Nurel Javissyarqi
(kupasan keenam dari paragraf tiga dan empat, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
I
Untuk mencapai nol
kembali, harus
mendengar lalu melaksanakan “kejahatan.”
Beberapa hari di Watucongol, Muntilan,
Magelang. Demi ke pucuk Gunung Pring tanpa dibebani wewaktu kesibukan, namun pelan seirama
langgam kelanggengan sepautan kata-kata Nietzsche, bahwa kasih semacam kejahatan yang sempurna. Saya terjerumus ke dalam pusaran pesantren kembali, lantaran
mendengar adanya seorang setiap pagi memberi makan tetangganya
yang jompo, sejenis kejahatan kecil saya yang kadang membagikan buku-buku secara cuma-cuma; memanjakan sekaligus meremehkan diri sendiri. Menganggap pribadi ringan
sebongkahan daging yang diberi napas,
tidak lebih agung dari hujan lebat yang membanjiri kota-kota besar dalam membersihkan polusi udara?
Kejahatan lain menuruti saran seorang teman Gugun El-Guyanie, agar dalam menuliskan ini pelahan demi memperoleh hasil maksimal. Pun pendapat
guru lukis Tarmuzie yang berpaham, bagian XIX itu serupa ending dalam
sebuah film, sedari imbas mendedah “Kun Fayakun” (bagian
XVI, XVII, XVIII) yang disalah-kaprahkan pula dibiarkan para kritikus. Dan pengelanaan ini mengambil udara jernih demi memantabkan nafas untuk kematangan lama. Menggunakan pembuktian kasih sambil menertawakan diri dalam menuangkan sisi kebodohan,
yakni menyepelehkan hal pribadi guna menelanjangi pemalsuan di seberang.
Kejahatan besar saya menerima masukan
seturut logis Ilahiah, serta menganggap rintangan ialah musuh yang
harus dibasmi secara kasar, yaitu kasih atau umpatan
sayang. Kejahatan lain merajinkan berziarah
yang bisa jadi dianggap kekonyolan. Toh saya menikmati harmoninya meremajakan jiwa, menembus batas lelapisan cahaya seperti
puisi-puisi panjang. Mengambil bahan rujukan terpercayai yang telah menerima
pembantaian oleh
jalannya perubahan jaman.
Di Watucongol, kaki-kaki ringan melangkah naik-turun gunung, ini jarak proses
belajar memahami hidup menemui buntelan, sepuluh tahun dua puluh tahun pun
lebih. Kian terpanggang di tungku pengoreksian, dan lawatan tidak hanya di angan serapan luar juga menujah ke ceruk terdalam, serupa puitisasi nuansa alam langsung yang tidak mengambil bunga dari dalam buku pelajaran.
Setelah jleguran di blumbang di pesantren Darussalam, lantas makan satu nampan bersama-sama, masakannya lumayan pedas. Tradisi memasak di pondok kini mulai berkurang oleh adanya kantin
di tengahnya, di sini masih ada yang masak sendiri, berat sama dipikul ringan sama
dijinjing pun dalam penggalian keilmuan. Hal membedakan Watucongol dengan
pesantren lain ialah hampir semua
kegiatan dilaksanakan di malam hari. Siangnya sebagian santri ke sawah, meski ada yang ngaji
siang, namun seakan diwajibkan para santri dikala malamnya terjaga. Dan blumbang, salah satu
hiburan membuang kantuk juga kemalasan;
terjun bebaslah berenang, terjunlah bebas berpendapat!
Hidup prihatin di pesantren dibandingkan yang biasa di luar, maka pemborosan tampak mencolok, bisa jadi akan lebih bermanfaat bagi pemampu mengendalikan kebutuhan hayatnya. Menengok yang berfoya-foya menghabiskan waktu
kurang pedulikan usia, lebih jauh umbar-umbaran mengeruk kekayaan negara.
Maka,
jika ada yang berpendapat pesantren sebagai gudang teroris, padahal buktinya tidak meyakinkan, lalu mencermati para pejabat yang mengkorup uang rakyatnya; tidakkah sejatinya mereka teroris yang wajib dibasmi sampai akar-akarnya?
