Nurel Javissyarqi
(kupasan
pertama dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
I
Siapa saja bisa marah. Marah
itu mudah. Tetapi marah kepada orang yang tepat, dengan derajat kemarahan yang
tepat, pada saat yang tepat, untuk tujuan yang tepat, dengan cara yang tepat,
ini tidak mudah. (Aristoteles, 384-322 SM).
***
Mengawali
ini tulisan di bencah tanah Ponorogo, merupakan dataran intermountain antara
Gunung Wilis dan Lawu, daerah ‘basin’
istilah Jawa-nya. Namun saya menamainya cawan pegunungan, lantaran wilayahnya
selalu dihembuskan angin melingkar, memusari pelukan gunung-gemunung itu.
Keduanya merupakan gunung api yang sudah tidak aktif atau enggan menampakkan
gairah yang menjadikan subur ladang perkebunan serta lembah pesawahannya.
Kebetulan
kini bulan Ramadhan, lantas teringat bulan suci di tahun-tahun lalu hampir
selalu di luar kota kelahiran saya, walau pun sejenak. Yang membekas pada tahun
2002 oleh kala itu di Tegalsari, Jetis, Ponorogo, waktu membenahi karangan Kitab Para Malaikat yang terbit tahun
2007. Sekarang menginjak 2012, berarti dalam lingkaran sepuluh tahun saya
dihempaskan oleh takdir ke bumi Reog kembali, letak R.Ng. Ronggowarsito nyantri
sebelum menjadi pujangga terkenal, yang beberapa suara menyebutnya sebagai ‘pujangga penutup,’ dan saat perevisian
akhir ini saya sudah balik berdiam diri di kota kelahiran saya Lamongan.
***
Mengingat
prosesi penulisan ini (I-XXI) bisa dikata mengalir pun data-data terperoleh
laksana dituntun kehendak besar alam, apalagi menengok latar saya autodidak,
seperti jauh dari bayang-bayang perkiraan awal. Maka hanya rasa syukur
kehadirat-Nya terhaturkan memaksimalkan penelurusan di atas persoalan menimpa.
Mungkin yang terikhtiarkan tiada urusannya dengan dunia sastra atau sejarah
kesusastraan Indonesia, tapi sekadar meluruskan teryakini pada lahan yang secara
kebutulan terlewati (terbaca).
Sebelum
mengurai paragraf IK ke lima dan enam sekaligus karena pantas disandingkan.
Sedapat ini semoga tidak hanya berkutat pada belahan abstraksi kata, pranata
bahasa menyoal keilmuan, pula ke ujung keyakinan yang patut diperjuangkan
sedari hasil analisa atas penelitian berlarut menelan hidupi malam-siang demi
menerima kebenaran lapang meski itu menyakitkan.
***
Tersapalah
nasehat Imam Al-Ghazali, “Wahai anak!
Nasihat itu mudah, yang sukar ialah menerimanya. Sebab nasihat dan peringatan
itu dalam perasaan orang yang selalu mengikuti hawa nafsu sangat pahit rasanya.
Karena perbuatan yang terlarang itu sangat dicintainya. Apalagi bagi
orang-orang mencari ilmu hanya sebagai pengalaman saja, dan ia selalu sibuk
menuruti hawa nafsu di samping mencari kedudukan duniawi, maka ia akan menduga
bahwa ilmu yang ia jadikan pengalaman akan menjadi sarana untuk keselamatan
dirinya. Ia mengira bahwa ilmu yang ia miliki itu telah cukup tanpa diamalkan.
Demikian inilah keyakinan kaum filsafat. Orang yang bodoh tidak pernah mencoba suatu
amal perbuatan semacam itu tak mengerti, bahwa ilmunya kelak akan menjadi lawan
yang akan mendebat dengan sekuatnya.” (“Mencari Etika Sufi,” penerjemah
Ahmad Chaumaidi Umar, terbitan CV. Ramadhani Solo, Cetakan II 1989. Penerjemah
ini menuturkan juga silsilah para gurunya di atas, mula kitab tersebut hingga
kepada Al-Ghazali, sejarak 18 urutan).
Lantas
marilah baca, “Perumpamaan Islam ialah
sebiji kelapa dengan sabutnya, tempurungnya, dagingnya, dan minyaknya: syari’at
sabutnya, thariqah tempurungnya, haqiqah dagingnya, ma’rifat itu minyaknya.
Dengan empat hal ini manusia, menurut hukum, sudah sempurna. Jika salah satu
dari hal ini hilang, ia tidak lagi sempurna. Jika kelapa tumbuh tanpa sabutnya,
tentu ia tidak akan tumbuh, dan bahkan ia akan hancur. Demikian Tuhan menuntut
manusia untuk menjadi sempurna, tidak memisahkan satu sama lain antara syari’at,
thariqah, haqiqat, dan ma’rifat, Jika seseorang meninggalkan syari’at, menurut
hukum ia akan tersesat.” (Hamzah Fansuri, t.t., dikutip dalam Soebardi 1975:
45).
Demikian
juga jumputan Mark R. Woodward dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Misticism,” diterjemahkan
Hairus Salim Hs., terbitan LKis Yogyakarta, Cetakan III, Maret 2006. Woodward berkata,
tepatnya di bagian Lima; “Agama Kraton
dan Agama Kampung: Interpretasi Sosial Sufisme” sebagaimana berikut... “Hamzah Fansuri menggunakan metafora kelapa
untuk melukiskan saling keterkaitan (interdependence) empat tingkat dari jalan
mistik Sufi. Meskipun ia mengajarkan mengenai identitas jiwa manusia dan wahdah
al-wujud, melainkan Hamzah tetap menekankan pentingnya hukum sebagai bagian
integral jalan mistik. Penggunaan kelapa sebagai metafora kemungkinan
dimaksudkan sebagai sarana yang heuristik untuk menjelaskan pentingnya syari’at
bagi kalangan Sufi.”
***
Abdul
Hadi W.M. (penulis buku “Tasawuf Yang
Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri,”
terbitan Paramadina 2001), …dalam buku “Raja
Mantra Presiden Penyair,” diterbitkan oleh Yayasan Panggung Melayu, Juli
2007 menulis esai yang berjudul “Perlawanan
Estetik dan Metafisik Sutardji Calzoum Bachri,” pada paragraf 3 dan 4-nya:
“Lebih jauh lagi jika kita
masuk semakin ke dalam, kita akan semakin sadar bahwa untuk mengorek pesan
keruhanian dan moral dari sajak-sajak itu, bukan persoalan gampang. Sajak
Sutardji menuntut perenungan yang dalam dan persediaan imaginasi yang kaya.
