Nurel Javissyarqi
(kupasan
kedua dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
I
Wallahualam bissawab, setelah diperjalankan dari
Lamongan ke Jombang, Kediri lalu berhenti di dataran bumi Reog Ponorogo, saya
lanjutkan kini. Kenapa disebut ‘diperjalankan?’ Lantaran kaki ini kehendaknya
damai di tanah kelahiran, namun air hayati menghempaskannya. Selepas 5 April
2012, saya seakan diringkus takdir besar atau bintang yang menaungi sudah
berubah letak edarnya, dan mungkin ini arah ‘terapi’ tersingkapnya Kun Fayakun. Pada periode sebelumnya,
perangainya bisa dilihat di bagian XX hingga sekarang.
Sisi
lain, saya serasa kurang pantas mengurai paparan penalaran apalagi dengan buku
tebal. Dan setelah diraba, sejenis terjadinya hukum kausalitas yang menaungi ini,
sepantulan dari kebuntuan para kritikus sastra yang tahu kejahiliaan tetapi dibiarkan,
serupa tanggul air tidak mengalir yang merubah warnanya sampai pembusukan. Sedang
kegiatan ini, segerak menjebol tanggul angkuh guna dialirkan airnya, demi memperoleh
tenaga pelestarian sedari nilai-nilai yang mempat itu? Maka terpancanglah
pembangkit tenaga alami.
Atau
seyogyanya kritikus pendukung Sutardji juga menghardik kesalahfatalan yang terjadi
pada teksnya, tapi lantaran bungkam, sunnatullah
diperjalankan. Saya tiba-tiba menulis kritik panjang lebar tidak lebih
sepantulan energi dari kritikus yang malas mengkritisi, sungkan menegur SCB
menjadi kebodohan semakin parah. Ini perihal ketersumbatan lalu membanjir atau
ribuan semut hitam kata-kata di atas kehendak keseimbangan. Seperti ombak memecahkan
keheningan malam atau gerhana bulan dua kali dalam tahun ini sebagai saksinya.
Saya
yang bercita-cita jadi pelukis, sebab suatu hal dan oleh pilihan sudah dimatangkan
di tahun 1999; meyakinkan diri menghadapkan jemari memegang pena demi menyetiai
menulis. Apakah kini saya penulis, penyair atau sastrawan? Itu kurang penting
dan tidak harus membuat plakat di depan rumah atau belakang nama. Setidaknya
saya tidak menyebarkan gosip, tetapi tekslah yang bicara. Umpama saudara tidak
paham saya maklumi, membedakan kata kerja dan kata benda saja tidak mampu dalam
kasus SCB menyoal Kun Fayakun yang
diselewengkannya?
***
Lansung
saja, baca ulang kutipan saya (paragraf Aguk Irawan Mn) bagian sebelum ini.
Lalu masuk petuah Al-Ghazali: “Barang
siapa yang hendak berbicara tafsir Al-Qur’an dan takwil hadits, pertama-tama
wajib menguasai bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu i’rab, dan ilmu sharaf, karena
ilmu bahasa merupakan tangga dan jembatan bagi semua ilmu. Barang siapa tidak
menguasai ilmu bahasa, maka tidak akan berhasil memperoleh ilmu. Barang siapa
hendak meningkatkan prestasinya, pertama-tama, hendaklah membentangkan jembatan,
baru kemudian melintasinya. Ilmu bahasa adalah jembatan paling utama dan
lintasan paling pokok. Pencari ilmu mesti mengetahui segenap hukum bahasa.”
“Pemulaan ilmu bahasa adalah
pengetahuan perangkatnya yaitu: kosakata atau muffradat (vocabulary), susunan
kata kerja dan lainnya. Orang yang belajar bahasa Arab harus mempelajari
syair-syair Arab. Syair-syair Arab yang pertama kali harus dipelajarinya adalah
syair-syair jahiliah, karena syair-syair jahiliah itu akan membantu menghapus
keraguan pada suatu makna kata.” (Al-Risalah Al-Laduniyah, penerjemah M. Yaniyullah,
terbitan Hikmah, cetakan II, Juli 2003).
Kutipan
di atas sedikit banyak pembaca bisa merujuk ke bagian XVI yang memuat uraian
alat baca (nahwu shorof) mengenai Kun
Fayakun. Dan jumputan kedua saya tambahkan tulisan Imam Al-Ghazali di buku
yang sama berikut ini:
“Ilmu itu
zatnya sendiri sudah mulia tanpa harus memandang obyeknya. Termasuk ilmu sihir,
zatnya sendiri mulia sekalipun batil. Hal ini dikarenakan ilmu itu merupakan
kebalikan dari kebodohan. Kebodohan pasti disebabkan oleh terhalang
/terdinding. Keterhalangan disebabkan oleh diam, sedang diam itu lebih dekat
kepada ketiadaan. Kebatilan dan ketersesatan berada pada posisi ini. Jika
kebodohan masuk ke dalam hukum ketiadaan, maka ilmu masuk ke dalam hukum
keberadaan. Tentunya keberadaan (ada) lebih baik dari ketiadaan. Hidayah, hak,
dan cahaya, semuanya masuk pada level keberadaan.”