***
II
Ada ungkapan lama, “Surodiro joyoningrat, lebur dening pangastuti” (Semua keberanian, kekuatan, kejayaan bergelimang nikmat
duniawi, akan hancur musnah dikalahkan dengan kebijaksanaan, kasih sayang serta
kebaikan). Tetaplah menegakkan yang benar dengan tongkat keyakinan, kelembutan dari sifat kebaikan bukanlah lemah, tetapi selembut gelombang menampar tanjung karang terjal kebodohan, seketinggian itulah kebaikan memukul dan menerjang.
Kata-kata tersebut
saya agak lupa asalnya, apakah dari Prabu Jayabaya, Pakubuwono III, atau R.Ng.
Ronggowarsito? Kalimat
itu kini saya maknai lewat
tiga pamor pengertian; pembawaan negatif ke negatif,
pembawaan positif ke positif, dan pembawaan negatif ke positif,
yang mana tergantung perubahan ruhaniahnya.
Kata ‘Suro’ mengingatkan suatu nama
bulan
di kalender Jawa, pula tetumbuhan yang dedaunannya bisa digunakan untuk menjernihkan
bola mata; daun suro juga sebagai bahan kinang. Suro artinya keberanian, maka segenap waktu, materi dan apa saja yang mejuruk padanya mendiami ruh keberanian, ‘tatak’ istilah lainnya. Keberanian tergantung yang memakai, kalau melekati sosok
bajingan,
maka berani melakukan kebejatan, jika tersemat pada orang-orang baik, akan menimbulkan tegaknya keadilan dan seterusnya.
Kata ‘Diro’ maknanya kekuatan. Jika ditakwil ke dalam kata bahasa Arab sebentuk khadir
(hadir). Paham lain sempalan dari kata ‘ndi’ dan ‘roh’ (Jawa) atau “dimanakah ruh itu hadir” memberi
kehidupan? Saat ‘diro’ masuk setelah ‘suro,’ kata diro berpengertian kekuatan yang mendiami letak bergantung pada kata
sebelumnya; suro (keberanian). Kekuatan dari keberanian atau keberanian yang mengundang
kekuatan; menghitung kadarnya, mengeksloitasi dinayanya hadir. Yang bernasib baik keberaniannya dilindungi, dicurahkan
rahmat-Nya serupa akal perolehan. Ini berlaku balik bagi yang ditimpai takdir buruk, maka segenap keberanian
berkekuatan menahan, pula menyerang dalam perilaku
kejahatan.
Kata ‘Joyo’ sama dengan
kejayaan, ini menguatkan ikatan kata terdahulu; keberanian dan kekuatan, di atas keduanya memperoleh kejayaan atau kemakmuran. Pengertian
‘joyo’ tergantung yang membawakan. Kemakmuran yang tidak disalurkan ke sesama, menumbuhkan bibit tamak serakah,
meningkatkan watak kesewenang-wenangan. Sedangkan pemerataan atas perolehannya diberkati perangai
kasih sayang. Tentu coraknya tergantung pada jaman yang
mengasihi; jeweran, hardikan, teguran, selemahnya isyarat, tidak kurang sepantulan yang dihadapi.
Joyo itu
sekumpulan beberapa energi dari energi yang tersimpan oleh kata ‘suro’ dan ‘diro’ atau kejayaan persenjataan dekat dengan kemewahan, ketampanan (kewibawaan).
‘Ningrat’ beralamatkan pada
gelimang nikmat duniawi; pamor kejayaan dari sikap
keberanian, kekuatan tersimpan di dalamnya. Ningrat sederajat dengan
terpandang, berwibawa, sisi lain sebagai kekuasan yang mencengkeram,
seturut pancaran pelakunya sedari derajat yang menyandang. Seumpama berwatak kasih mengayomi sesama, kebalikannya dapat menindas beraura angkuh yang dinaungi awan kegelapan. Kata ‘ningrat’ berdekatan istilah ‘darah biru,’ keturunan raja atau insan biasa tetapi pemampu menancapkan peristiwa penting sampai mensejarah, maka keturunannya bakal tersemat di pundaknya kata ‘ningrat.’
‘Lebur’ artinya
hancur, musnah dan memiliki makna lain;
‘peleburan’ yang keras menuju lembut, zat
cair menjelma padat, bebatuan melebur berdebu, kayu kering
dinyalakan api berarang, berabu, air menjadi es. Di sini persamaan lurus kalimat itu antara unsur negatif ke
negatif, positif ke positif atau peleburan yang memperkuat nilainya. Kejahatan bertambah oleh keindahan ucap, kebaikan meningkat atas berkelembutan bahasa, sedangkan sedari negatif ke positif; lebur menghancurkan yang kerap
dimaknai pemusnahan soal-soal se-durung-nya.