Dunia dari sajak-sajaknya itu begitu kompleks, tidak bisa dirumuskan secara
sederhana. Kadang yang hadir kepada kita setelah membacanya ialah sebuah lukisan
dengan sosok dan imaji yang ganjil, serta memberikan suasana trance seperti
apabila kita membaca sajak Arthur Rimbaud. Kadang yang hadir ialah lukisan
kesunyian mistikal seperti dijumpai dalam sajak-sajak Rumi dan Hamzah Fansuri.
Kadang tampak pada kita sebuah dunia yang angker. Kadang kita jumpai
imaji-imaji ekskatik seperti dalam sajak Li Po dan Hafiz.”
“Kadang membaca sajak
Sutardji seperti menyaksikan gambar ‘alam misal’ nya Ibn `Arabi dan Suhrawardi
al-Maqtul. Sebuah alam yang hening dan kudus, dihuni sosok yang angker namun
anggun, tetapi tiba-tiba terkoyak oleh hiruk pikuk suara mahluk-mahluk dengan
segala tingkahnya yang aneh. Dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, kita
jumpai pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang kerap tidak terduga, tetapi
cukup mengganggu. Tidak ada penyair Indonesia lain seperti Sutardji yang begitu
total melakukan perlawanan metafisik terhadap kondisi kemanusiaan bentukan
peradaban materialistik dan positivistik.”
***
Dalam
buku kumpulan esai penopang Sutardji “Raja
Mantra Presiden Penyair, 2007” tidak menyinggung perombakan “Kun Fayakun” yang disalahartikan
bermakna; “Jadi, lantas jadilah!” dan
“Jadi maka jadilah!” Walau
kejadiannya sudah lewati 1 tahun (Majelis Sastra Asia Tenggara: Mastera 2006)
kalau sekarang 6 tahun. Dan 7 tahun (Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000),
kalau kini 12 tahun. Di sini hanya berusaha melihat sejauh mana SCB dibilang
bertaut dengan ulama’ besar Hamzah Fansuri? Yang mana Abdul Hadi W.M. pada esai
yang sama saya kutip menyebut, “Tidak
perlu saya beberkan panjang lebar dalam kaitannya dengan sajak-sajak Sutardji.
Yang jelas sajak-sajaknya, seperti “Nuh,” “Silahkan Judul,” “Hujan,” “Gajah dan
Semut,” “Para Peminum,” Walau, dan lain-lain merupakan sajak-sajak yang
memiliki kecenderungan sufistik yang kuat.” Anehnya, tidak menunjukkan
salah satu kekaryaan Hamzah Fansuri? Di sini, saya tulis sebuah sajak Sutardji
yang dikira ‘memiliki kecenderungan sufistik yang kuat.’
GAJAH
DAN SEMUT
tujuh
gajah
cemas
meniti
jembut
serambut
tujuh
semut
turun
gunung
terkekeh
kekeh
perjalanan
kalbu
1976-1979
***
Lantas
saya kutip separagraf dari esainya Aguk Irawan MN “Menimbang Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dari buku Nurel:
Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan” :
“Menurut Qutaibah, kenapa sastra yang konon sebagai penyangga suatu peradaban
seperti tak berguna? Tentu, karena sastra Jahiliyah tersebut nyaris tak
menyimpan makna yang bisa membangun peradaban, lihatlah bagaimana bentuk mantra
yang menyerupai puisi yang sudah dihasilkan oleh Musailama seperti dalam Ma
Huwal Fil atau dengan Ayat-Ayat Kataknya? Begitu juga apa yang telah dihasilkan
oleh Imri’ al-Qois, dengan Ayyuha Attahali Al-Bali-nya? Atau karya dari penyair
ulung Jahili lainnya, seperti Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini,
Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy
al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa. Lalu Bandingkan dengan karya-karya penyair
yang sudah mendapatkan “pencerahan” dari Nabi, seperti Hasan bin Tsabit, Ka’ab
bin Zuhair. Labid bin Rabi’ah dan tentu Ibnu Rawahah.”
***
II
Sekarang
masuk paragraf IK yang ke 5 dan 6, dan menyapa Dami N. Toda, “Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata
adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat
berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari
penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian
dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.”
“Menilik isinya, kredo Sutardji
yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar
Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di
sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna:
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang
membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang
dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta
penjajahan gramatika.”
Dami
di bukunya “Hamba-hamba Kebudayaan”
bagian 6. “Tahap Perkembangan Wawasan
Estetik Perpuisian Indonesia” urutan ke 3. “Wawasan Estetik Perpuisian Mutakhir” halaman 74-75 menulis:“Secara harafiah, kredo puisi Sutardji
Calzoum Bachri dapat diperbandingkan dengan pernyataan Chairil Anwar bahwa
“Kata adalah kebenaran atau “tesis” itu sendiri. Namun, realisasi persajakan
mereka ternyata lain sekali. Dalam realisasi perpuisian, pernyataan Chairil
tiba pada pemahatan kata menjadi monumental, tiba pada kepercayaan kata sebagai
besi beton untuk puisi. Bahasa Nampak rasional, memperoleh kedudukan yang
penting dalam kepentingan puitik. Sebaliknya, dalam realisasi perpuisian
Sutadji, kata Nampak macam mythos yang antara berwujud dan tidak. Kedudukan
kata, bagi dua memang sudah jelas, tetapi kenyataan yang ditemukan bahwa banyak
kata-kata/bahasa ternyata tidak mampu menjadi alat terpercaya satu-satunya
untuk mengungkapkan pengalaman manusia yang dalam. Sudah lazim, seorang penyair
sulit mendapatkan kata untuk menjejaki keutuhan estetik, hanya karena sifatnya
yang terbatas secara ruang dan waktu. Masuklah ke dalam rumah asrama orang
bisu, maka disana akan dijumpai komunikasi dalam “kematian kata-kata.”
Nontonlah Marcel Marceau, atau “Piep” Rendra, maka Anda tidak usah mendengar
dengan telinga, tetapi cukup “mendengar” dengan mata, dan terjadilah komunikasi
estetik yang utuh dan penghayatan.”