Pengarang
Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin tersebut memperkuat
landasannya berdasarkan Al-Qur’an, Surah al-Fathir (35), ayat 19. Setahu saya,
banyak disertasi yang berusaha menganalisa ajaran Islam dengan menghindari
pengambilan ayat-ayat kitab suci, dikarenakan hal itu saklek tidak terbantah.
Lalu para guru besar menyarankan untuk mencari rujukan lain, guna menyegarkan khasana
dialektika. Namun rasanya saya curiga, mereka tidak berani mengambil resiko
pada jalan ijtihat. Lebih parah menghindari lantaran kurang menguasai, terlebih
akrab petuah para intelektual dari Barat sejenis. Padahal Al-Furqan kitab
sucinya yang wajib dipercaya di dalam meneliti soal kehidupan yang dilakoni,
demi menggapai kejayaan akhirat.
“Keterhalangan disebabkan
oleh diam, sedang diam itu lebih dekat kepada ketiadaan.” Ingat SCB mengganti makna
kata ‘Kun’ yang seharusnya ‘Jadilah’ dipandangnya sebagai ‘Jadi’ atau kata
benda, lalu diulang-ulang demi meyakinkan kepada pembaca bahwa jalurnya sudah
tepat. Ternyata malah menyerukan pada laluan kegelapan, lepas dari prosesi
kerja. Mematung serupa puisi konkret atau sajak-sajak jahiliah pra-Islam di
tanah suci Makkah yang ditempel di dinding Ka’bah. “...syair-syair jahiliah itu akan membantu menghapus keraguan pada
suatu makna kata.” Ingat perkataan paragrap kedua IK, esai yang saya kupas
ini dan ‘Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998’ “Puisi adalah alibi kata-kata.” Maka
inilah jawaban paragraf IK yang ke 5 dan 6. Saya berharap pembaca tidak malas bolak-balik
mencerna, demi memperoleh keadaan yang sebenarnya!
***
II
Sebelum
jauh saya tulis catatan perjalanan terlebih dulu. Saya diperjalankan kembali
oleh laku hayati, dari Ponorogo ke Cabean, Jogjakarta, lalu malam kini berada
di Watucongol, Muntilan, Magelang. Lintasan ini seakan menghimpun bulir-bulir
renungan sepuluh tahunan lalu, yang berlalu seolah tidak terasa. Atau begitulah
hayat diobang-ambingkan kesadaran, kadang bayu keterlepasan di atas hawa sejuk
melenakan. Semua serentak menghimpun satuan waktu setali-temali luput terkadang
menjerat langkah, naik-turun seperti air laut bergelombang. Dan yang terpahat
sekarang, memberi pekerti di hari kemudian.
***
Terpetik
ungkapan Al Imam Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdurrahman Al Hamdaany dalam
kitabnya “As Sab’iyyaatu fil Mawaa’idhil
Barriyyat” yakni; ‘Kuda diciptakan
dari angin.’ Saya tidak sedang berkuda dalam setiap perjalanan, namun teringat
itu. Dan tertera petuah Al-Ghazali pada buku yang saya rujuk di muka;‘Badan bukanlah tempat ruh dan tempat hati,
badan hanyalah alat ruh dan perangkat hati serta tunggangan jiwa.’ Ya, ruh
serta hati saya sedang menunggangi tubuh dan diperjalankan searah hawa
keganjilan. Takdir entah tiada yang tahu pasti ketika sudah berada di atas uap
dari api tungku menyala-nyala. Air hayati dipanasi menaikkan uap menempel di
kaca cermin berupa bintik-bintik bening tidak terkira, nikmatnya patut
disyukuri meski dalam gugusan suwong.
Begitu
menggetarkan kata-kata Al-Ghazali yang terus mewedaran ujarannya, ‘Kebodohan itu masuk dari kemestian jasmani,
dan ilmu itu masuk dari kemestian jiwa.’ Yang berada atau di antara tulisan
ini sejenis reaksi kimiawi jiwa memenuhi bidang kajian, atau saya dalam
pergumulan perasaan dan penalaran lembut. Mengolah bahan pertimbangan batin
sebelum menempati ruang penentu, putusan dari kematangan sesudah dilakoni
syarat-syarat untuk memperoleh pengetahuan. Ialah perluasan kesadaran denyar
cahaya, seperti pijar jantung gerakkan tubuh, sedang hati menaungi seawan
mengembarai titian rindu. Pada gilirannya menjatuhkan bebulir hujan sejukkan
pelataran, memunculkan kuncup kembang rindu bermekaran. Dan serbuk-serbuknya
menerangi seperasaan pertama, meski berkali-kali tiba waktunya. Ini
mengingatkan kepada Mbah Shalih:
Di
antara murid Sunan Ampel, hanya Mbah Shalih yang punya peristiwa misteri;
mengalami mati sembilan kali, sehingga kuburannya pun sembilan. Menurut
riwayat, Mbah Shalih salah satu murid Sunan Ampel yang merangkap tukang sapu
masjid. Pekerjaannya itu memuaskan Sunan Ampel dan semua orang, menyapu lantai
masjid sangat bersih, hingga yang sujud tanpa sajadah pun tidak merasa ada
debunya. Setelah Mbah Shalih wafat dan dimakamkan di muka masjid, baru terasa
oleh Sunan Ampel serta orang banyak, yaitu tiada seorang pun yang mampu menyapu
lantai masjid sebersih sapuannya. Lebih-lebih para santri tidak bisa rutin
menyapu, akibatnya keadaan masjid sering kotor lantainya. Melihat demikian,
berucaplah Sunan Ampel, “Seandainya Mbah
Shalih masih hidup, tentulah masjid ini menjadi bersih.” Tiba-tiba di
pengimaman nampak Mbah Shalih sedang menyapu, lantai masjid pun bersih kembali,
semua orang keheranan melihat Mbah Shalih hidup kembali. Beberapa bulan
kemudian wafat lagi, dan dimakamkan di sebelah timur berdampingan dengan makamnya
yang pertama. Sepeninggalnya kedua, keadaan masjid kotor lagi. Atas kekaromahan
Sunan Ampel mengucapkan kata-kata sebagaimana dahulu, dengan ijin Allah Swt.