‘Dening’ itu dengan. Perihal keberanian, kekuatan, kejayaan
bertambah keningratan yang berwatak buruk akan lebur hancur. Bisa juga melebur gentayangan, ‘hantu’ istilah Derrida. Maka penambahan mengikuti tuannya, dikala disematkan pada orang jahat, sejenis ular mlungsungi berganti kulit, semakin kemilau bisanya kian bertuah,
keindahan ragawi yang berdaya mempengaruhi pandangan, sehingga
yang takjub menjadi mangsanya. Yang baik pesonanya
diarahkan menanjaki bukit demi kebaktian, peningkatan usia disyukuri dengan
mengasihi, laku bukan jebakan menggelincirkan, tapi mengajak pahami karunia yang ditopang mawas diri berulang-ulang.
‘Pangastuti’ artinya
kebijaksanaan, kasih sayang, kebaikan. Kala diarahkan pada perihal
sebelumnya; keberanian, kekuatan, kejayaan ditambah
keningratan; melebur dalam sikap kebijaksanaan tipuan, kasih sayang sulapan,
kebaikan bersimpan kebejatan, kelembutan ‘pangastuti’ memendam bahaya
keburukan, sengkelit keris di belakang, rayuan ke lembah kemungkaran yang berdalih paling menggiurkan, sebab memiliki segala tingkatan lakon yang diminati kemanusiaan. Dan sebaliknya kebijaksanaan nan adil, kasih sayang tulus, kebaikan tidak meminta balasan, lebih jauh tidak berharap baik pada kebaikan itu sendiri. Yang umum, makna dari ungkapan tersebut
ialah keberanian, kekuatan, kejayaan bertambah keningratan
yang serakah, dan
berwatak bodoh bernasib sialan, sehingga terkuak maksud buruknya; menjadi lebur oleh datangnya kebijaksanaan Sunnatullah, ludes
di atas kebaikan yang sederajad
timbangannya, sebadai gelombang menerjang tanjung keangkuhan.
***
III
Kini kelanjutan dari ‘risalah akal’ al-Kindi melalui tafsiran Majid Fakhry, yang sebelumnya sudah saya terjemahkan. Setidaknya lewat banyak
pendekatan, akan
memperoleh kepenuhan dalam memeluk badan pengertian. Sebenarnya, sedari awal ingin langsung mengudari esainya IK, tapi tentu menemui resiko bagi penerimaan pembaca. Yang pasti menilik latar belakang, hal yang kurang sepantasnya dibebankan kepada pembaca bebas seperti saya. Olehnya dikurangi, dengan mengutip beberapa pengetahuan yang berkisaran dengannya, ini
menguntungkan di dalam menggali pelajaran dari para pendahulu. Juga menggerus watak turunan atas keraguan mereka kepada yang tidak bertitel. Bisa jadi ini obyektif, dikarena tidak dibarengi rasa ketakutan ketika berseberangan paham lembaga yang memayungi misalkan, sebab saya sejenis
orang
yang merdeka. Atau kebebalan terketengahkan tidak berimbas jauh, dan andai ada yang memetik
hikmah, saya percaya mereka para penalar yang mementingkan keseluruhan kajian daripada sepenggal pandangan.
***
Sejak awal telah saya
pelajari letak geografis kedirian pribadi ini
yang lahir di Lamongan, hijrah ke Jombang lantas ke
Jogjakarta. Pertimbangan sejak dini serupa
menimang kebodohan untuk berselalu
mewajibkan dalam
memperbanyak belajar. Sewujud syukur diberi kesadaran
sebagai insan lemah, dan menulis itu mensyukuri nikmatnya membaca seperti menyimak
hembusan kasih. Di sini tiada keraguan, toh semua bakal berakhir, dan kemerdekaan inilah yang menelanjangi ketakutan sampai pada pembaca di bangku seimbang. Tidak diperbudak akal nafsu, kecuali kebenaran keilmuan tertimba dari berbagai
bangsa, juga
tidak mencincang nilai kedalamannya.
Olehnya saya
menyebut diri ini pengelana, kadang pelajar, meski tidak di bangku sekolah, dan kursi
tertempati adalah
kemerdekaan berpikir merasakan goyangan iman yang berharap berkah kemurahan, dibalik kedunguan saat melalui jalanan kehidupan.