***
Pada
suatu pagi ketika menyimak “Kitab Dalail
Khairat” karangan Imam Sayyid Muhammad ibn Sulaiman Al-Jazuli (Wafat 16
Rabiul Awal 870 H) oleh KH Ahmad Abdul Haq Dalhar (Wafat 8 Juli 2010 M) tatkala
Beliau masih sugeng di tahun 2001 di
Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang. Beliau bercanda dalam cerita,
kalau saat mudanya mengamalkan Surah Al-Kauthar, yakni “Inna Aa’taina Kal Kausar, dipelesetkan menjadi ‘enak gak enak’e wong kesasar atau enak tidak enaknya orang tersesat,”
hal ini serasa menyindir.
Lalu
jika sajak (puisi) sufi atau kecenderungan karya sastra sufistik lantaran ada jenis
bau-bauan kata yang kurang pantas diucap, sekadar mengandalkan huruf kapital
Mu, Ku dan sebangsanya, ditambah ornamen meyakinkan atas persoalan kehakikian
dst, maka akan menemukan keadaan pangling,
heran gampang terperdaya. Dapat disebut cuma pendakian kata-kata, kecerdasan
akal menumpuk perasan peristiwa seakan tampak bermakna, padahal belum tentu.
Inilah pentingnya kritikus meneliti karya yang tidak hanya berdasarkan
kekaryaannya saja, juga laku pengarangnya demi memperoleh kupasan sesungguhnya,
yang tidak lepas dari realitas kerja kreatif.
Naudzubillah disaat Sutardji Calzoum
Bachri penyeleweng makna “Kun Fayakun” demi menopang gagasannya, lantas ada
yang menyandingkan kepada capaian agung ulama’ suci Hamzah Fansuri, lantaran hanya
kata-katanya yang ditelusuri, itu pun sangat jauh bertolak. Hanya masyarakat
kurang baca sejarah yang terkelabuhi muslihat kajiannya. Jika itu terus diamini
oleh kaum intelektual, tidak lebih pembodohan publik, pengerdilan bagi generasi
setelahnya.
***
Saya
teringat setahun lalu dan beberapa tahun terdahulu, kala bercengkerama bersama
penyair Iman Budi Santosa dan almarhum Suryanto Sastroatmodjo yang telah
‘insyaf,’ menurut beliau berdua gerak dari angkatanya telah gagal, apalagi
mencermati rusaknya tatanan pemerintahan, karena sastra merupakan salah satu
unsur budaya sebagai pembentuk karakter bangsa. Olehnya secara sepintas dapat
dinilai sebagai prodak kegagalan meski tidak semua, setidaknya bendelan kritik
ini sebuah pintu untuk pembuka pintu lainnya.
Kita
kerap mengira kalau para senior banyak memakan asam garam, maka dengan
sendirinya melemahlah kecurigaan, jiwa mawas tercuri sedari kedirian, terlanjur
terpaku unen-unen yang seyogyanya
pantas dibongkar terlebih dulu, baru didudukkan sebanding bobot timbangannya.
Ini sering menduga perhelatan lama begitu agung dan pantas disematkan di
lembaran sejarah, boleh itu dilakukan dalam keadaan terdesak membikin
monumen-monumenan, tepatnya disimpan dalam kurun mitos, jika benar tidak pantas
dipangku sebagai lantasan perjuangan. Bagaimana dapat makan asam garam jika tidak
naik-turun gunung menyerangi laut sesungguhnya, terbuai pujian memabukankan dari
kawan pula ‘lawan?’
Kata-kata
di atas terdengar berisik di telinga, membikin panas jari-jemari mata
melihatnya. Ya saya memaklumi lantaran ini sekadar pengelanaan tidak berpendidikan
tinggi, tetapi jauh di lubuk hati tentu saudara yang cerdas dan luas keilmuan
akan memahami, hasrat saya tidak ingin tertipu persandiwaraan atau menginginkan
perihal meyakinkan. Atau berharap sastra Indonesia tidak menyuguhkan buah
karbitan, memitos pun pemberhalaan, apalagi pada sosok bikinan, nyentrik buatan
demi besarnya berita, sambil melupa punjer yang seyogyanya di-sinauhi. Di sisi lain saya pesimis
sejarah susastra Indonesia tumbuh berkekuatan ‘kejujurannya,’ karena seringkali
suara umum menghakimi, padahal jumlah kesadaran terus tergerus di dalam kurun
jaman edan.
***
III
Kini
saya urai lebih fokus kutipan-kutipan di atas dari bawah ke mula keutamaan,
dengan membuka bukunya Ir. Sri Mulyono “Simbolis
dan Mistikisme dalam Wayang” terbitan CV Haji Masagung (penerbit PT Gunung
Agung), cetakan III tahun 1989 bagian 5, “Hidayat
jati adalah Mistikisme dan Filsafat Nusantara Abad XIX:”
“Apakah Hidayat Jati Itu?
Pada tahun 1940 dalam
majalah Jawa, seorang sarjana Barat bernama Brugmans mengatakan bahwa di
Indonesia tidak ada filsafat autochtone (pribumi), tetapi yang ada hanyalah
filsafat Barat. Oleh karena itu orang tidak dapat berbicara tentang filsafat
autochtone. Pernyataan Brugmans tersebut kecuali negatif juga sangat gegabah.
Pendapat Brugmans tersebut segera disanggah oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder di
majalah Jawa tahun 1940 itu juga. Antara lain beliau menyatakan sebagai
berikut:”
“Memang benar, bahwa ada
perbedaan antara sistem-sistem filsafat Barat dengan penyataan-pernyataan
tentang pencerminan filsafat yang sering terpotong-potong dan hubungan satu
sama lain kurang serasi. Ada perbedaan yang sangat menyolok antara ilmu
filsafat Barat dan filsafat Timur ialah, bahwa di Timur orang tak pernah
mempelajari ilmu filsafat untuk ilmu itu sendiri, tetapi hanya merupakan sarana
untuk mencapai kesempurnaan, dan satu langkah lebih maju lagi merupakan jalan
menuju ke arah kebebasan. Dan bagi orang Timur filsafat merupakan satu-satunya
jalan untuk dapat mencapai tujuan terakhir.”
