Nurel Javissyarqi
(kupasan
ketujuh dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
I
“Increscunt
animi, virescit volnere virtus.” (Nietzsche)
Sebagai
prolog, mari mendengar lagu Holiday oleh kelompok musik Scorpions, sambil
mengendus kalimat Nietzsche di atas. Saya menerbangkan ini atau tidak berkecamuk
dalam kepekatan saja, namun telah tunjukkan luka-luka dari bagian I-XX, yang
akan menjadi borok semua pelaku susastra Indonesia, dan saya cukup menikmati
saat-saat belajar.
Pertumbuhan
ini menyenangkan, setidaknya dari pengelana yang tinggal di desa, lewat sekali
bidik melihat tipuan, bahasa halusnya sulapan di fakultas kesusastraan. Andai
bola mata dan pikiran saya bisa ditransfer cepat ke para kritikus sastra,
kemungkinan terbongkarnya kasus karbitan, tidak jujur setindak kebohongan, atau
penggorengan istilah lainnya dalam dunia kesenian.
Lewat
menyeruput wedang kopi pagi ini harapan saya, mata jeli yang waras tidak silap
mudah percaya, dipakai untuk mengisari secara telanjang bungkus kemayu, atau yang
menafsirkan ayat dengan ugal-ugalan. Terbukti bersama kesadaran membaca tempaan
dari para pendahulu, para ahli terpercaya; maka tampak nyatalah mereka itu melenceng
argumentasinya yang dekat permainan jemari tangan.
Ini
hari agak mendung, pagi-pagi terlihat pelangi seolah dari kota Mojokerto, yang
lengkungannya di atas tanah Lamongan ke pucuk lengkung satunya di kota Tuban. Umpama
dedahan saya terdahulu mengkondisikan suhu udara atas derajat cuaca tertentu,
dan wewarna kluwung muncul adanya
penerimaan. Atau saya telah usahakan sesuatu, lalu kesaksian saudara penentunya;
apakah sekadar turun dalam dongeng mitos atau ke puncak realitas? Saya percaya
saudara lebih segalanya, dan sekecil ini selarik tangga seyogyanya dihadapi,
kalau tidak ingin dianggap berlari tunggang langgang atau masih tiduran?
Benarkah saya tidak berbuat apa-apa, dan kasus tersebut hawa udaranya, maka ini
pelanginya?
***
Untuk
meningkatkan tekanan angin disertai buliran keringat, kuping saya mengambil
dengar musiknya Metallica ‘Enter Sandman,’ demi mengimbangi ungkapan sastrawan
filsuf Jerman Nietzsche; “Jiwa bertumbuh,
kekuatan dipulihkan dengan melukai.”
Anggap
sehiburan istirahat, sementara saya menghentak-hentakkan kaki memompa detakan
nadi debaran jantung, geleng kepala pun boleh tidak percaya. Seperti separuh
hilang kepercayaan kepada pelaku sastra yang tidak bertanggungjawab atas
langkah kekeliruannya. Terlalu jauh membandingkan SCB dengan Nietzsche, membaca
konsep akidahnya yang dipetik pun tidak sanggup mencernanya?
Hantaman
cadas pukulan keras, menjebolkan kendang udaranya, lengkingan pekat di langit
ke ujung senjakala. Itu kesurupan, menyandingkan Sutardji dengan pengguncang
jaman; adakah karyanya seampuh Kitab Sabda Zarathustra? Dengan sangat memalukan
saya baca mitos itu berkeliaran, dan saudara yakin halnya sejarah sastra
Indonesia sejenis gempa; di suatu wilayah tidak lama, hanya taklid buta terguncang
keder olehnya? Semisal sarapan pagi dengan mimpi-mimpi? Bacalah berkecurigaan mawas,
kedudukan sastra kita di belantara Kesusastraan Dunia?
***
“Kenapa
Nietzsche membongkar kubur Socrates, lalu memakan daging busuknya, serta
menelan tulang-belulangnya?” Socrates-lah dedengkot turunnya
‘nilai wahyu kesadaran’ yang mengajarkan kepada Plato, yang pada gilirannya
menuju Aristoteles. Dapat dibilang dari mereka bertiga mencair ke belahan bumi
Timur serta Barat, dan Nietzsche tidak ingin cairan racun yang ditenggak Socrates
menjelma akal budi membusuk seperti daging yang barusan ia makan.
Nietzsche
dengan ‘kedengkian’ menganggap kematian Socrates merupakan akal liciknya
sendiri yang paling sempurna (baca: Senjakala
Berhala). Atau ia berhasrat menghisap limpahan cairan mematikan yang sudah
menyebar di kepalanya para filsuf dan sastrawan dunia dengan hantaman palunya
paling keras, “Tuhan telah mati.” Sudahkan Sutardji melakukan? Karena sampai
detik ini belum, sedang para peneliti membandingkan dengannya telah
berkoar-koar, tidakkah mereka sulapan?
***
Apakah
dengan perombakan “Kun Fayakun” yang dimaknai “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi
maka jadilah!” termasuk cara-cara pembunuhan terhadap Tuhan? Bukan! Namun
penghinaan di depan para hadirin Mastera di tahun 2006, DKR 2000, juga mengolok-olok
diri sendiri, tersebab menampakkan kebodohannya, pula mempermalukan kritikus
pendukungnya, tentu kalau sadar!
***
Memang
sah mensejajarkan SCB dengan Nietzsche, wong
menyepadankan penyair dengan Tuhan tidak masalah (baca buku gugatan saya
sebelumnya). Begitulah para penelisik yang tidak pernah memakai timbangan,
hanya menimang-nimang sejauh perasaannya keliru lantaran grusa-grusu, maka menjadi lelucon manakala dihadapkan kepada
kewaspadaan ini.
***
Kenapa
di bagian lalu saya sandingkan kesalahkaprahan SCB yang diamini kritikus,
hampir sama dengan keberingasan watak bebal kaum Qaramitah yang menumpahkan
darah di tanah suci di depan Ka’bah? Di batas tertentu, teks Kitab Suci al-Qur’an
dan kiblatnya umat Islam sama terjaga, meski ada yang mengotori menghinanya.