Kepercayaan terbit oleh yakinnya di antara mereka pemilik kepenuhan, cenderung melihat
jalinan teks
dalam permasalahan yang diketengahkan. Atau ini ujian bagi sebagiannya yang berwatak menutup-nutupi mengaburkan keterangan atas hasratnya yang serampangan.
Sebab penulisnya orang-orang bertitel di sisi kita menghilangkah kecurigaan
kala membacanya, otomatis ditelan mentah-mentah, padahal wacananya dekat
pembodohan. Pembuktian sepintas tanpa dilandasi kupasan kekaryaan yang mendalam, bisa dikata pengantar terlalu dini dekat kepincangan dari berjubelnya tuntutan hidup. Saya tidak menyalahkan, hanya
bila dibuktikan, bisa dipertemukan di meja telaah nan lapang yang diturunkan dari berbagai ahli sewaktu mengoreksinya.
Dalam tingkah pelajar serupa ini saya menampik mitos yang bersemayam di badan kesusastraan kita, dengan mementingkan kesadaran lewat kelenjar sejarah, urat teks melalui rujukannya. Dengan harapan pembacaan menuju muara kebenaran, tidak mandek sebatas permukaan menemui
bibir tanggul lokalitas angkuh dekat keterlenaan. Saya urai ‘akal’ al-Kindi
lewat pendekatan kekaryaannya Majid Fakhry, Guru Besar Filsafat di Center for
Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington. D.C. dari
bukunya “A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and
Mysticism” terbitan Oneworld Publications, Oxford, England 1997, yang diterjemahkan Zaimul Am, atas
penerbit Mizan, II 2002.
***
Al-Kindi terlahir di Kufah, keturunan
kabilah Kindah. Kufah merupakan salah satu
kota di Iraq, yang terletak
sepuluh kilo meter timur laut Najaf, serta seratus tujuh
puluh kilo meter selatan Bagdad. Karbala, Najaf dan Kufah, ialah kota-kota terpenting kaum Syiah. Semasa Khalifah
Saidina Ali, pusat administrasi dipindahkan dari Madinah ke Kufah. Saidina Ali
bin Abi Talib pun meninggal dunia oleh akibat tikaman pedang Ibnu Muljam, dan dimakamkan di Najaf. Lantas saya teringat awan hitam pekat yang memayung di masa-masa perang teluk yang diberitakan koran JP, hingga tergulingnya kekuasaan Saddam Hussein.
Al-Kindi putra seorang gubernur, ia berpindah dari Kufah ke Bagdad kala Ibukota
Kekhalifahan Bani ‘Abbas; Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq, ketiganya pendukung iklim belajar-mengajar dan kegiatan ilmiah, filosofis juga kesusastraan yang condong rasionalisme
teologi Mu’tazilah. Saat Al-Mutawakkil menjabat khalifah tahun 847,
al-Kindi bernasib buruk seperti filosof dan teolog lainnya, selama lima tahun
masa sulit, ianya wafat sekitar tahun 866. Dalam dimensi pun diwaktu berbeda, di bencah tanah Jawa khususnya dataran Pantura, telah tertanam pusat spiritualitas;
disemayamkan jasad para pendahulu, pengobar syiar Islam bersebut Wali Songo
yang dihormati kaum Nadliyin. Lalu saya terbayang pulung kekuasaan Majapahit lengser ke Demak,
begitulah sketsa singkat jika diseiramakan.
***
Majid Fakhry mengurai al-Kindi sampai
risalah akal, terdapat dalam dua paragraf yang saya kutip ini sebagai kehendak
persemaiannya:
“...Dalam
risalah berjudul Maqalah fi Al-Aql (Pembahasan tentang Akal) -yang pada
gilirannya nanti menjadi sumber inspirasi bagi karya-karya Al-Farabi, Ibn
Rusyd, dan selainnya- Al-Kindi mengembangkan tema tentang intelek (‘aql). Sejak masa Aristoteles dan para komentator
Yunaninya, khususnya Iskandar dari Aphrodisias (w.200), tema ini memang telah
sering diulas. Begitu pula yang terjadi pada filsafat Abad Pertengahan, baik di
Timur maupun di Barat.”
“Namun, dari
risalah itu, Al-Kindi membedakan empat bagian intelek, yaitu pertama, intelek
yang selalu dalam aksi; kedua, intelek yang masih potensial; ketiga, intelek
yang telah melewati keadaan potensialnya menuju keadaan aktualnya, atau intelek
capaian (acqurid intellect atau ‘aql mustafas); dan keempat, intelek manifes yang
berfungsi mengabstrasikan bentuk-bentuk universal dari segenap benda materiil.