“Di mana pun kita tidak pernah
menjumpai kebalikan antara ilmu filsafat dan pengetahuan tentang Tuhan
ditumbuhkan. Justru di Timur yang dianut hikmah yang tinggi, yaitu titik puncak
daripada filsafah adalah mengenal Tuhan dari yang mutlak dan hubungannya antara
manusia dengan-Nya. Oleh karena itu di
Timur ilmu filsafat tidak dijadikan aktivitas otak, seperti sering terjadi di
Barat, di mana orang dengan ketakutan menahan semua yang berbau agama di luar
pagar.”
Jika
ditarik segaris imaterial dari bagian XX-XXI, bertemulah saya dengan Prabu
Brawijaya V (Wafat 1478). Ada yang berpendapat beliau muksa di Gunung Lawu
bersama Sabdopalon, beserta Dipo Menggolo dan Wongso Menggolo, ada pula
berpaham makamnya di Trowulan, Mojokerto. Sedangkan sastrawan Sanoesi Pane
dimungkinkan condong ke suara yang meyakini bahwa beliau ialah ‘Damar Wulan.’
Dan di malam hari jum’at wage, jum’at kedua bulan suci Ramadhan, tanggal 15
tahun 1433 Hijriah ini, saya mulai membenamkan diri dalam kabut di bawah sadar
ingatan (penciptaan) masa silam.
***
Terciptanya
(teks) sejarah lantaran hasrat berkuasa dan saya memaklumi pergeserannya sedari
Pararaton, Serat, Jangka, dll demi menggenapi maksud tujuannya. Di bumi Batoro
Katong ini saya merapalkan perihal yang sekiranya patut diwedarkan dari
pemahaman P.J. Zoetmulder (penulis buku “Manunggaling
Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa” terbitan
Gramedia 1990, terjemahan Dick Hartoko) mengenai kefilsafatan Jawa lewat
pengelanaan ini.
“di Timur orang
tak pernah mempelajari ilmu filsafat untuk ilmu itu sendiri,” Batin yang mencecapi bencah
tanah Jawa, kehadirannya dirawat hati nurani, selangkah demi selangkah
menghatur tunduk syukur kepada para pendahulu. Darah kepatuhannya setatap
pandita, sikap menghamba menilik harta paling berharga, yakni pekerti yang
terbit dari budi mengolah laku atas sikap santun waspada. Itulah pelajaran yang
diawali menilik kandungan hayati sedari penghayatan insan, seperjalanan
Siddhartha Gautama yang diuraikan sastarawan Jerman, Hermann Hesse (1877-1962),
oleh pernah mengembarai dataran bumi Nusantara.
***
Di
lapis garis imaterial selanjutnya terjelma materi pemahaman “Kun Fayakun” dari
bagian XVI ke XXI. Umpama diseiramakan, bagai masa-masa peralihan dari kerajaan
Majapahit ke Demak, sejauh itu gemebyar
cahaya berkilau, senjakalanya sang surya bersama Damar Wulan (cahaya, lampu,
api atau rembulan): Cahaya hikmah ilmu falsafah hadir berkilat atas sikap
mensucikan diri memantabkan titah Ilahi Robbi ketika hijab terbuka, kerahasiaannya
tersingkap selama merawat malam membenamkan diri di siang hari dengan memenuhi
panggilan manusiawi, bahasa Zoetmulder, “filsafat,
hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan.”
Di
Gunung Lawu memiliki kawah bersebut Candradimuka, dalam versi pewayangan
sebagai letak penggodogan, penggemblengan Gatotkaca, sosok kesatria pembela
tiap jengkal wilayah negaranya dari sergapan angin masalah. Saya kemudian
terpaku sosok pengutip uraian Prof. Zoetmulder, yaitu Ir. Sri Mulyono
Djojosupadmo, seorang Marsekal Pertama (TNI), penulis buku-buku pewayangan dan
strategi peperangan, setidaknya kini jarang ditemukan seorang pejabat
pemerintahan yang bergerak dalam dunia kepenulisan filsafat.
Ketinggian
Lawu, entah berapa kilo meter dari tempat saya duduk di tanah Ponorogo.
Jaraknya seakan melipat prosesi penulisan ini, Dr. Zoetmulder mengatakan, “satu langkah lebih maju lagi merupakan jalan
menuju ke arah kebebasan.” Sebagaimana
saya berekspresi mengolah temuan di jalanan, memadukan naik-turunnya hayat,
menempa kemungkinan jadi pelajaran, menghardik diri menggenapi waktu bergerak menuangkan
gagasan memudahkan temali cencang bersambung atas gugusan masalah untuk cermin
kemandirian.
“bagi
orang Timur filsafat merupakan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai tujuan
terakhir.” Mengolah
bahan berpadu, menabur benih bagi laluan penalaran. Tengoklah agama-agama tumbuh
di ladang subur tanah Timur, dan Barat sedemikian baik menafsir, menerjemah
yang terpancar darinya. Sedari olah batin, jiwa kembarai ceruk terdalam,
langkah tidak sekadar dinalar juga dirasai deguban jantung terrahasia. Cahaya
inspirasi saling bertemu memecahkan keheningan, menemui pusaran tenang sebelum
diuntahkan ke alam luar. Hanya, kadang sulit menatapi jejaknya langsung,
kecuali membenamkan diri di Kawah Candradimuka renungan. Olehnya tidak perlu
sungkan sekiranya patut menciduk air bening lewat saringan pemikiran.
Di pucuk
daunan hijau tertentu, Lawu merupakan gunung keramat atas nafas kebatinan tanah
Jawa seperti juga laut selatan, letak muksanya para raja Jawa. “Justru di Timur yang dianut hikmah yang
tinggi, yaitu titik puncak daripada filsafah adalah mengenal Tuhan dari yang
mutlak dan hubungannya antara manusia dengan-Nya.” Maka tumbuhlah banyak
versi atas hikayat Raja Pamungkas Majapahit (Prabu Brawijaya V), ini tidak lebih
didorong keimanan beserta harapan para penggurat Serat, Jangka maupun
Pararaton. Dan “di Timur ilmu filsafat tidak
dijadikan aktivitas otak,” maknanya, tergali dari perhelatan batin sukma
yang sumambrah menggenapi lelaku
keseluruhan jagad alit demi membaca jagad besar (makro kosmos).
