, di rumah, dan dididik secara demokratis.
Rapat penutup di gedung
Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan
pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerak kepanduan. Ramelan
mengemukakan, kepanduan tidak bisa dipisahkan sedari pergerakan nasional. Gerakan
kepanduan sejak dini mendidik anak disiplin-mandiri, hal-hal dibutuhkan
perjuangan.
Sebelum kongres ditutup
diperdengarkan lagu ‘Indonesia Raya’ karya Wage Rudolf Supratman, yang
dimainkan biola tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu itu
disambut meriah para peserta. Kongres ditutup mengumumkan rumusan hasil-hasil.
Oleh para pemuda yang hadir, rumusannya diucapkan Sumpah Setia.
Peserta Kongres Pemuda II berasal
dari wakil-wakil organisasi pemuda waktu itu: Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes,
Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI,
Pemuda Kaum Betawi, dll. Hadir pemuda Tionghoa sebagai pengamat, Oey Kay Siang,
John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie, tetapi tidak diketahui latar belakang
organisasi yang mengutusnya. Sementara Kwee Thiam Hiong wakil Jong Sumatranen
Bond. Diprakarsai AR Baswedan, keturunan arab mengadakan kongres di Semarang,
mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.