Intelek ini boleh jadi sama dengan intelek aktif, yang memberi tahu jiwa
tentang spesies aneka benda manakala
ia sudah lulus dari tahap ‘intelek
capaian’.”
***
IV
Saya tidak cukup daya menyusupi kini, sedang waktu terus berjalan. Maka akan digabungkan beberapa kemungkinan
membongkar sedari pemahaman Majid Fakhry melalui karyanya Goethe
“Faust,”
disertai instrumen musik klasik garapan Wagner yang bertitel “Faust Overture.”
Der Gott, der mir im Busen wohnt
Kann tief mein innerstes erregen
Der über meinen kräften thront
Er kann nach auszen nichts bewegen
(Wagner, Faust Tragödie)
Semangat gila-gilaan al-Kindi dalam
pencarian keilmuan filsafat pun teologi, sedari bebangsa Yunani, Suryani, keagamaan India, Chaldean, Harran, di sisi Islam sendiri. Dalam wilayah berbeda, bisa dihadapkan pada nafsu agungnya Doktor Faust. Olehnya, kini
ditampilkan lelembar Persembahannya Goethe sebagai sketsanya:
“Datang lagi kalian, orang-orang gentayangan,”
Yang memanjati usia namun masih
meragukan kedatangan masa bayang-bayang di pundak
penasaran. Terus menyangsikan, melupa kesangsiannya sendiri akan hari-hari
luang. Kritik ini sebahan mentah, hantu-hantu menyerang, menyongkel kubur
sedalam ketidakjujuran dari kurang awasnya penyelidikan. Saya tarik gaun itu agar betapa malu seumpama sejarah ditukar kekayaan. Bernapas yakin menggempur tanggul keangkuhan demi menjalari pekerti sejauh pengabdian keilmuan, gudang simpanan bebijian
disebar ke ladang kemungkinan, menjadi santapan bernilai bagi kaum yang sulit duduk di bangku pendidikan. Nalar pertama ialah niat yang
dilesatkan ke ujung penyatuan, sekuntum kembang sumekar oleh cahaya surya kemurahan teruntuk setiap insan.
“Begitu dini sudah memperlihatkan wajah muram,”
Kerugian terbesar menghitung waktu tak
beranjak, padahal batu-batu bocorkan kepala, darah segar kebebalan ego tidak menghargai kesalahan lalu, terus berdendang seperti tidak terjadi apa-apa, padahal awan hitam letusan gunung menutupinya. Tahankah bernapas tanpa berkat kasih sayang? Ini
bukan mimpi buruk, tapi kutukan datang tiba-tiba. Bebatuan karang sepatung-patung menundukkan wajah, digedor
dari pelbagai arah, lebur binasa tidak bersatu ombak lautan. Demikian perubahan mencakar seperti
serigala kelaparan, raungannya menjelma kisah-kisah. Pada paras murammu separuh
bercahaya, entah sorot lampu sulap atau mengundi nasib tidak tepat masanya? Hingga gapaianmu runtuh oleh malam yang tidak sanggup mereka artikan. Padahal
binar hikmah dari lecutan cambuk malaikat melabrak benang laba-laba merah di
angkasa mencuri berita. Dan ledakan terindah di dada terbelah di kala masih belia.
“Haruskah
kucoba menahan kalian?”
Membiar pembodohan berlarut menutup
mata acuh tak acuh, menganggap kesalahan wajar. Beranikah memulai penyelidikan
sedari kekeliruan lama yang sudah terkuak, sedurung mencapai pembenaran
ringan yang
biasa dilakukan? Bagaimana mensejajarkan yang bergelut nalar, amarah, syahwat, dengan yang lewat alibi, berlari dari makna, lepas
tanggungjawab, merombak firman-Nya? Tidakkah cukup bukti didahapkan balik? Jika
mengudar tanpa laku, tong kosong berbunyi nyaring, dan anak-anak suka mengabarkan
ke tengah malam, padahal bulan telah menjadi bukti
malamnya. Dengan gaung ‘Faust Overture’ Richard Wagner, saya tidak menahan suara kalian, melapangkan berdaya seimbang. Jika ada kemurnian
peroleh derajad sepadan, nasib malang melintang berasal lelangkah awal tidak diinsafi menjelma petaka kemudian. Yang memuncak peroleh keelokan
lengking persamaan, ketahanan menerima tradisi berpijak kebajikan, agung lestari
nyanyiannya.