***
IV
Kalau
pembaca menyimak bagian lalu, Dami N. Toda seperti juga Abdul Hadi W.M. pernah
menyebut Hamzah Fansuri dalam satu esai yang menyoal SCB dengan tanpa
menguraikannya. Maka mending iramanya dinaikkan lewat mengutip “Kitab Walisongo,” susunan sembilan
Wali. Kitabnya diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Van Hien, “De Javansce Gestenwereld” yang
bernuansa Hindu Jawa, untuk memperkenalkan ajaran Islam bagi masyarakat
kebanyakan yang masih menganut ajaran Hindu saat itu. Diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia oleh Capt. R.P. Suyono, terbitan LKis, Februari 2008.
Uniknya
kitab itu menurut “Serat Kadilangu” menyebutkan bahwa proses penyusunan kitab
ini dilakukan melalui sebuah pertemuan rahasia. Mereka bertemu di sebuah surau
di atas gunung yang terletak dekat Jepara. Akan tetapi, pertemuan itu tidak
dilakukan secara fisik. Para wali tetap di rumahnya masing-masing. Dengan cara
mati suri, roh para wali tersebut meninggalkan jasadnya dan berkumpul di puncak
gunung tadi. Surau tempat mereka bertemu juga merupakan sebuah bangunan
spiritual, yang hanya akan ada bila mereka berkumpul. (hlm 2).
Kini
saya ambil dua paragraf di halaman 25-nya: “Dengan
memakai mantra, terutama mantra berupa bunyi-bunyian, disertai kemauan yang
keras maka keinginan seseorang dapat terpenuhi. Mantra bunyi-bunyian yang
berupa tembang merupakan bayangan yang akan segera dipengaruhi oleh roh halus
atau unsur-unsur yang akan mengikuti ucapan pengucap mantra.”
“Kekuatan pikiran sering
juga disertai dengan penggunaan jimat yang telah dibuat untuk tujuan tertentu
oleh dukun, dipercaya juga dapat menjadi alat mencapai tujuan. Doa dan
sembahyang akan menguatkan pikiran sehingga tujuan akan tercapai. Oleh karena
itu, di Jawa berkembang doa kematian. Orang umum mengetahui dampak buruk
kekuatan pikiran yang diarahkan pada kematian.”
***
Perbedaan
mencolok antara saya dengan para peneliti yang kurang memahami hakikat mantra
demi memenangkan SCB; mereka menyundulkan pekerti, kalau mantra tidak harus
bermakna. Sedangkan saya bersama para menelisik yang lawas, memahami hakikatnya
sebuah mantra mengandung makna, sekalipun jimat berupa potongan kata atau
huruf-huruf samar, tetaplah bersimpan maksud tujuan saat menelusuri
jejak-jejaknya. Kenapa mereka berpendapat begitu? Jawaban Dami, “...kenyataan yang ditemukan bahwa banyak
kata-kata/bahasa ternyata tidak mampu menjadi alat terpercaya satu-satunya
untuk mengungkapkan pengalaman manusia yang dalam. Sudah lazim, seorang penyair
sulit mendapatkan kata untuk menjejaki keutuhan estetik, hanya karena sifatnya
yang terbatas secara ruang dan waktu.”
***
Ingat
bagian XIV “Babad Nuca Nepa (Flores)” yang mengenai teori evolusi Darwin,
adanya mata rantai yang hilang? Selempar batu sembunyi tangan! Parahnya yang
terkena lemparan tidak tahu permasalahan, manggut-manut.
Beberapa baris ke depan saya buat guyonan
tetapi tenanan; mungkin salah satu cara agar dianggap penyair sufi,
karyanya dikira sastra sufistik, bikin saja sesuatu yang nyentrik, tak usah
memikirkan dapat dicerna pembaca atau tidaknya, kelak para kritikus sealiran mengulasnya,
asal gaya hidupnya juga eksentrik, bercindik di telinga dan di hidung juga
boleh, bikin tato agak filosofis semisal gambar naga, dst. Jangan lupa
main-mainkan Alif lam meem, soal dosa
saya tidak ikut tanggung.
***
Dalam
bedah buku awal (sebelum buku ini) yang membahas Aguk Irawan MN, bersama bedah
novelnya Jusuf An oleh Hamdy Salad, dan bedah kumpulan puisinya Syaifuddin Gani
atas TS Pinang, di Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda “Karta Pustaka,” Jl.
Bintaran Tengah 16 Yogyakarta. Dihadiri Indrian Koto, Joni Ariadinata, Marhalim
Zaini, Raudal Tanjung Banua, Mashuri, Akhiriyati Sundari &ll, saya
mengawali kata pembuka dengan suara lantang; “Saya mantan dukun!” Atau anggap
nafasan tulisan ini sewarna juga pertaubatan yang berharap khusnul khatimah. Joni yang kepengarangan awalnya menggeluti dunia cerpen,
selepas bedah buku berkomentar; “Tardji
kini tidak perlu cindikan lagi untuk bikin sensasi, sebab Nurel telah mengangkatnya
kembali.”
***
Menuju
agak serius, bagaimana puisi-puisi SCB yang menyerupakan “lukisan kesunyian mistikal seperti dijumpai dalam sajak-sajak Rumi
dan Hamzah Fansuri?” Ruminten kali, atau Hamza Ya’ (urutan akhir abjad
Arab, huruf hijaiah), Inilah Missing Link! Syeikh Hamzah Fansuri bagi saya
sesosok ulama’ suci yang hanya ulama’ tertentu pantas disandingkan dengan
Beliau, yang keberadaannya pun tidak bisa disamai dalam porsi apapun pada
penyadur jalang Chairil Anwar. Saya lebih suka Abdul Hadi W.M. tidak jauh
daripada tulisannya berikut ini, “Tokoh-tokoh
seperti Syaikh Hamzah Fansuri, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili dan lain-lain di
Sumatera, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunungjati dan wali-wali lain di
Pulau Jawa, sangat giat berdakwa bukan saja di bidang keagamaan, politik dan
pendidikan, tetapi juga di bidang kebudayaan dan penulisan kreatif.”
***
Ada
kemungkinan kenapa kritikus D&A (Dami N. Toda dan Abdul Hadi W.M.)
melangkah missing link? Dami pengajar studi-studi Indonesia dan Pasifik
Universitas Hamburg, merasa perlu menawarkan kredo puisi Sutardji yang sekilas
berontak pada bentuk baku ‘mata kuliah’ sebelumnya. Atau dengan ini
penelitiannya yang memiliki semangat perlawanan, merasakan terwakili saat
menyodokkan paham tersebut ke muka umum, namun kampus Hamburg tidak mempan ‘dongengannya.’