Namun Allah Swt tidak serta-merta mengirim ulang sekawanan burung ababil kepada
serdadu Qaramitah, sebagaimana yang menimpai pasukan Abrahah.
Sepertinya
Tuhan membiarkan SCB merombak makna firman-Nya di depan para penikmat sastra,
di sebelahnya mungkin saja Sutardji menyerupakan Abu Tahir pemimpin Qaramitah
yang menyerang kaum muslimin kala bertowaf, dengan ayunan pedangnya berkata “Aku
Allah... Aku Allah” Segelombang SCB tidak mengoreksi ulang catatannya,
membiarkan saja kalau “Kun Fayakun” adalah “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi
maka jadilah!” seperti ‘penguasa’ saat itu, sejurus lagi para kritikus bungkam,
melempem!
***
Kata-kata
saya tidak berharap lebih serupa burung ababil yang mencengkeram bebatuan panas
yang didatangkan sedari neraka, hanya semoga sederas air hujan membanjiri Tanah
Suci demi mensucikannya, selepas pembantaikan berdarah tersebut yang juga mencemari
air Zamzamnya.
***
Di
bagian XVII disebutkan, “anggap semua
tulisan ini monolog semut-semut hitam merayap.” Jika ditarik ke dalam
peristiwa di Ka’bah sebelum datangnya banjir besar pada wilayah Idam,
teringatlah pasukan semut mengejar orang-orang Jurhum yang kepala suku
terakhirnya al-Harits III, pergi menuju Ka’bah mengambil dua patung emas rusa,
beberapa pedang serta perisai yang ada di dalamnya. Karena merasa sedang
diawasi, segera melempar barang-barang rampasan ke sumur Zamzam, lalu
menutupnya dengan pasir.
***
Seperti
dituturkan Fathi Fawzi ‘Abd al-Muthi dalam bukunya “The Ka’bah,” jauh di lain masa …Abdul Muttalib dan anaknya
al-Harits mengeluarkan dua patung emas rusa, beberapa perisai dan pedang yang
dikubur oleh Madad al-Jurhumi ketika pasukannya kalah dalam perang. Abdul
Muttalib yang sebelumnya mendapati firasat letak sumur Zamzam di antara sampah
dan darah... diparuh burung gagak bersayap keputihan... dekat sarang semut.
***
Dan
kita teringat Abdul Muttalib meminta kembali unta-unta yang dirampas serdadu
Abrahah. Kepada Raja Abrahah ia berkata sepenuh yakin; “Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan Rumah (Ka’bah) itu akan
dilindungi oleh pemiliknya.” Ini
hampir senada Surat Al-Hijr (15): 9, antara kesucian al-Qur’an dengan Ka’bah
yang terjaga: “(Sesungguhnya Kami-lah)
lafaz Nahnu mentaukidkan atau mengokohkan makna yang terdapat di dalam isimnya
Inna, atau sebagai Fashl (yang menurunkan
Adz Dzikr) Al-Qur’an (dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya) dari penggantian, perubahan,
penambahan dan pengurangan.”
***
Di
padang gersang dibanjiri darah pertikaian, jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.,
sosok Abdullah ibn Zubair teringat yang dikatakan Ummul Mukminin Aisyah,
tentang sabda Nabi Saw. Kepadanya; “Wahai
Aisyah! Jika kaummu tidak berada dekat ke masa Jahiliah pra-Islam, aku akan
menyuruh agar Ka’bah dirobohkan termasuk yang tersisa darinya, meratakannya
dengan tanah, dan membuatnya dua pintu, satu menghadap ke timur dan yang
lainnya menghadap ke barat; satu pintu untuk masuk dan pintu lainnya untuk
keluar.”
Ibn
Zubair membangun kembali Ka’bah sebagaimana yang dikehendaki Rasulullah Saw,
namun selang beberapa masa kala Abdul Malik ibn Marwan diangkat jadi Khalifah
Umayyah 65 H (685 M), ia merasa kalau kekuatan Ibn Zubair dapat mengancam
kekhalifahan Umayyah, karenanya ia berupaya keras mengikisnya. Abdul Malik
mengirimkan pasukan ke Makkah di bawah pimpinan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi.
Al-Hajjaj
menghujani Ka’bah dengan bebatuan serta menyerang pasukan Ibnu Zubair hingga memperoleh
kemenangan keji, namun tetap tidak merasa terpuaskan. Ia mengubah tampilan Ka’bah
yang dibangun Ibn Zubair yang berdasarkan sabda Nabi Saw, al-Hajjaj berkeinginan
menghapus ingatan orang-orang terhadap jejak Ibn Zubair yang terdapat di
bangunan Ka’bah.
Al-Hajjaj
mengirim utusan kepada Abdul Malik ibn Marwan di Damaskus, melaporkan perubahan
yang dilakukan Ibnu Zubair kala merenovasi Ka’bah. Dirinya memalsukan fakta,
membohongi majikannya. Kemudian meminta izin mengembalikan Ka’bah ke tampilan
semula. Ia menutup pintu sebelah barat Ka’bah serta meruntuhkan dinding di
sebelah Hajar Aswad dan membangunnya kembali. Sekiranya ia berkesempatan
memangkas tinggi Ka’bah, ia pasti akan melakukannya.
Hari-hari
berlalu, Allah Swt. menghendaki terbongkarnya perbuatan jahat al-Hajjaj,
menyingkap muka kekejiannya. Tidakkah perombahkan yang dilakukan al-Hajjaj kepada
Ka’bah, sebanding “Kun Fayakun” yang disalahartikan menjelma: “Jadi, lantas
jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!”?
***
Jikalau
pengelanaan ini menempatkan filsafat amatiran, maka sudahlah menjawab pandangan
Nietzsche (1844 -1900) yang mengatakan ‘filsuf
tidak memiliki kesadaran sejarah,’ pada esainya yang bertitel “Nalar” di dalam
Filsafat (: Senjakala Berhala). Kini
kembali kepada orang Jerman itu, namun…
***
II
Tiba-tiba
saya dipanggil Hegel (1770 – 1831), padahal tidak ada waktu untuk membaca ulang
karyanya “The Philosophy of History.”