Mbah Shalih hidup kedua kalinya. Demikian kejadiannya beberapa kali wafat dan
hidup kembali. Sesudah kuburan Mbah Shalih genap delapan, Sunan Ampel tiba
kewafatannya. Sepeninggal Sunan Ampel, Mbah Shalih pun wafat, sehingga
kuburannya sebanyak sembilan, kuburan yang akhir berada di ujung timur. (Kisah
Wali Songo, disusun oleh Baidhowi Syamsuri, 1995 penerbit Apollo Surabaya).
Dalam
karangan ‘Kitab Para Malaikat’
tertuang berikut ini, “Ia tak pernah
menjatuhkan vonis kematian kedua kali, kecuali kau naik banding, serupa mati
surinya pemegang sapu lidi di makam Ampel (II: I).” (Hukum-hukum Pecinta
II: I - CXIII, terbitan PUstaka puJAngga, 2007). Membersihkan bidang perasaan,
menyapu debu perjalanan demi khusyuknya pertemuan. Maka uraian lanjut saya menunggu
kedatangannya, kehadiran itu. Dan bekal tertanam kini, semoga menyeruak
segetaran nasib menuruni peta yang sudah tertera jauh sebelum kelahiran di
bumi.
***
III
“Abu
Mas’ud ‘Uqbah bin Amrin al Anshari al Badri r.a. mengatakan; Rasulullah saw
bersabda, ‘Sesungguhnya, salah satu
ucapan kenabian yang pertama yang diketahui oleh umat manusia adalah apabila
engkau tidak malu, maka lakukanlah sekehendakmu.” (H.R. Bukhari). Hadits
Riwayat dalam “Kitab Syarah Hadits Arba’in” karangan Al Imam Yahya bin Syaraf
Al Nawawi, yang diperkuat dengan Q.S. Fushshilat: 40, yakni bentuk larangan (ancaman)
yang dipermanis, istilah Jawa-nya ‘dibombong,’ semacam ‘dipangku’ di dalam
perkara akrasa Jawa yang berarti ‘mematikan’ pada kalimat; “...apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah sekehendakmu.”
Bagian
ini tergambar kurang terkait langsung kajian, karena mengungkap catatan
perjalanan, namun Insyaallah terpaut seirama gerak, lantaran teks yang saya
tuangkan ialah cerminan hati bergetar oleh cobaan menimpa. Lewat melayarkan
jemari menjatuhkan pilihan mengisi ruang jiwa beserta nikmat yang tiada terkira
dari-Nya, memberi waktu luas bersuntuk meski dalam kepayahan batin yang tengah
didera musibah. Semoga ke pantai keyakinan; ini dambaan laku sedari peneliti,
yang tengah diombang-ambingkan kehidupan di dalam percepatan seimbang, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. Al Qamar: 49).
Dari
ayat tersebut, Al Nawawi mengurutkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan Ibnu
Abbas r.a., “Ketahuilah bahwa seandainya
sekelompok orang bersepakat untuk memberikan manfaat kepadamu, maka tentu
mereka tidak akan dapat memberikan kepadamu manfaat, kecuali dengan sesuatu
yang telah ditetapkan Allah. Sebaliknya, manakala sekelompok orang bersepakat untuk
mencelakakanmu, maka mereka tidak akan dapat mecelakakanmu, kecuali dengan
sesuatu yang telah ditetapkan Allah. Pena untuk menulis, takdir telah diangkat
dan lembaran-lembaran buku catatan takdir pun telah habis.”
***
Dan
setelah ‘diperjalankan’ dari Gunung Pring (Watucongol,
Muntilan, Magelang), ke Cabean (Yogyakarta),
ke Ngelipar (Gunung Kidul), diantar oleh
lima orang veteran ke Ponorogo, lalu ke Menturo (Jombang, ke makam ibunda Emha Ainun Nadjib; Hj. Chalimah yang meninggal
pada tanggal 1 September 2012), lantas ke Langitan (Tuban), ke Makam Sunan Drajad (Lamongan),
menuju ke Pasuruan dan kembali ke Ponorogo, kini saya lanjutkan.