Sedangkan Hadi dimungkinkan teringat disertasinya yang mengenai Hamzah Fansuri
disaat-saat menulis esai untuk SCB, ditopang Dami sudah ke sana, pun berasa sejalan
angkatan keinginannya untuk membumikan susastra. Keduanya sama lewat tangan
ajaib menanggalkan makna yang terkandung dalam tiap-tiap mantra di bumi
Nusantara?
Dami
benar tapi kurang pener “...kenyataan yang ditemukan bahwa banyak
kata-kata/bahasa ternyata tidak mampu menjadi alat terpercaya satu-satunya
untuk mengungkapkan pengalaman manusia yang dalam.” Tepatnya dunia
kata-kata, lantaran pengertian ‘bahasa’ sangat luas; nada musik, wewarna
coretan lukisan dan seterusnya juga bahasa, alat sang seniman menyampaikan
perasaan terdalamnya. Dan kata-kata, salah satu peralatan wajib yang dipergunakan
secara lihai oleh penyair atau pujangga, sebab darinya dapat ditimbang sejauh
mana pengguratnya mampu atau sebaliknya gagap mengolah tanah liat perkataan
rasa yang dijelmakan dalam syair. Bukan kebuntuan peristiwa yang suatu waktu
ditangkap lalu dijadikan pelepasan untuk beralibi dan diperkuat dengan kredo,
ini betapa tampak ketumpulan jiwa puitiknya yang tidak sanggup mengangkat dari
sumber mata air terrahasia atas inspirasi yang diberikan semesta alam-Nya.
Keterbatasan
kata-kata sebagai alat penyampai tidak harus menghardiknya menjadi potongan tidak
berarti, penggalan seenak udelnya, apalagi mencoba berakrobat mencipta
kata-kata dari kolong langit yang tidak ada dalam tradisi bumi manusia,
berupaya memaknai lain lantaran arti yang diberikan khalayak dianggapnya telah
tercederai hukum sosial? Takkah seperti itu tingkah Jailangkung, ‘datang tak dijemput pulang tak diantar,’ meski
di batas tertentu bersilsilah alam lain yang mengikat kenyataan. Tapi tidakkah
itu bahasa / puisi yang dihasilkannya, terperosok dalam bentuk main-main,
pembendaan yang jauh dari gerak lajunya peradaban?
Tumbuhnya
kata bersama maknanya, merupakan hasil dari kandungan sejarah yang mendasari
letak kata tersebut hadir, keberadaannya menuju ke fitroh bagi yang merasakan
kedatangannya. Umpaman maknanya bergeser mengalami perluasan, penyempitan,
tetap berada dalam kurungan jenjang realitas kerja sosial, sejenis tangga
kesadaran tertentu pada makna kata tersebut. Di sinilah jiwa penyair mempertaruhkan
segenap pancangan kediriannya dalam menyikapi kata di atas bau-bauannya berbeda
meski pada satu kata; hidung identifikasi, mata jernih, pendengaran bening
menentukan cara meletakkan kata sesuai aroma yang dikehendaki dalam sebuah
karya, sehingga menjadi ciri khas atas takdir karyanya.
Kala
bertemu kebuntuan, tidak lantas membikin bentuk puisi mempat tanpa makna dengan
dalih beralibi, tetapi terus menelusuri pepintu tertutup itu; apakah terwakili
keadaan masyarakat atau dirinya yang pemalas. Pepintu tertutup disimak
deritnya, diraba-rasakan dengan pelbagai teknik, memasuki selubung panca
inderanya, lebih suntuk demi mendapati pancaran jauh berkilau atas kesungguhan
menanjaki jati dirinya. Di sini sang penyair melempar karya percobaan, membakar
karya mentah, dilebur ke dalam karya yang nantinya dipandang layak untuk dinikmati
pembaca. Pintu tertutup keadaan mempat jika tidak ditembus lewat keliaran
pencarian, berpuas diri hanya menghadirkan kewaguan yang menjadikan para pengamat
keliru menganggapnya hebat, maka dicarilah rujukan sekenangan, dan saat
dibenturkan ke pemahaman “Kun Fayakun,” kemana?
***
Salah
sebuah kartu hitam model perpuisian Sutardji, ketika dilemparkan pertanyaan ke
muka pembaca, misalkan; “Ketika itu bukan puisi SCB, apakah anda kagum? Hampir
100% bilang tidak, kalau bukan 99%, dan 1%-nya hantu diam (dalam diskusi buku
sebelumnya di Malang, Trenggalek, Jombang, Ponorogo, Yogyakarta, dan ini bisa
ditambah). Di sini kekaguman pada kekaryaan bukan berasal dari karyanya, namun
siapa saja yang sudah mengupas -membelanya.
Pribadi
kagum pastilah mengikis kekritisan jiwa yang hampir separuh tidak sadar,
digoyong keterpesonaan para kritikus pemboyongnya yang mengukuhkan tindak
kreatif yang sejatinya tidak, beraneh-aneh bim salabim ke awang uwung! Kenapa
sebagian kritikus dulu menerima pandangan SCB? Karena, mata rantainya terputus
terjadi saat pengamat yang kedudukannya disegani, di sisi keberanian vokal
Sutardji bisa merongrong kritikus yang tidak sepaham saat dikemukakannya ke
media, ini bagi yang tidak siap bersebarangan menjadi buah simalakama?
***
Lagi-lagi
Dami benar namun kurang pener, “Sudah lazim, seorang penyair sulit
mendapatkan kata untuk menjejaki keutuhan estetik, hanya karena sifatnya yang
terbatas secara ruang dan waktu.” Dedahan kelanjutan ini sejenis perluasan
kesadaran dari mental serampangan atau keluguan awal, yang menyembuyikan
kemalasan kritis lewat menunjukkan kelemahannya. Sekurang-kurangnya sifat
insaniah ditampakkan menonjol agar mendapatkan simpati, lantas meloloskan balon
udara karbitan! Para seniman apapun yang digelutinya selalu bergulat
ruang-waktu, persoalan hidup melingkupi perjuangannya. Temuan-temuan dari
pencariannya sungguh tetap berlandasan akli pula hawa aura nakli, yang
mempengaruhi jiwa segar kesenimanannya. Yang setiap pahamnya mempunyai
silsilah, tidak asal comot lari kesana kemari kala mendapat sergapan dengan
berkila, atau berwatak megalomaniak.