Saya petik saja kalimatnya yang mengenai hakikat ruh: “Hakikat Ruh dapat dimengerti dengan melihat lawannya yang langsung
-Materi. Karena hakikat Materi adalah Gaya Berat, maka di lain pihak, kita
dapat menyatakan bahwa substansi, hakikat Ruh adalah Kebebasan.”
***
Sedari
mula catatan ini atau pun sejak awal penalaran saya mengenai perangai kata
‘bebas,’ bukanlah sebebas lepas tanggungjawab, pula tidak bablas sedari beban
makna. Namun seperti daun-daun runtuh ke tanah oleh kekeringan, atau kebebasannya
tetap menyetiai hukum yang dikandungnya. Jikalau Hegel menyebut materi bergaya
berat, maka ruh punya gaya bebas!
Ruh
merupakan kesatuan diri aktual, bisa masuk serta lepas dari materi. Tanpa
adanya ruh, maka materi sekadar ‘mumi-mumi’ -istilah Nietzsche. Dan kita
teringat ungkapan Valeri, “suatu upaya
untuk menciptakan yang saya sebut ruh dari ruh.” atau “ruh,“ruh dari ruh” adalah kerja”: Derrida. Sedang gaya berat atas
materi dalam kehidupan ini tidak lebih terhukumi atau tergantung gaya
gravitasi. Limpahan materi tanpa ruh yang menyatukannya, tentu berserakan
terpecah-pecah, sedari sini Nietzsche berani melangkah lepas berkabar bahwa ‘Tuhan
telah mati.’ Saya memaklumi, tersebab ianya girang berjalan di depan, dirinya
tidak ingin menjadi orang yang melihat orang, hanya berhasrat dilihat. Sejauh
mengidam garis finis duluan, semisal mengungkap nilai baik, yang diplototi
efeknya keseimbangan baik, &st.
Karena
bagian ini akhir kupasan paragraf Ignas Kleden yang ke 3 dan 4, olehnya
diunggah ulang: “Sebuah kata, dalam
pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam
proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka
berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah
diasosiasikan dengan makna tertentu.”
“Adapun
kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya
beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis,
tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial,
kekuasaan politik, atau norma-norma moral.”
***
Tidakkah
pandangan SCB yang diungkap IK di atas menginginkan perilaku kesurupan? Sebab
naik-turunnya musik pergeseran makna adalah niscaya bagi pemilik ruh
pengertian. Di mana kekisarannya menghadirkan dialektika atau perbedaan sedari
perpindahannya terhadap sesuatu nilai tersebut memungkinkan tafsiran
berkesadaran lain, yang menambah derajad ‘kata,’ sehingga memancarkan pelbagai
kilauan mewujud dinamika peradaban.
Aturan
bahasa, logika kebahasaan pun perhelatan sosial pula norma-norma, serupa sarana
kata-kata memenuhi maknanya! Adapun efek-efek buruk yang menimpainya tidaklah
harus kabur lepas tanggungjawab, tapi bagaimana caranya dikembalikan ke letak
semula. Para peletaknya ialah orang-orang yang berkepentingan, pemilik
kebulatan ruhani demi hawa harum kedewasaan yang mencerahkan.
Perihal
materi, kita dapat melihat perselisihan pendapat suku-suku bangsa Arab dalam
perebutan hasrat, siapakah yang terpantas memindahkan batu Hajar Aswad ke
tempat semula? Menyoal ruh pengertian, seyogyanya waras lagi mawas membaca,
mencermati-pahami pola-pola pergeseran, lalu memberi penerang darinya. Bukan
malah menafsiri yang terlepas asbabun
nuzul pada ayat-ayat al-Qur’an, apalagi merombak makna firman-Nya?
Bagaimana
tidak disebut kesurupan, menulis puisi dari kata-kata yang tiada artinya dari
bahasa atas bebangsa mana pun? Tidakkah itu kreatifitas kebablasan, kebebasan
tanpa pondasi dari jiwa lemah yang mudah disusupi makluk halus? Lantaran oleh
tingginya suhu badan berdemaman, sehingga mengoceh tidak karuan, yang
kata-katanya terjadi melucuti maknanya?
Kredo
Puisi SCB, “Kata-kata bukanlah alat
mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata
adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Tidakkah ini malah
menyelewengkan konvensi sosial, kekuasaan politik, atau pun norma-norma moral?
Membuat suara-suara kebebasan tidak manusiawi, terbuang dari kesadaran insani.
Kata-katanya tiada ruh, ruh yang bekerja, ibarat batu mandek; tidak adanya
perbuatan kecuali menumpuk kata-kata benda yang tidak bermakna! Hanya kritikus
kesurupan pula yang mengandaikan ketinggian kesastrawiannya, sedari perangai
kemandulan tersebut!
Untuk
mengurai jauh, sepertinya sesuai paragraf IK ke 5. Maka mendingan balik ke
Nietzsche, Hegel, atau orang-orang yang serius bekerja.
***
III
“A person
cannot be God, certainly not replace God, and rule the world as a Superman; he
will only succeed in creating more chaos and make a greater mess of the world.
In the century after Nietzsche man-made disasters left the blackest records in
the history of humankind. Supermen of all types called leader of the people,
head of the nation and commander of the race did not baulk at resorting to
various violent means in perpetrating crimes that in no way resemble the
ravings of a very egotistic philosopher.” (Nobel Lecture, Gao
Xingjian, Translation by Mabel Lee).
Jumputan
paragraf kedua, kuliah Nobel Sastra oleh Gao Xingjian yang notabene kaum ateis
itu, masih menunjukkan penghormatan kepada sesuatu yang tidak terketahui
(Tuhan). Menganggap tidak mungkin manusia menjadi Tuhan pun menyepadankannya,
-meski berperangai paling unik sekalipun! Ini pukulan telak bagi para pelaku yang
sok, yang beberapa kritikus menggolongkannya sebagai penyair sufi, karyanya
puisi sufistik, tetapi nyatalah ngawur!
Riak
pemikiran Nietzsche masih terus bergentayangan, dan saya memasuki lewat composer
yang ia kagumi pula sebaliknya. Sebab tanpa musik sepertinya mandul, atau ianya
musik sastra yang berdenyut dari jantung filsafat, meski ada menganggapnya
ricauan filsafat yang sangat angkuh.