***
Mungkin
lebih sebulanan tidak meneruskan catatan, selain dinding tebal menjulang
persoalan diri menghadang juga berkali-kali menempa. Tepatnya menyesuaikan hawa
prosesi penulisan, guna tetap pada satuan bendelan yang dapat ditarik pengertian
di hari kemudian. Gaya seolah tidak terkait ini pertemuan kebetulan yang saya
ketengahkan, saudara membaca tentu berbeda dengan esainya IK yang bertitel “Sastra Indonesia dan Saya, Sebuah
Perjumpaan, Untuk Leo Kleden, Mengenang 23 Juni 1979.” Sebenarnya saya
tidak perlu menyoroti, hanya kalau ada yang menganggapan ceriwis, atau bolehlah
menebalkan keyakinan ke muka. Toh saya tidak mengharuskan diterima, mungkin
hanya kata ‘maaf,’ jika saudara sayang tidak melanjutkan.
Ini
kali agak malas, namun rindu berkata-kata. Boleh jadi raginya kumparan gugusan
pandang terlewat, dan saya asyik mencengkeramai diri mengenai kebenaran
teryakini, pun perihal yang patut digaris bawahi. Tulisan ini sisi lain terapi,
jika ditengok beban menimpa, sejalan tulisan menyehatkan badan-jiwa. Setidaknya
dengan kualitas yang ada bisa menjurus pada perampokan, tapi Alhamdulillah diri ini terhanyut
ketampanan para pemikir, keuletan peletak dasar penalaran sedari perwujudan
wahyu sampai sihir. Sehingga disibukkan suara kedalaman, lalu menganggap ringan
hidup hanya mencari keselamatan.
***
Kini
tanggal 15 Dulkaidah 1945, Senen Pon menurut kalender Jawa, saya balik di
Perumahan Patihan (Sutejo Spectrum Center) yang berbentuk aula menghadap ke
utara, di depan terhampar lapangan yang senantiasa sunyi. Di sebelah barat dan
timur masing-masing tidak ada lima puluh langkah adanya bangunan masjid,
keduanya tidak terlalu besar jika dibanding masjid-masjid di wilayah Pantura.
Saya sedang tidak banyak membaca buku tetapi menyerapi bacaan telah lalu,
serupa melilitkan benang-benang jiwa menghitung hati berkaca diri. Sesekali
menghela nafas panjang, kini berkeadaan pelahan, sepelan merasakan timbagan
hampir mendekati seimbang.
Dalam
ruangan yang luas itu, di sebelah barat berderet buku-buku karya Sutejo, calon
doktor (waktu itu) penemu teori Etnosufistik pada disertasinya “Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus
Sunyoto.” Di atas deretan buku, ada lukisan karya Andry Deblenk dan Sugeng
Ariyadi. Kadang saya ditemani kicauan burung prenjak juga burung lain yang
bebas mengudara. Sebelah selatan letak saya tempati, terbentang pesawahan
menghijau meski musim kemarau, terbersitlah bagusnya pengairan di Ponorogo.
Mungkin hanya di sini bisa tenangkan diri, setidaknya tidak balik ke Tegalsari,
lantaran jikalau lama di sana, batin ini tertekan kenangan terdekat di hati.
Teman-teman
lukis pun kawan-kawan penulis kerap datang di sebelah waktu sepi, seperti pagi
ini dan pagi terlewat, pula malam-malam tanpa bayangan, sunyi mencekam, saya
tenggelam di dalam renungan laksana patung sendirian. Hanya bacaanlah yang
menghibur, ruh orang-orang dahulu mampir menyambangi,
datang beraroma harum sejelas kedekatan diri keakraban pribadi mengenalnya.
Lantas menjelma harmoni menemani tapak hidup mengudar pengertian senggang,
serasa denyar warna anyar kejadian peleburan, di atas karakter pelbagai rupa
drajat keadaannya.
Melodi
ini rasanya berbekas dari pembacaan “Balada
di Bukit Pasir Prahara” minggu lalu, di STKIP. Saatnya mengedarkan ingatan
di bagian sebelumnya, dan catatan kini demi menggenapi kisah. Kalau ada yang mengira
ini tegur sapa dangkal, maka meski terlambat; O selamat datang, wahai yang memperluas kemungkinan terhampar rahmat-Nya,
bagi penempuh jalan kesunyian.
***
Pada
bagian XVI saya menyebut, Kun Fayakun
terdapat di penghujung Surat Yaasiin ayat 82, penghujung Surat An-Nahl ayat 40:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap
sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “kun
(jadilah),” maka jadilah ia.” Dan “Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
“Jadilah!” maka terjadilah ia.”
Dan
setelah menelusuri, ternyata ada di beberapa ayat pada surat lainnya di dalam
al-Qur’an,
Al
Baqarah: 117 : “Allah Pencipta langit dan
bumi, dan bila Dia berkehendak sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya:
“Jadilah!” Lalu jadilah ia.”