***
V
Terkait
akhir-akhir ini dikabarkan oleh hadirnya teknologi terbaru dalam perkembangan
dunia sains, yakni solusi kehidupan abadi (Cryonics). Marilah kita baca ulang
puisi pada pembukaan buku “A Beautiful Mind” (Kisah hidup seorang genius penderita sakit jiwa yang meraih hadiah
Nobel, ‘John Forbes Nash, Jr.’) karya dari penulis cantik Sylvia Nasar. Buku
itu memenangkan National Book Critics
Circle Award 1998 untuk Biografi, finalis Pulitzer Prize, dan yang penginspirasi film produksi Dream Works
dan Universal Pictures, yang dibintangi Russell Crowe. Di Indonesia, bukunya
diterbitan Gramedia tahun 2005, puisi William Wordsworth sebagaimana berikut:
Sama seperti patung..., sama
seperti Newton
Kacamata tebal, wajah
pendiam,
Yang merenung dan terus
merenung
Menjelajah samudera Pikiran
serba asing, sendirian.
Mengupas
ini, sambil mendengarkan komposisi Johann Sebastian Bach yang bertitel “Little”
Fugue in G minor, BMV 578; mengingatkan pada sebuah cerpen Rabindranath Tagore
yang berkisah seorang penjual es di kampung halaman, yakni nada-nada musik alat
pemukul demi menarik bebocah membelinya. Meski berbeda, satu suara organik,
lainnya seolah efek listrik mekanik. Sepadan bermula John van Neumann, tokoh
matematika kelahiran Hungaria yang tahun 1928 menuliskan artikel mengenai
permainan catur, kartu dan sejenisnya, merupakan upaya sukses pertama untuk
menurunkan algoritma-algoritma atau kaidah-kaidah logika serta matematika
mengenai persaingan. Di lanjutkan tahun 1958, majalah Fortune mengedepankan Nash, karena prestasi-prestasinya pada teori
permainan (game theory), geometri aljabar, juga teori nonlinear yang paling
cemerlang di antara segenerasinya, dalam menggeluti matematika murni pun
terapan.
“Sama seperti patung...,
sama seperti Newton”
sosok pemikir tunggal serupa Nietzsche, Nash menumpahkan kebuntuanya untuk
disesuaikan pada bidang yang digeluti. Demikian sastrawan Inggris William
Wordsworth (1770-1850), memasukkan kata ‘patung,’ dan nama seorang fisikawan,
matematikawan, ahli astronomi, filsuf alam, kimiawan, dan teolog Sir Isaac
Newton (1643-1727). Sudah cukup menggambarkan kemampetan, bukannya dilukiskan
dengan menulis huruf yang tidak beraturan, yang tiada makna laksana igauan
bangsa jin pun tidak ada! Begitu seyogyanya penyair manfaatkan nafas
ruang-waktu sejarah dalam menyampaikan perihal yang digapainya, lewat mendekati
diri pada warna bau karakter yang layak sebagai penutur sajaknya.
“Kacamata tebal, wajah pendiam,” Ungkapan
‘kacamata tebal,’ memperkuat tekanan pada bentuk kata-kata ‘wajah pendiam.’
Misalkan sewaktu Nash di Princeton University sebagai ‘hantu,’ atau
percakapan-percakapannya jauh membius para pemerhati, semasa di Institute for
Advanced Study dalam suatu pesta mahasiswa. Dan Nash merambahi dataran gurun
penalaran akan ‘mesin pemikir.’ Gagasannya sejalur stategi permainan,
persaingan ekonomi, arsitektur komputer, bentukan jagad, geometri ruang
imajiner, misteri bilangan prima; tertuang menyatu dalam tesis doktoralnya,
yang hanya dua puluh tujuh halaman, ditulis sewaktu berusia 21 tahun. Selisih
setahun, atau 22 tahun usia Albert Camus mengumpulkan esai-esainya awal, L'Envers et l'endroit (The Two Sides Of
The Coin).
“Yang merenung dan terus
merenung”
bukannya: tujuh gajah /cemas /meniti jembut /serambut //tujuh semut /turun
gunung /terkekeh /kekeh //perjalanan /kalbu (SCB, 1976-1979). Pun darimana
sajak tersebut bisa masuk dalam karya sastra sufistik? Tidakkah referensi soal gajah
yang terdekat melekati Raja Abrahah ketika ke kota Makkah bersama pasukan
gajahnya, yang dipukul mundur kawanan burung Ababil? Sedangkan menyoal
‘pengajaran’ di alamatkan ke Surah Al-Baqarah (bermakna ‘sapi betina’). Dalam
mitologi Mesopotamia yang berwujud singa berkepala sapi bersayap elang, di
Yunani sapi dan burung merak ialah binatang yang disucikan demi Hera (Juno),
salah satu dari dua belas dewa Olympian (”Mythology,
Timeless Tales of Gods and Heroes” karangan Edith Hamilton, terjemahan A.
Rachmatullah, terbitan Oncor 2011), atau kepercayaan di dataran India.
***
Dan
as-Samiri seorang Israil suku as-Samirah, pengikut Nabi Musa As yang kemudian
sesat. Nama asli as-Samiri adalah Musa bin Zafar berasal dari bahasa Arab,
digunakan meluas oleh penduduk Albania. Samiri, variasi ‘Samir’ bagi bahasa
Albania, Arab, India, dan Iran, sedari bahasa Arab ‘Samara,’ bentuk feminimnya
“Samira.” Dalam kisah dunia Islam, ia tokoh yang menyesatkan bani Israel.
Memerintahkan membawa perhiasan emas milik orang-orang Mesir, menganjurkan agar
dilempar ke api yang dinyalakan dalam lubang untuk dijadikan patung. Ia
berhasil membuat berhala anak sapi betina dari emas, setelah jadi dikatakan
sebagai Tuhan bani Israel, dan Tuhan Musa.