Bulan
Maret 1861, Krug memberikan ceramah “Tristan
und Isolde,” ini awal kali Nietzsche mendengar mengenai Wagner. Di
tahun-tahun di Pforta itu komposer favoritnya Schumann (meninggal 1856, meski
demikian ia komposer kontemporer, ‘moderen;’ sementara ‘Tristan’ saat itu belum
dipergelarkan, merupakan musik masa depan). Ayahnya F. Nietzsche, Karl Ludwing
Nietzsche, lahir 1813, sama tahun kelahiran Richard Wagner. (Kronologi
Kehidupan Friedrich Nietzsche dari bukunya “Ecce
Homo, How One Becomes What One Is,” terjemahan bahasa Inggris oleh R.J.
Hollingdale, pengantar dan revisi edisi Inggris oleh Michael Tanner, Penguin
Group 1979, 1992).
***
Agak
sulit untuk memulainya, sementara para tokoh yang hendak saya tulis sudah
mewakili jari-jemari; ada yang di jari kelingking, jari telunjuk, jari tengah,
jari jempol pula jari manis. Maka sebaiknya saya mengambil perkataan pelukis
Pablo Picasso (1881 – 1973):
“Sindiran
dari seseorang yang menyatakan, bahwa tidak ada lebih berbahaya dari beradanya
alat-alat perang di tangan para jenderal, dan kita dapat mengubahnya dalam arti
yang disesuaikan lagi cocok bagi para seniman. Dalam artian yang sama, tidak
ada lebih berbahaya daripada keadilan di tangan para hakim dan kuas-kuas untuk
melukiskan di tangan pelukis! Bayangkan saja bahayanya bagi masyarakat.” Ungkapan
Picasso itu tidak lebih sama dengan kata-kata dalam pidatonya Gao Xingjian yang
terpetik. Dan saat membacanya terlintas wajah sang dikator Adolf Hitler (1889 –
1945) salah satunya, seniman lukis kapiran!
Jiwa
seniman demikian purna penggagas buku “Mein
Kampf” ialah jiwa tangguh melebihi karang. Pemampu mengolah kesedihan menjelma
keriangan dan kemalangan ditatanya rapi. Terhinakan bagi tempaan hidup, atau
semua dihadapi sealat tukar demi meningkatkan drajat mentalitas pencarian yang
menambah jumlah pendapatan nilai-nilai yang dibangunnya. Tidak lebih mensyukuri
derita melipat gandakan kesaksian, semacam cahaya yang melesat kemudian.
Setiap
atom penderitaan memancari sinar terang bagi yang tidak ngelokro berjiwa loyo. Kesungguhan hidup, patriotisme
kesemangatannya merebut kemungkinan mendatang, panji-panji kejayaan dari
pemikiran dan pilihan matang sebelumnya, itu tapak langkah mengharuskan
mewaspadai sambil menekan resiko sekecil-kecilnya. Sekalilagi sudah terlampau
hafal kepahitan hidup, tekanan berat yang telah biasa dipanggulnya.
Jiwa
seniman besar tidak cengeng mudah termakan waktu terhisap jaman, ia melayang
terbang di puncak cakrawala penalaran, sekali tempo menyabet ikan-ikan bernasib
sialan dari kedalaman lautan. Ia meletakkan dasar-dasar pemikirannya, tidak
melupa memberi oksigen secukupnya, atau bebidang pengetahuan terus memompa
gagasannya, meski musim kemarau tidak sampai sekarat! Bagaimana tidak ambruk, jika
pertimbangan didasari iseng asal-asalan, coba-coba? Maka amburadul itu pantas
bayarannya!
Demikian
juga komposer ulung Wagner menurut Schopenhauer: “Tristan dan Isolde bukan hanya satu sintese dari Wagner tentang teori
seni, ia lebih banyak menggambarkan sebagian dari drama Wagner yang hidup
tragis dan bingung. Apakah yang direncanakan oleh otak si seniman diwujudkan
dengan secara menakjubkan oleh hatinya.”
***
Wagner
mengunyah buah maja kehidupan, lantas dicerna dalam ketenangan mempuni sehingga
menghadirkan perbandingan pun penelusuran halus, antara pengembaraannya di
pinggiran sungai hayati yang mencerminkan hasil-hasil karyanya. Kebeningan
perangai nalarnya, keindahan hati mengelus soal, perkiraan tiang pancang
harapan, yang menujah perut bumi laksana akar menyedot saripati. Dan sekelebat
bendera kesegaran daun-daun adanya angin, sereaksi tegaknya hukum kausalitas yang
memayungi jiwa-jiwa sentausa.
Di
sela-sela menggarap karyanya ‘Nibelungen’
yang besar itu, atau Wagner amat terpaksa merampungkan ‘Tristan’ terlebih
dulu. Yang menurut Ackere dalam suasana kebingunan, ia ‘melarikan diri’ ke
Venesia demi melupakan Mathilde. “Sebagai
manusia ia coba melupakannya, sebagai seniman ia tak bisa matikan perasaannya.
Begitulah ia sambil bercucuran air mata dan dalam kesepian yang mencekik
menulis “Tristan” yang baginya menjadi lambang dari kekecewaan hidup.”
Batin
Wagner terlunta-lunda bersama raganya meninggalkan Mathilde. Kasih meminta
jarak pandang tidak terlihat demi menerjemah getarannya; hal yang sudah meresap
tidak mungkin terhapuskan, hanya tetumpukan peristiwa kadang terlupa sejenak.
Saat kenangan ditingkatkan menjelma sebuah karya, seperti bayangan makna yang
tengah dirasai, bergolak kian menguat menggetarkan pemahatnya, juga mereka yang
menyaksikannya tertimpai beban hampir sama. Air mata berlinangan di sudut gelap
kesepian, sambil menginsyafi perkara yang tidak mudah dielak. Jalan takdir
telah tergurat dan atas lelangkah kesabaran menguatkan segala, tidak terkecuali
setiap peraman wewarna melodi, menggayuhnya untuk terus bertabah.