“Cenderungkah
hatiku pada kegilaan?”
Suara keras memantul mendamprat
jalanan. Sebab kelembutan kerap dianggap pujian atau mencari muka elusan.
Kegilaan Doktor Faust, pesta besar-besaran al-Kindi atas Plato, Cicero, Aristoteles dan tokoh lain, mendatangkan sakit
kepala di mana-mana, kesakitan jiwa muntah darah; soal badaniah, belahan sukma, kisaran planet, hitungan matematika,
rumusan fisika, gugusan metafisika; membentuk lingkaran sesak yang terurai kebijakan dari pucuk penalaran, keberanian sedari bara api amarah, pengendalian
diri oleh ketinggian syahwat. Tidakkah penemuan teramat edan
tetap bersilsilah, bukan sempalan terputus dikira pembaharu? Detik-detik merangkaki kesaksian, kesadaran merangsek
keberadaan. Kata Picasso; “Ada satu hal yang tak bisa saya
berhenti mencari, karena hal itu tak bisa saya temukan.”
“Kalian terus
saja mendesak! Baiklah, jika itu yang kalian inginkan,”
Perombakan besar-besaran tak sekadar
melancongnya kaki tapi ruh dari ruh
menggembarai tiap lipatan kabut tertembusi cahaya. Saya tidak kemana-mana, tetap menghitung partikel detik
mencermati perubahan tidak kalian rasa, tersebab percepatan keinginan. Dan waktu berjalan seperjalanan awan, mendung-hujan hanya tanda ada yang mengendap beralih dari letak
semula. Dengan hening pahami pergeseran;
saya sedang merasai permukaan menghisap tenaga sampai kesuntukan malam, walau
kalian telah tahu kemengslean dibiarkan. Saya tunjukkan betapa bangunan awalnya keropos, dipastikan ambruk menjadi pelajaran atas sia-sia.
Olehnya yang balik ke gagasan awal
bersimpan tuah berpatokan nasib terudar, seperti mantra buka permainan kata, tetapi kehendak terdalam bersimpan mana.
“Betapa kalian
seperti uap dan kabut yang mengepung diriku;”
Kalian mengamini para pendoa karena
jubahnya, sementara tidak paham muasal makna suaranya, hanya mengira kebaikan melihat pemanjat
bukit berpujian. Terus saja suara tanggung bergema mengisi lembah, padahal disaat bersamaan, dinding-dinding
bukit gemetaran oleh kekeliruan kalimat yang dikumandangkan. Serupa uap kabut sekali ditarik angin
mengikut, didorong bayu terhempas, tidak berpendirian pada sikap, segaris yang sudah disejajarkan. Yang mendaki sebatas akal dangkal, tidak bisa melompat terbang menuju kebenaran, maka tidak salah dikata sulapan, panggung
mengadaan yang
cepat buyar ditelah harum pagi kesadaran; pesta akan berakhir, kejahiliaan pantas dihakimi secara apapun demi menunjukkan laluan semestinya. Bagaimana bersikap manis
dengan kepalsuan? Sedang mereka kekalkan keblingeran? Patung-patung pancangan kegagalannya dihormati seperti pahlawan kesiangan? Di mana akal lurusnya? Mampukah berhadap cahaya dan bayangannya, kala senja merampungkan kesaksian terdalamnya?
“Dadaku
bergetar oleh kemudaan segar, merekah”
Maka tidak keliru ada yang mengikuti
laluan ini, terseok-seok napasnya sendiri, karena saya tidak bernapas bersama kalian, di tempat lain menahan napas lalu menganggap ringan, serupa betapa
mudahnya gugur sebelum waktunya. Kemurahan mengembang sedari yang tidak bisa diperkirakan, saya berdendang antara kepungan,
lantas menurunkan melodi pada hitungan kalian yang gegabah. Kala itu merekah
kuntum kembang saya kecup di
rawa-rawa kemakmuran bagi hewan-hewan, kalian
terselimuti kantuk memutus temali lembut, membuat tercengang
kemudian. Mereka melupa hari-hari kepastian, mengaburkan demi kekayaan semu
seuap-kabut tatkala cahaya surya belum garang melangkah.