Kejadian
itu sewaktu Nabi Musa As menerima wahyu Taurat di bukit Sinai. Samiri
meletakkan bekas jejak kuda malaikat Jibril memimpin Musa, bani Israel melewati
Laut Merah hingga bisa mengeluarkan suara jika tertiup angin. Samiri memiliki
sihir yang dipelajari sewaktu di Mesir, belum hilang sekte pagan pemengaruh
ajaran yang terdapat di Mesir Kuno. Sebuah bukti anak sapi emas yang disembah
bani Israil, sebenarnya tiruan dari berhala Hathor dan Aphis (Wikipedia). Dan persoalan
semut telah terjawab sebelumnya, atau Surah al-Naml ayat 18-19. Untuk sedikit
menghibur Sutardji, saya teringat syair lagu dangdut “rambut-rambut siapa ini kasih / bikin tak enak hati / :dinyanyikan
oleh Evi Tamala.
***
VI
Inspirasi
meminta dituliskan, maka saya lanjutkan. Beberapa hari catatan ini dihentikan
demi menanti panggilan. Setidaknya yang terkutip pun tergurat ialah hasil
peleburan ‘kimiawi’ jiwa, bukan tindak tempelan yang mudah njomplang; keduanya
berkawin dalam kesaksian. Atau saya siap dibawa kemana percampuran tersebut
diadili atas kesaksian yang melembaga sebagai olah proses kreatif, tidak semata
dituntut tugas guru besar suatu kampus misalkan, atau hal bersifat kementerengan
di depan hakim keilmuan. Maka bersiaplah mencurigai diri sendiri, sebab para
guru besarnya adalah sejarah yang kelak membuktikan, dan saya cukupkan berkesungguhan
pencarian dengan tidak ingin dibodoh-bodohkan sebentuk sulapan.
***
Sastrawan
filsuf Jean-Paul Sartre, penolak Nobel Sastra 1964, mengungkapkan makna ‘kegeniusan’
yang dikutip Sylvia Nasar sebagai berikut, “temuan
cemerlang seseorang yang mencari pemecahan sebuah masalah.” Dan saya jumput
untaian kalimat William Wordsworth, “Menjelajah
samudera Pikiran serba asing, sendirian.” Dalam hal ini, gajah tidak hanya
cemas, tapi sekujur badannya terlubangi bebatuan api yang diterjunkan dari
cengkeraman kaki burung-burung ababil, semuanya tumbang binasa. Gajah tidak
memikirkan jalan tasawuf, apalagi meniti rambut? Umpama menakwil sesuatu,
mimpinya raja angkuh dengan hamba terpenjah yang tidak bersalah -tentunya tidak
sama. Hanya akal-akalan menyeiramakan warna ruhani atas permukaan bahasa atau
kata-kata semata, apalagi tiada penghampiran sinambung dari lelaku sampai
gairah yang diperjuangkannya?
Lebih
jauh, semut tidak terkekeh menghadapi kehidupan ini. Semut-semut di ‘lembah
semut,’ berkewaspadaan tinggi sampai mengira Nabi Sulaiman bersama bala
tentaranya akan bertindak dholim tanpa disadari, dan senyuman Nabi Sulaiman As merupakan
perwujudan hati yang terpancari pengetahuan-Nya. Apakah kecenderungan sajak
sufistik menyebutkan para tokoh sufi, jenis-jenis minuman anggur beserta lagu
kemabukan? Saya pikir, preman pasar jika diajari bersajak dengan mengunggah
bentukan itu tidak lama jadi ‘penyair,’ sambil berkalung tasbih masuk pesantren
baca sajak, maka ‘purnalah sosok sastrawan,’ dan ini tidak perlu lama boleh jadi
preman lagi.
Namun
tidak demikian, lantaran hidup tidak main-main, tidak mempermainkan bacaan “Alif
Lam Meem” atau pun “Kun Fayakun” yang
dirombak menjelma “Jadi, lantas jadilah! / Jadi maka jadilah!” Ah, mending
balik ke Nash, sang penemu ‘mesin pemikir’ pada teori permainan yang memecahkan
masalah pada bidang yang digelutinya, seperti para penyair bersuntuk menguraikan
tempaan hayati dalam kalimat sajak-sajaknya yang padat muatan, segar diarungai
penyelidikan. Bukan dicari-cari jawabannya, ada pula tidak terjawab laksana
sampiran kajiannya atau seperti menyimak buku takwil mimpi yang dijual di pasar
gelap.
Sylvia
menuturkan “Banyak ilmuwan dan filsuf
besar, antara lain Rene` Descartes, Ludwig Wittgenstein, Immanuel Kant,
Thorstein Veblen, Isaac Newton, dan Albert Einstein, memiliki kepribadian yang
sama aneh, sama-sama soliter. Temperamen emosional, suka menyendiri, lebih
terpusat ke dalam, memang bisa kondusif untuk kreativitas ilmiah. Ini
berdasarkan pengamatan yang cukup lama oleh kalangan psikiater dan penyusun
biografi, sebagaimana suasana hati sangat fluktuatif yang sering terkait dengan
ekspresi seni.” Di dalam karya-karyannya mencapai ekuilibrium atau
keseimbangan mapan sebagai aturan yang pantas untuk diselidik berlarut-larut.
***
Kini
iramanya saya naikkan bersamaan percepatan menurun demi memperoleh gerak
ingatan melingkar dari kutipan yang bertebaran di muka papan selancar; serasa
melintasi Serat Kadilangu, menyapa
Van Hien, menyalami Capt. R.P. Suyono. Pada ketentuan berbeda, berjumpalah
Prabu Brawijaya V, di ujung pena Dr. Zoetmulder, melalui Ir. Sri Mulyono
Djojosupadmo. Sampai kemantabannya tertulis di bumi Reog, ada bayangan tegas di
pucuk Gunung Pring, uraian Aguk Irawan MN. Dan kutipan Mark R. Woodward,
mengingatkan saya saat tinggal di Ngadisuryan, rumahnya Raden Isman Tono (saya
akrab memanggilnya Mas Isman. Mark R. Woodward mengenalnya sebagai pelukis muda
yang menerimanya pada hari pertama di Yogyakarta pada lembar pengakuan di
bukunya. Dan saya tahun 1995 tinggal di tempat yang sama mengenalnya sebagai
‘pelukis kambuhan’ yang memperkenalkan saya pada tokoh wayang Abimanyu dalam
hidup ini).
14
Agustus 2012 / 26 Ramadhan 1433 H di Ponorogo / 20 Maret 2017 di Lamongan.
ngawur bro ente, serampang, impulsif...
BalasHapusngawurnya dimana bung? coba tulis satu esai pendek aja di mana letak kengawuranku? ;)
BalasHapus