***
Untuk
opera Tristan, mengambil dengar komposisi atas komposer Wagner -Tristan und Isolde ‘Prelude’ sepengantar
ringkasan menulis ulang kisahnya di atas J.Van Ackere; Tristan berkelahi hebat
sampai membunuh Morold, tunangan Isolde. Tristan sendiri mendapat luka parah, dan
sebab dendam, Isolde hendak membunuh Tristan dengan pedang Tristan. Kala
mengangkat pedang dan sedang diayunkannya, matanya bertemu mata terdalam
Tristan, hatinya terpaut jerat yang sama. Mereka berdua telah menjadi junjungan
nasib untuk berjumpa. “Ia memandang
mataku, Aku kasihan akan keadaannya dan mengobati lukanya.” kata Isolde.
Tapi keduanya punya kewajiban yang menghalangi percintaan. Tristan mendapati
perintah membawa Isolde berperahu kepada raja Marke, yang hendak menjadikan
permaisuri, mengangkatnya sebagai bakal ratu Cornwall.
Isolde
jadi dengki oleh acuh tak acuh Tristan, memerintah pengiringnya Brangaene
supaya menyuruh Tristan datang dan memujanya sebagai bakal ratunya. Tristan
bawaan raja Marke, dengan sendirinya menjadi bawaan Isolde. Tristan membungkuk
di hadapannya, lalu berkata, “Hamba
bersedia menjalankan segala perintah Paduka.” “Adakah hutang jiwa antara kita?,”
diterangkan Isolde. “Ini pedangku,
bunuhlah aku sekarang juga!” jawab Tristan dengan pahitnya. Setiap
perkataan mereka merasai saling mencintai. Tetapi mereka mempunyai kewajiban,
ia bawaan dan Isolde permaisuri raja Marke. Hanya kematianlah yang bisa
menghentikan keadaan menyempitkan dada ini.
Isolde
menyerahkan kepadanya beker dengan racun yang disuruh disediakan Brangaene.
Keduanya tahu, bahwa setiap saat mereka bisa mati, tetapi mereka ingin
menghentikan hidup tiada gunanya. Betapa kuatnya, betapa beraninya Isolde kala
menyerahkan beker sial itu kepada Tristan. Suaranya berapi-api menuduh Tristan
berhianat, karena hendak menghabiskan isi beker, dan membiarkannya ia hidup
sendiri. Betapa manis penandaan ini penuh tanggung jawab yang terkurung, tapi
sudah menentukan cintanya. Namun Brangaene silap. Daripada menyuguhkan beker
racun, ia memberi beker cinta untuk raja Marke. Mereka tidak berdosa lagi, dan
sudah demikian.
***
Kita
berada di suatu tempat terbuka di rimba, memasuki wilayah kekuasaan raja Marke.
Malam menjalin bajunya yang biru pada dedaunan, dan menara-menara dari istana
raja. Isolde menunggu penuh ketakutan di depan pintu dengan obor di tangannya
menyala, ketika raja Marke berangkat bersama pengiringnya untuk pergi berburu
di malam hari. Kalau lampu-lampu telah dipadamkan, ini menjadi tanda untuk
Tristan. Cinta asmara Isolde semakin meluap... Hatinya berdebar-debar kalau ia
melihat di sela-sela pohonan suatu bayangan. Itu dia! Dengan penuh hasrat
mereka berpeluk-pelukan. Ketakutan dan ketidaksabaran hawa nafsu, semua
diucapkan oleh orkes dan sungguh menyatakan pergolakan batin. Suara-suara
terjalin lembut mendebarkan, teks kata-kata melebur, satu perkataan saja
dinyatakan membumbung nafsu tidak kenal batas.
Tristan!
Isolde!
Di sini
kita merasakan detik detakan jantung Tristan,
lalu
keluhan Isolde...
Apakah ini
mata kakanda?
Apa ini
mulutmu?
Ini
tanganmu?
Ini Hatimu?
Kedua
suara itu saling bersengkarut memotong perkataan, kemudian bersatu. Melodi
terus mengalung tanpa bentuk tak berakhir, menandai Wagner lambang hasrat
romantik yang tiada batas, Tristan dan Isolde menjanjikan kebahagiaan, harapan
mereka supaya hari bertambah siang, dan bukan kematian menyusul malam ini.
Tristan
kembali sebagai buangan ke kastil nenek moyangnya. Di atas bebatuan karang
berlumutan, dalam kesepian di tepi lautan yang tenang, berdirilah benteng akan
runtuh itu. Di sela-sela batu tumbuh rerumputan subur. Di dinding-dinding yang
pecah, Tristan sedang sakit melihat ke gulungan ombak, di sampingnya berdiri
pengiringnya yang setia, Kurnewal. Seorang pengembala akan memberitahu
datangnya Isolde di perahunya dengan lagu girang. Tapi semakin menitik lagu
sial itu ke dalam hati Tristan mengerang, menipis harapannya serta bertambah
keinginannya.
“Das Schiff!
Siehst du es noch nicht?” keluhnya. Tiada layar satu pun yang datang memecahkan
kebosanan air, yang hijau biru serupa keragu-raguan menyiksa. Hasratnya kian
kuat seperti laut mengalun di depan matanya. Akhirnya, muncul kedua perahu
berbendera putih di tiangnya, tanda Isolde di perahu. Turun ke darat dan
buru-buru naik ke atas batu karang. Ia menerima Tristan dalam pelukannya sedang
mati. Kini menyanyikan “Mild und leise” yang terkenal itu. Pada ciumannya
terakhir, Tristan memberikan juga nafasnya yang penghabisan. Isolde mematikan
kematian cintanya menuju mayat Tristan.
Raja
Marke datang mengampuni dan mendekati mayat keduanya. Ia tahu, pasangan itu
hanya didorong minuman sialan, dan bukan oleh kemauan mereka sendiri. Tristan
dan Isolde ialah musik abadi, yang terus berlaku sebagai ayunan ombak tiada
habisnya, dimana pandangan Tristan sia-sia mencari pembebasannya. Sebagaimana
ibundanya Malin Kundang, atau suara burung penyesal yang setiap pagi dan petang
menjerit-jerit lemas menyebut induknya, sambil menyusuri pinggiran sendang.
***
IV
Pada
esai ‘Religiositas dalam Sastra Kristen
Barat,’ dalam buku “Sastra dan
Religiositas,” Penerbit Kanisius 1988, Y.B. Mangunwijaya berkata: “Isolde, dan sekian banyak peran-peran
putri-putri istana balada-balada kala itu adalah jenis wanita fatal, dambaan
murni, maut murni. Tepatnya, dambaan fana belaka, maut siklus alam raya belaka,
lahan dasar manusia biologis, sadar rimba belantara negeri-negeri Utara.”