Al
An’aam: 73 : “Dan Dialah yang menciptakan
langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia
mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah,” dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan
di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan
Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
Al
Mu’min: 68 : “Dia-lah yang menghidupkan
dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata
kepadanya: “Jadilah,” maka jadilah ia.”
Maryam:
35 : “Tidak layak bagi Allah mempunyai
anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya
berkata kepadanya: “Jadilah,” maka jadilah ia.”
Ali
‘Imran: 47 : “Maryam berkata: “Ya
Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh
oleh seorang laki-laki pun.” Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah
Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak
menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah,” lalu
jadilah dia.”
Ali
‘Imran: 59 : “Sesungguhnya misal
(penciptaan) Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah,”
maka jadilah dia.”
***
IV
Bayangkan
saya tidak paham kaidah berbahasa, namun siapa tahu malah menjadi masukan
berharga? Dan bayangkan kata ‘Jadi’-nya SCB sebagai kata konjungsi (kata
penghubung) di dalam paragrafnya:
“Pada mulanya Tuhan Sang
Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari
puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi
adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata
yang adalah makna itu sendiri” (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan
Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, ‘Isyarat’ halaman
20).
“Pada mulanya Sang Maha
Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari
puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan
pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju,
terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” (“Bukan” Sutardji Calzoum
Bachri -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-, “Bentara” Kompas, 11
Januari 2003, ‘Isyarat’ halaman 22).
***
Di
beberapa kejadian dan peristiwa dalam suatu nuansa pun suasana, aura atau dalam
kurung letak tertentu, kata ‘jadi’ dalam kebahasaan Indonesia tidak berarti (tidak
otomatis) bermakna ‘ada, wujud,’ tapi kehadirannya sekadar ‘kata penghubung.’
Sisi lain wewarna perlambang dari kata yang sama, namun berbeda makna serta
berlainan fungsinya; yang tertemukan itu kadang menguatkan kalimat, menyamarkan
pula mendangkalkan peristiwa yang diboyongnya. Di sini, tantangan seorang
sastrawan menyuntuki rupa yang terkandung sedalam bahasa yang dipunyai.
Maaf,
saya agak geli lantaran seolah-olah guru bahasa. Misalkan dalam kalimat ada
kata ‘jadi’ yang tidak bernilai ‘ada atau wujud’: “Sebab SCB berpendapat ‘puisi adalah alibi kata-kata,’ jadi puisinya
asal-asalan.” Demikian contoh kata ‘jadi’ yang tidak dimaksudkan ‘wujud
atau ada,’ tapi sebagai ‘kata sambung.’ (Bunyi kalimat “puisi adalah alibi
kata-kata” yang terdapat dalam esainya SCB, “Pidato Penyerahan Anugerah Sastra
Chairil Anwar 1998,” pada Catatan Kebudayaan, Horison, XXXII/5/1998, dan di buku
“Isyarat,” kumpulan esai Sutadji Calzoum Bachri, IndonesiaTera, halaman 14).
Sebelum
merambahi soal, saya turunkan bayangan di papan kemungkinan. Di beberapa
perkara, kata ‘jadi’ yang tidak hanya bermakna ‘wujud atau ada,’ hampir setara
kata konjungsi ‘maka,’ yang dipakai untuk menghubungkan anak kalimat dengan
induk kalimat juga antar kalimat. Seperti: “Karena
kedinginan, jadi memakai jaket” dan
“Sebab kehujanan, maka badannya menggigil.” Ini bisa dikembangkan setampan
penalaran pelakunya. Apakah termasuk sudah baku? Mengenai baku atau tidak,
diterima langsung pun tidak, saya serahkan kepada pembaca. Di sini menduduki
perkara dengan membuka perihal yang sudah berlaku tetapi masih dicurigai. Misalkan
hanya mengikuti aturan saja, padahal yang lainnya sudah menari lincah pula
melesat ke ujung setara serta lebih.
***
Kelenturan
kata ‘jadi’ juga kekakuannya menampilkan tekanan yang kokoh, dibanding dengan kata
‘maka’ yang sepintas melahirkan perangai hampir sama antara kalimat yang
disambungnya atau sedikit seimbang. Sedangkan kata ‘jadi,’ menyerupai
penghakiman terhadap peluang yang diketengahkan sebelumnya. Hukum ini berlaku
lantaran kata ‘jadi’ sanggup memoles parasnya membentuk ‘kata’ yang tidak
melempem, seumpama kata ‘menjadi’ berbeda dengan kata ‘makanya,’ itu pun dapat
diserap ke dalam tubuh kata ‘jadi,’ menjelma kata ‘jadinya.’
‘Kejadian’
ini. Nah, kata ‘kejadian’ (yang menunjuk pada keadaan atau peristiwa tertentu)
pula semacam berangkat dari kata ‘jadi’ (?), sedangkan kata kunjungsi ‘maka’
tidak sanggup menampilkan perihal demikian mewah. Kejadian tengah terunggah ini
setidaknya sudah mewarnai juga mewabah di masyarakat, dan kerja penyair
menggeluti nada irama yang menggelinjak pada ruh pencipaan karyanya. Tinggal
menyadarinya meluas, atau berpatokan nasib pada aturan yang senyatanya
berselisih paham antara karya ilmiah atau tidak, misalkan.