Opera
“Tristan dan Isolde” yang didengar
Nietzsche dari kawannya; Gustav Krug, saya sedari Ackere, mungkin dianggapnya
kuno, selawas “Romeo- Juliet” William Shakespeare; setidaknya di masa-masa
berikutnya, ia berhadapan langsung dengan Wagner.
“Siapakah
yang benar-benar meragukan bahwa aku, prajurit artileri tua aku ini, memiliki
kemampuan untuk mengangkat senjataku yang berat melawan Wagner? -- Untuk diriku
sendiri kusimpan segala hal yang menentukan dalam hal ini -- aku dahulu
mencintai Wagner. -- Pada puncaknya ini adalah sebuah serangan terhadap sesuatu
yang ‘tak dikenal’ yang subtil yang tidak dapat dengan mudah dideteksi oleh
orang lain, dalam arti dan arah tugasku...” (‘Kasus Wagner, Persoalan Seorang Musikus,’ terjemahan Omi Intan
Naomi, “Ecce Homo Lihatlah Dia Friedrich
Nietzsche,” terbitan Pustaka Pelajar, Cetakan III 2004). Lantas marilah
dengar salah satu karya komposer favoritnya, R. Schumann “Manfred (Kakak
Faust).”
Kalau
tidak keliru, saking sialnya tokoh ‘Manfred,’ tidak ada pada karya terbesarnya
Goethe yang bertitel “Faust.” Dalam
diri Manfred, Schumann menemukan dirinya sendiri. Pada tokoh Faust masih ada
cahaya pertolongan, sedangkan pada Manfred tiada jalan keluar. Kakak Faust itu
selalu diganggu kegelisahannya, dikejar-kejar pikirannya sendiri. Ia punya
kastil di Jungfrau atas pegunungan Alpen, jauh dari orang-orang, hidup dalam
kesunyian hati kecewa dan tersiksa. Pagi-pagi melepaskan pandangannya melalui
batu-batu karang, mata mengutuki menyingsingnya fajar, kalau ia bisa meremukkan
perasaan -penjelasannya ke bebatuan karang ini. Bumi pun laut, angin pula
pegunungan, sedang kemauannya yang dahsyat tidak bisa memenuhi keinginannya;
melupakan segala-galanya. Itu hanya bisa diberikan maut kepadanya, dengan maut
untuk jiwa, dan kejahatannya yang tidak terkikiskan.
***
Di
tempat lain J. Van Ackere menuturkan singkat hal komponis Johannes Brahms
(1833-1897), yang tidak mengabdikan seorang kekasih. Dalam seluruh hidup
mencintai istri kawannya yang akrab, cinta yang tragis dan sia-sia. Brahms
bekerja sama dengan penampil utama di masanya, termasuk pianis Clara Schumann
(istri komponis R. Schumann). Gambaran simbolis hidup Schumann ialah tragis,
dua jurang dimana hanya terdapat tumbuh beberapa bunga bahagia yang halus.
Jurang awal pergulatannya memiliki perempuan yang dicintai, pergolakan lama
serta sulit yang hanya bisa dimenangkan di depan hakim. Jurang lain lebih kelam,
setelah perkawinannya yang berbahagia datang lantas menghancurkan keelokan
hayatnya, musik datang pun tidak dapat menghibur, penyakit gila, mundurnya otak
yang gemilang, puncaknya pada tanggal 27 Februari 1854, ia meninggalkan rumah,
pergi ke sungai Rhein lalu menerjunkan diri di tengah arus, untung dapat
ditolong pelaut-pelaut yang kebetulan lewat, namun otaknya sejak itu semakin
terganggu.
Schumann
sebelum menjadi musikus mulanya penyair, menulis dua buah roman, naskah-naskah
drama dan syair, ia memuja penyair Inggris Lord Byron, saya jumput saja petikan
sajaknya yang bertitel “Darkness”
pada tulisan Goenawan Mohamad di majalah.tempointeraktif.com 06 Oktober 2008, “In the Wee Small Hours.” Judul tersebut
sama persis label album studio kesembilan American, vokalis Frank Sinatra,
filmnya dirilis bulan April 1955 di Capitol Records, yang diproduksi Voyle
Gilmore atas pengaturan Riddle Nelson. Goenawan mengambil dari nyanyian Sting, “In the wee small hours of the morning.”
Di sini saya hanya mengenai sajak Byron atas terjemahannya:
…dan
bintang-bintang
menggelandang
di ruang kekal
tanpa
sinar, tanpa jalur,
dan Bumi
yang dingin
bergoyang,
buta…
Dalam
kesendirian panjang Robert Alexander Schumann (1810 – 1856) berkata-kata: “Kalau aku Senyum itu sendiri gerangan, aku
mau menggelepar di sekeliling matanya; kalau aku Kegembiraan aku diam-diam akan
mengalir dalam nadi-nadinya.” Schumann seperti Manfred, lebih jauh adalah
Nietzsche, dan Lord Byron mula segalanya. Kata Nietzsche “… To die proudly when it is no longer possible to live proudly.”
(The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro).
***
…dan
bintang-bintang
menggelandang
di ruang kekal
Manusia-manusia
yang bernyali besar, kelebihan gairah, yang sudah terbiasa merasai kepahitan
hidup, rasa ampang atas segenap persoalan mendera, mencintai waktu-waktu
kesunyiannya, menyingsingkan semangat tinggi, paras wajahnya terus bertambah
cahaya oleh kepercayaan diri. Keyakinan yang diimani, menggelandangkan seluruh
kepemilikannya, mempertaruhkan dalam kepenuhan pencarian, hidup yang tidak
hidup bagi mereka, tetapi baginya sebagai luapan abadi kekekalan masa, atas
restu Sang Pemilik Masa.
Demikian
waktu menghadiahkan insan yang selalu bergumul mengikuti irama, memberi tempat
tidak disangka-sangka, dan begitulah nyanyian semesta; bintang-gemintang
menembus lapisan cahaya, menerobos masa lampau pun yang datang. Salah satu cara
bertahan pada lawatan tersebut mengatur nafas, disimpannya dalam lambung perencanaan,
lambat laun mendapati cara lain. Awalnya menahan nafas lalu bernafas dalam
kedirian terdalam, permenungan, penghayatan dari waktu sebelum dan
mendatangnya. Mempelajari kepadatan angin bebisikan bayu, kemudian berseluruh
daya terbang menuju ruang hampa, letak segenap kerja ditaruh pada lapisan
langit kekekalan terbuka lembarannya atas magnit yang sama, ketika bumi
berputar pada porosnya.
tanpa
sinar, tanpa jalur,
Meski
sudah memamah wawasan berkesadaran gemilang, bebentuk kelebihan gairah selalu terbentur
rahasia kehidupan, lontang-lantung seakan tiada tujuan, lantaran jalur yang ditempuh
tiada lain kepasrahan. Ketundukan pada hukum besar alam, seolah buta arah
menggembarakan naluri, hatinya merambahi alam-lama yang disaksikan dalam
keimanan. Namun begitu mereka memandang matang lelangkahnya, ini tidak lebih
sudah tergariskan, yang harus mengembarai ruang-ruang kekal;
Wewaktu
tidak dapat ditembus kecuali lewat kesuntukan mempelajari hidup atas benturan
tekat, dan sebab kasih sayang-Nya pada bebintang itu, dipertemukannya
orang-orang yang mengemban nasib ganjil, lalu sama menerobos kegelapan.
Perpisahan mencipta jarak rindu, dan dengannya menanjaki kedewasaan menawan,
keampuhan bersegenap kemauan abadi, kecintaan terhadap kekekalan. Tanpa sinar
sebelumnya, tanpa jalur yang sudah-sudah, karena dirinya perintis salah satu
jalur kelanggengan, pengungkap jaman kejahiliyaan.
dan Bumi
yang dingin
bergoyang,
buta…
Siapa
yang peduli di masa hidupnya? Gairah Lord Byron? Kesialan Manfred? Kegilaan
Nietzsche? Bumi lebih dingin dari ribuan tepuk tangan panjang dengan telinga
tuli; lama-lama ruangan bergoyang hebat, kian waktu bertambah frekwensinya dan
meletus. Pada materi ini saya ambil misal letusan gunung berapi dalam
menafsirkannya;
Ada
meloloskan lava cair secara merata, muntah tumpah ke mana-mana, ada letusan
interval serta terus bersambung-sinambung, ada lavanya mengental sampai
menyumbat mulut kawah, lantaran tersumbat tekanan sedari dalam kian meningkat
memecahkan sumbatan lava, sehingga keluarlah lahar dingin yang mengalir
disertai awan panas, ada darinya keluar material padat pun cair berkekuatan
erupsi besar yang tinggi sedari perut magma dalam gunung, ada yang wataknya
hampir sama penyumbatan kawah sebab lava padat kental, menjadi letusan kecil
beruntun, lalu keluar lava berpijar laksana air mancur karena sumbatan, ada
letusanya dahsyat sampai puncak gunung hancur dan kawah menjadi rendah, ada
kawah memiliki danau lantas meletus berakibat danau kawah berubah menjadi lahar
panas ikut meluber, menyerang daerah-daerah sekitar serta lebih.
***
V
Serasa
cukup menghirup udara segar di luar, setelah membedah bukunya Aguk Irawan Mn “Penakluk Badai, Novel Biografi KH. Hasyim
Asy’ari” di Pon-Pes Sunan Drajat, lalu mengisi seminar di STITAF Siman,
Lamongan, kemudian mengikuti seminar Internasional “Budaya Asia Tenggara” di UNESA, lantas mengikuti bedah karya yang
berjudul“Baju Bertuah Nabi Yusuf” karangan
M. Fathoni Mahsun, dan ikut serta bedah kumpulan puisi “Balada Lelaki Tua di Pamatang Sawah” Karya A. Rego Ilalang di
Jombang. Yang membikin cemburu berat mendapatkan buku kritikus sastra dari Maman
S. Mahayana yang bertitel “Pengarang
Tidak Mati” disaat menginap di hotel Singgasana kota Pahlawan Surabaya,
setidaknya saya terbakar oleh semangatnya, tatkala balik memijakkan kaki di Bumi
Reog, tempatnya pujangga R. Ng. Ronggowarsito dulunya nyantri di Gebang
Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, kepada Kyai Ageng Hasan Besari.
***
Saya
lanjutkan catatan ini demi menggenapi langkah ke muka, terpetik saja ungkapan
Simuh di bukunya “Mistik Islam Kejawen Raden
Ngabehi Ranggawarsita” terbitan UI-Press, 1988, hlm 47: “Melalui hasil-hasil karya seni dan sastra,
istana merupakan barometer peradaban dan kebudayaan Jawa. Walaupun wibawa
istana melalui hubungan kekuasaan kenegaraan telah hilang, namun istana
berhasil memperbesar wibawanya melalui hubungan kebudayaan dan kesenian.”
Dan
saya mencium gelagat sejarawan Hegel, “Bila
satu jiwa yang agung membuat dirinya menjadi terkemuka -bagaikan sebuah
gelombang besar dalam lautan yang bergelombang.” (G.W.F. Hegel, Bab II
Agama Islam, dalam bukunya The Philosophy
of History).
Walau
dalam Seksi I, ‘Unsur-unsur Dunia Jerman
Kristen’ pada bab saya kutip di atas, Hegel menghentikan kalimatnya lewat
ungkapan, “Islam telah lama hilang dari
tahap sejarah pada umumnya, dan telah mengalami kemunduran di dalam ketenangan
dan ketentraman Timur.” Namun... “…bintang-bintang
/ menggelandang di ruang kekal / tanpa sinar, tanpa jalur, / dan Bumi yang
dingin / bergoyang, buta…” (Lord Byron).