Bandingkan
kata ‘makanya, olehnya, dengannya’ dengan kata ‘jadinya,’ yang seakan sudah
meringkus peristiwa yang se-durung-nya
disampaikan. Inilah kelebihan sekaligus kekurangan dari kata ‘jadi.’ Mungkin
Sutardji termasuk penyair cerdas namun kelewat batas, sehingga ianya
menggulirkan perkara dengan mencoba merombak kata ‘kun’ dari Kun Fayakun, dan ‘kun’ dimaknakan
‘jadi.’ Padahal di dalam kebahasaan Arab, kata ‘jadi’ adalah ‘kana’ bukannya
‘kun.’ Soal ini saya kira ahli bahasa pendukungnya bisa menjawabnya lebih
lapang, andai saya keliru.
Apakah
para pakar bahasa sudah merambahi kata ‘jadi’ yang disampaikan SCB? Saya tidak
yakin, tersebab hadirnya buku tipis saya yang sebelumnya dianggap ringan saja.
Maka diri ini mensyukuri karena bisa berhadapan langsung meluas ke jangkauan
yang tidak sempat mereka pikirkan. Ini bola bekel memantul terbentur dinding
karang, yang pasti keropos oleh desakan ombak berulang. Pada waktu hening saya melihat
bola tersebut bekerja, meski saya sedang nyenyak bersama tarian gelombang
pemikiran yang selalu mengukir tahap kebenaran juga mengeroposkan jari-jemari
mitos kesusastraan.
Secara
umum, kata ‘maka’ sering digunakan bersamaan dengan kata ‘jika,’ contoh “Jika ia datang, maka saya senang.” Bandingkan,
“Jika ia datang, jadi saya senang,”
dan “Jika ia datang, saya jadi senang.”
Tidakkah kata ‘jadi’ di sana begitu elok yang dapat diletakkan sebelum dan
sesudah kata ‘saya.’ Dan akan fatal kalau diganti dengan kalimat ini, “Jika ia datang, saya maka senang,” yang
tampak lucu bin wagu!
***
Almarhum
kritikus Umar Junus, lahir di Silungkang, Sumatera Barat, Indonesia 2 Mei 1934,
dan meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal dan bulan yang sama kelahiran
saya ‘8 Maret,’ namun di tahun 2010 kemarin. Junus menulis Sutardji (bukunya “Dari Peristiwa Ke Imajinasi, Wajah Sastra
dan Budaya Indonesia,” bagian 16: “Puisi Yang Mantra Di Indonesia: Suatu
Interpretasi,” Penerbit Gramedia, Cetakan 2, April 1985), yang mementingkan
unsur bunyi daripada arti di dalam puisi-puisi SCB, pun tidak sempat mendedah
keteledoran fatal pidato kebudayaan Mastera 2006 dan DKR 2000. Mungkin
kata-kata “Jadi, lantas jadilah!”
serta “Jadi maka jadilah!” Sutardji,
dianggapnya memiliki kekuatan bunyi yang menyamai kata kerja dalam kata ‘jadi,’
maka sampai kini alam susastra masih terselimuti pekabutan mitos yang paling
pekat.
Junus
seperti juga Dami, banyak mengusung referensi dari luar demi mendukung
‘keserampangan’ Sutardji, dengan abai atau menekan kekurangan manusiawi pada
diri sang penyair yang diandalkan. Lewat menaikkan pamor menjulang pada kekaryaan
SCB; seakan kehadirannya sangat berjasa untuk kemajuan sastra di Tanah Air.
Sekali lagi tengok siapa saja, apa pula bunyi menjadi patokan, lalu bandingkan dengan
paham para tokoh lain yang terbukti telah menggerakkan nalar peradaban!
Jika tidak mementingkan
arti, tapi bunyi,
maka contoh kata sambung (penghubung), atau apa saja yang dapat saudara gandeng
menerus, bolak-balik jempalitan tanpa harus repot mencari maknanya sedari
proton sampai neutron segala. Lewat kaca mata sederhana, para pendukung kekacauan
tersebut semakin kacau. Dan kita tidak memperoleh apa-apa selain ketakjuban
nalar yang tidak berfaedah, sebab kerja daripada puisi sangat berbeda daripada
bom atom, misalnya!
Tidak
usah jauh mengkritisi kebesaran Chairil, Sutadji, tengoklah ‘kengawurannya’
jika ingin kedewasaan sejarah sastra Indonesia. Mengedepankan boroknya,
‘tinimbang’ pamor bikinan pesona seolah-olah. Atau rasa-rasanya melebihi
kupasan pada firman-firman-Nya, sehingga orang-orang seperti saya begitu hadir
beringas. Dan saudara layak mendapatkan, kalau masih berkutat pada kata-kata
tanpa manfaat untuk sesama, kecuali pentas sulapan di depan mereka yang haus
hiburan malam dengan tepuk tangan panjang.