***
Ronggowarsito
menggelandang ke tengah-tengah malam pergolakan jaman ke hutan Ponorogo. Nama
‘Ponorogo’ berasal dari kata ‘Pono’ dan ‘Rogo;’ “Pono” dalam bahasa Jawa
berarti ‘melihat, tahu, mengerti, wasis, mumpuni,’ atau ‘dinaya perasaan yang
mengandung indera keenam di dalam mengetahui peristiwa yang kan terjadi.’ Dan
“Rogo” bermakna raga, diri atau orang. Menurut versi lain, “Pono” sedari
serapan bahasa Arab yang berasal dari kata “Pono / Fana” artinya ‘hancur,
hilang, lenyap, rusak, tidak terlihat.’ Sedangkan “Rogo” adalah tubuh / jasad
manusia. Maka “Ponorogo” dapat dikatakan, insan yang memiliki kekuatan
supranatural di dalam mengetahui peristiwa masa depan, rusak atau lenyapnya
badan. Tepatnya, kepribadian manusia yang mempunyai kesadaran berfikir jauh,
mengingat bahwa kehidupan ini ialah fana.
Santri
Tegalsari tersebut bagaikan bintang kutukan dari keraton Surakarta, bergaul
dengan para bandit, warok, bermain judi, sabung ayam sebangsanya, mengumbar
senang sebelum menilik kandungan pekerti lama, sedurung wahyu kapujanggaan menempa dirinya. Seolah alam telah
menyiapkan kedatangannya, sehingga di masa yang sudah direstui semesta raya,
ianya mudah menyerap petuah-petuah para wali (baca karyanya yang bertitel Wirid Hidayat Jati), demikian pun budi
pekerti sedari pelbagai kepercayaan yang tumbuh subur di tanah Jawa.
Setidaknya
ini menjawab Hegel; “‘diam-diam’ di dalam
ketenangan dan ketentraman Timur” yang dibius oleh politik adudomba atas penjajahan
Belanda, ajaran Islam menyusup begitu indah, menyenggamai tanah yang dipijaknya,
nafas-nafas rerumputan bersatu ke dalam peluk denyutan kasih mesra bumi Jawa.
***
Lalu
merujuk pada kalimat Sutan Takdir Alisjahbana “...dalam tiap-tiap kebudayaan itu yang terpenting adalah jiwanya,
sikap hidupnya, cara berpikirnya, dan nilai-nilai tujuannya. Adapun bahan-bahan
dan alat-alat boleh saja berasal dari mana saja, apalagi dari kebudayaan
tradisi itu sendiri.” (Menutup
Polemik Kebudayaan, Tempo 21 Juni 1986). Maka buku ini jawaban atau membuka
tutup polemik kebudayaan, sebagaimana STA menyebutkan dalam esainya yang sama:
“Sebenarnya
kalau saya mengatakan kebudayaan tradisi itu harus diintegrasikan dalam
kebudayaan baru, hal itu artinya kebudayaan tradisi itu mesti mengalami transformasi.
Dalam hal yang demikian yang diambil dari kebudayaan yang lama itu adalah
unsur-unsur lahirnya, bentuk dan caranya. Tapi semuanya harus berubah menjadi
penjelmaan jiwa kebudayaan modern yang, seperti kita tahu, dikuasai oleh
kemajuan ilmu, ekonomi, dan teknologi. Di sini kelihatan bahwa Sutardji kurang
memahami pengertian kebudayaan sebagai suatu struktur.”
“Tiap-tiap
kebudayaan itu mempunyai konfigurasi nilai-nilainya yang menentukan struktur
dan arahnya sendiri, dan kebudayaan modern adalah kebudayaan yang berbeda
sekali nilai-nilai dan strukturnya, bukan hanya dari kebudayaan Abad
Pertengahan di Eropa, tetapi juga dari segala kebudayaan tradisi yang bersifat
keagamaan. Kebudayaan modern yang bersifat sekuler itu mementingkan tanggung
jawab manusia, hasil pemikiran dan pekerjaan manusia dalam usahanya menguasai
alam.”
***
Lantas
kita tengok pendapat Adolf Hitler, sebelum memanasi Perang Dunia ke II: “Keduanya berbahaya. Pembicaraan palsu
terjadi karena ia tidak pernah bisa menembus pusat masalah, sementara
sentimentalitas salah terjadi karena ia terlewati begitu saja.”
Saya
ambil dari bukunya “Mein Kampf,”
Edisi Lengkap, Volume I & II, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh
penerbit Narasi, 2010. Kalimat Hitler itu tidak lebih menyerang bayangan musuh-musuhnya,
sebab ianya sebelum memegang tampuk kepemimpinan Nazi atau dapat dibilang masih
waras, bagi yang menganggap gerakan kesadarannya menumpasi nilai-nilai
kemanusiaan, tetapi saat memakai cara licik dan ini diperbolehkan di dalam
peperangan (pada peraturan peperangan di dalam Islam, tidak boleh membunuh
anak, para orang tua serta kaum wanita yang tidak membahayakan, juga tidak
ingkar terhadap perjanjian). Sayangnya Hitler kebablasan, dipakailah kalimat di
atas untuk mengelabuhi atau berpropaganda, sedikit banyak memalsukan data
gambar pun kata-kata, demi membikin sentimentalitas atau nasionalisme
‘buatannya’ yang tidak berakar sedari realitas perjuangannya.
***
Jika
saya memakai kalimat Hitler di dalam membongkar teks SCB, tidakkah merupakan “Pembicaraan palsu terjadi karena ia tidak
pernah bisa menembus pusat masalah?”
Membentuk “sentimentalitas salah
terjadi karena ia terlewati begitu saja?” Kemudian para kritikus terpukau hingga
silap mengikuti gayanya, kalau “Pada
mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantra.”
Atau
“Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair
berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana
kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah
eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang
adalah makna itu sendiri” atau “Pada
mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling
hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri.
Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri.” “Ke sanalah
penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri.”
***
Jelas-jelaslah
itu suara palsu, sentimentalitas salah kaprah! Sejauh pengembaraan saya menghadapi
tetumpukan masalah serta peristiwa tidak main-main, sebagai jawaban soal-soal yang
tidak mereka sentuh secara sungguh, pada kasus yang terang-terangan tidak berpijak
dan tidak memiliki akar sesungguhnya! Atau saya teringat kata penutup Ayu
Sutarto dalam seminar, “Prek!”
25
Juli 2012 / 6 Ramadhan 1433 H Lamongan-Ponorogo / 8 Maret 2017 (tahun baru usia
penulis, ke 41).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.