***
Katanya,
“mantra itu -sesuatu yang utuh, yang tak
dapat dipahami melalui unsur pembentuknya,” dan – “sesuatu yang tak komunikatif dengan manusia, sehingga bersifat
esoteris dan misterius, karena ditujukan kepada sesuatu yang gaib, merayunya,
kemudian memerintahkannya untuk melayani kehendak yang mengucapkan mantra.”
Sayangnya, Junus tidak banyak menebarkan contoh untuk menerangkan, sambil
membandingkan puisi-puisi Sutardji yang menurut saya terbesar sulapan.
Bagaimana kita mempelajari ‘yang tak
dapat dipahami melalui unsur pembentuknya?’ Tentu dengan misal dan saya
telah menyatakan seperti perusakan Ka’bah di bagian lalu. Lantas dengan apa
para kritikus yang bertengger di singasana membetulkan kerusakan dalam memaknai
Kun Fayakun, yang dilakukan penyair
jempolannya?
Karena
mereka menerangkan ‘kemegahan’ yang dikritisi, pantas pula mempertahankan yang
saya ajukan! Sehingga tidak seperti ungkapan Junus sendiri, ‘indah kata dari rupa,’ atau indah
berita dari kenyataannya. Sekali lagi saya suka penyair pula kritikus yang
pandai menghipnosis dari dugaan ke alam realitas, dan yang kesadarannya
terlambat -jatuhlah kecewa. Di sini saya mensyukuri keterlambatan mengenal
kritik sastra di Indonesia. Karenanya berkewaspadaan bertingkat, tidak langsung
menelan mentah yang diterangkan para pendahulu tanpa curiga. Padahal kekritisan
adalah suatu pertahanan di dalam sebuah bangsa yang sedang krisis!
Jadi
atau maka (sambil mengingat perkara sebelumnya), kita hanya mengenal ‘politik belah bambu, mikul dhuwur mendhem
jero.’ Yang silap diabaikan, yang terlihat menguntungkan diperkarakan ke
sidang pembaca. Lalu kapan terjadi pertaubatan besar-besaran, kekacauan
melebar, lebih tragis bungkam?!
Sesaat
menopang puisi mantra Sutadji, Junus sampai menuangkan kalimat berikut, “Komunikasi bahasa pada bentuknya yang
paling hakiki dilakukan dengan menggunakan bunyi bahasa.” Bagi saya juga
peneliti lawas, mantra tidak lebih doa. Saya tidak memungkiri perwujudannya
sejenis ‘komunikasi satu arah.’ Karena bagaimana pun doa tidak sekadar kata,
tapi adanya ruh hakikat yang disampikan ke hadirat Yang Kuasa. Kekuatannya
tidak lewat mementingkan bunyi yang tersampaikan saja, tetapi makna yang terkandung
di kedalamannya.
***
V
Saya
teringat ceramahnya Gus Najib Denanyar, Kyai Ghofur Pesantren Sunan Drajad,
serta para kyai lain yang mengisahkan dirinya bertemu seorang kyai sepuh, lalu memperoleh
amalan yang berbahasa Arab (dari Al-Qur’an). Dan atau yang mengisahkan sosok kyai
kampung kala mengimami di mushola, yang dalam pembacaan doanya di dalam sholat
tidak fasih, namun Kyai Ghofur, Gus Najib dan para kyai lain sangat segan
kepadanya. Lantaran bukan bunyi yang utama (pengucapan bahasa Arabnya lebih
kental logat Jawanya), tetapi makna yang diresapi sang kyai sepuh tersebut sampai
tulang sumsum keyakinan. Bukan bunyi bahasa yang hakiki, tapi kesadaran
terdalam dari yang diucapkan itu menjadi penggerak dinaya mantra, doa.
Ada
cerita lain terdengar dari guru saya sewaktu di bangku sekolah Ibtidaiyah, suatu
masa satu keluarga kota masuk kampung terpencil menikmati hari libur melepaskan
penat melonggarkan beban kesibukan di kepala. Keluarga itu tersesat oleh
jalannya berlika-liku naik-turun gunung, bertanyalah mereka kepada penduduk
setempat akan jalan ke kota. Sebelum diberitahu, sang pemilik pondokan
mempersilahkan tamunya untuk menyeruput wedang dan mencicipi camilan, sebagai
tanda bahagia ada orang kota yang mampir ke rumahnya.
Kala
menikmati suasana melegakan, orang kota mengamati rumah bambu yang disinggahi.
Pandangannya tertuju pada seekor burung dalam sangkar yang kicauannya merdu sehingga
terpikat olehnya. Orang kota dengan ringan ucap ingin membelinya, namun tuan
rumahnya keberatan. Singkat cerita pemiliknya belum berkenan, oleh harga yang ditawar
atau menanti kesepakatan anggota keluarga yang masih di ladang. Dan memperbolehkan
memilikinya jika benar-benar suka, dengan syarat pada hari minggu depannya.
Lantas baliklah rombongan itu, sambil membayang di minggu depan mempunyai
burung yang didambakan.
Pada
hari yang sudah ditentukan, orang kota beserta keluarganya ke kampung yang
pernah disinggahi. Sambil menyetir mobil, hati pikirannya berbunga-bunga,
karena akan menambah koleksi burung yang menghiasi rumahnya, yakni burung bagus
bulunya dan indah kicauannya. Jalanan yang dilewati kanan-kiri menghijau,
menambahi sedap senandung batinnya sumringah, sementara tuan rumah mempersiapkan
masakan terlezat untuk tamunya. Antara yang datang dan menanti, sama terjerat
gulungan masa betapa mewah. Kabut turun pelahan laksanan kesopanan gadis dari
titian panjang sehabis mandi di sendang. Kembang bermekaran menebarkan pesona,
halus disapa kerlingan mata, dan penciuman santun sebelum memetiknya.
Sampai
perjumpaan yang dinanti. Tuan rumah mempersilahkan tamunya menikmati hidangan
yang disuguhkan. Selepas itu, orang kota bertanya mengenai burung di minggu
kemarin yang diimpi menjadi kepunyaannya. Semenjak datang hingga habis makanan,
dirinya tidak tenang, karena memikirkan burung yang pernah dilihatnya. Dalam
hatinya, burung tersebut ditaruh di belakang rumah? Atau sudah dipersiapkan
untuk dirinya dibawa pulang? Apakah yang terjadi?
Dengan
tenang sang pemilik burung bercerita kalau makanan yang dihidangkan barusan adalah
burung kemarin yang ditanyakan. Kagetlah orang kota tidak percaya pada kejadian
yang dialami. Ia kecewa berat, menyesali ‘kebodohan’ (keluguan) orang desa yang
ditemui, sehingga mukanya murung berat menerima realitas yang menimpanya. Orang
kampung mengira orang kota kembali karena masakan yang pernah disuguhkannya,
lantaran di waktu itu juga memasak daging burung. Sementara orang kota datang
sebab terpikat kicauan serta paras ayu bulu-bulu yang melekat pada burung dalam
sangkar waktu itu.
***
Saat
cerita di atas dihubungkan dengan kritikus DJ (Dami dan Junus). Yang satu
menekankan penelitian pada suaranya, satunya ke bentuk puisi SCB. Junus condong,
bahwa yang terpenting dari puisi-mantra ialah bunyi bahasa, dan Dami ke
perwujudannya, jadi mendekatkan kajiannya ke bentuk puisi konkret. Keduanya
sama tidak memperoleh apa-apa yakni kecewa! Saya teringat tulisan Gus Dur
(Abdurrahman Wahid) yang bertitel ‘Islam
Kaset dan Kebisingannya,’ Tempo, 20 Februari 1982. Atau putar saja rekaman
kicauan burung-burung, tanpa harus memeliharanya!
Lebih
jauh huruf-huruf Abjad, Latin, Sansekerta, Hijaiyah, Ibrani, Yunani, Kanji, Jawa
&st… mengalami perpecahan atau mengalirkan anak-anak sungai yang berbeda.
Berasal dari akar kepahaman atas karya moyangnya yang menghiasi dinding-dinding
goa tempat mereka dulu bersembunyi dari binatang buas. Di lembaran lontar,
pahatan-ukiran kayu, relief di bebatuan, tersebar di ingatan manusia yang
selalu mengalami prosesi kebermaknaan pada kulit (coraknya) juga isinya
(artinya). Olehnya merawat kesadaran bersama demi mencapai komunikasi seimbang
untuk menanggulangi selisih pendapat, yang berujung pada tajamnya tombak dalam peperangan.
Tenunan
pemaknaan lebih diutamakan daripada bunyi, seumpama bangsa-bangsa tersebar di
seluruh dunia itu spesies burung-burung berkicau, maka keselarasannya di dalam
belantara pemahaman. Demikian bahasa mantra menempati bilik sunyi dalam ruang
kebahasaan, yang kehadirannya bisa dimaknai bagi yang benar-benar memperdalam
menyinauhi. Maka, hanya peneliti tanggung melihat bentuk atau bunyiannya saja?
Analogi ini menjawab kritikus DJ yang tidak merunut ke muasal mata air aksara
yang dikajinya. Di sana pemaknaannya bisa dimengerti secara sadar untuk kelanjutan
perjalanan panjang anak manusia, bukan sejenis beralibi tentunya!
Perkara
penelusuran sampai ke satuan huruf di antaranya dapat dibaca di bagian XVI pada
karya Ibnu ‘Arabi, atau lihat kekaryaan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani,
al-Hallaj. Pula karya-karya para mufassir, pensyarah, penakwil, ahli di bidang
perbintangan sampai rajah. Di sinilah nafas-nafas permenungan, penghayatan
bertemu keseimbangan antara mereka, yang memunculkan hukum bagi syarat lakunya,
dan pengujian dari pelbagai analisa yang membentuk kaidah umum demi generasi
setelahnya.
26
Oktober 2012 / 10 Dzul Hijjah 1433 H Ponorogo-Lamongan / 27 Maret 2017.
Jauh panggang dari api...... Emangnya kamu siapa.... Tulisan yang amat belepotan .... Ketahuan kalo logika kamu yang dangkallllllllll....
BalasHapus