Getaran dada ini kesempatan kalian menemui kemudaan segar kembali, tapi
dihantui waswas yang sebelumnya
meremehkan, dan dalam posisi nanggung selamanya. Begitulah
peremajaan berasal tuntunan terdalam, tiada pemampu mengelak kecuali berbijak tidak mengurangi-melebihkan timbangan bersuara keadilan, dan yang datang kemudian pahami maklumat kebenaran telah diselewengkan.
“Oleh hembusan
ajaib ketika kalian garang melangkah.”
Pidato-pidato kebudayaan, bola bekel memantul-mantul di lantai, kalian melupa betapa
tekanan
bisa menaikkan bola bekel lebih tinggi dari ketinggian
sebelumnya. Tatkala membentur muka mulai sadar nasib yang sebenarnya menimpa,
terus berakibat buruk terluput dari tangkapan berikutnya. Maka
dari kalianlah tentu dengan meluruskan jalur yang sudah, telah pahami yang tidak lekas menginsyafi bandulan takdir takaran seimbang; kalian gusar oleh keajaiban mengenai mata,
membiar sebola tidak lagi bergerak tidak bersuara, tiada didapat kecuali permainan membosankan lekas sirna. Di tempat lain para pendatang mengamati kemajuan sedari kebuntuan keadaan, kebisuan tidak
lagi berwibawah, dan saya tidak kurang dari itu, lantaran sepenuhnya mengikuti hukum yang ada. Mulanya saya mencintai keajaiban, kala kesaksian ditampakkan
berlipat-lipat terbuka lelembarannya, semua berajaib
meninggalkan kalian sejauh jarak tidak mampu terendus nafsu murahan.
***
“Kalian adalah gambaran hari-hari penuh kegembiraan,”
Pesta teknik awut-awutan dengan rujukan sekenanya demi melampaui hal yang secara hakiki ada, tarian nalar tanpa dilandasi kedalaman
ruhani, wacana sepintas mendempul kulit yang tidak meresapi daging tradisi yang tentunya mesti wujud. Menghalalkan segenap kemungkinan yang dipastikan mengalami kebangkrutan, sekilasan rumangsa cerdas atas
bumbu yang
dipaksa ke dalam racikan mengundang pertanyaan, yang
tidak menujahi keheningan diingini; kekeliruan ini terus dirayakan mereka yang silau akan harkat sebuah permainan; baca esainya Dami N. Toda di dalam
bukunya “Apakah Sastra?”, terbitan IndonesiaTera
2005, yang bertitel “SCB: Datu Teknik Perpuisian Indonesia
Modern (Studi Bentuk Diksi Puitik 'O, Amuk, Kapak', 1981)” lantas benturkan
tulisan saya dari awal sampai kini, terutama kutipan Dami dari SCB? Serta nama
Hamzah Fansuri di sana?!
“Dan
kenangan-kenangan manis yang membumbung tinggi;”
Untunglah saya pernah bersentuhan alam
puitik, sehingga tidak mudah terjebak nalar-nalar sulapan
seakan semua mendapati pembenaran atau lubang-lubang didempul penuh. Yang sebelumnya dianggap tidak mungkin, bagi kasus Sutardji
semuanya boleh, inilah mitos terbesar demi menjadikan ‘penyair besar,’ dan kebablasan fatal yang sudah saya
tunjukkan, bisa dipertimbangkan sebagai perhitungan layak! Seakan-akan kehendak Tuhan meloloskan paham ‘para kritikus’ lantas diamini sebagian kalangan
dengan girang, tapi tidak boleh ditiru atau jangan
sekali-kali, sebab ia pemegang kartu?
Andai
melalui pertimbangan lain, volumenya saya naikkan, seperti orang-orang
Qaramitah yang dipimpin Abu Tahir membantai kaum muslim yang sedang bertawaf ,
dimana lima tahun sebelumnya (312 H) melakukan hal yang sama (baca buku “The
Ka’bah,” karya Fathi Fawzi ‘Abd
al-Mu’thi, diterjemahkan R. Cecep Lukman Yasin, MA. , terbitan Zaman 2010). Pengecualian membumbung lalu terhempas ke pantai bagi
percontohan nalar tidak sanggup merambahi kandungan alam lain kecuali di lingkaran penalarannya, dan untuk sampai dihasrati mengabaikan perihal hakikat mantra, misalkan lepas makna
dengan kekhususan wagu! Atau
mimpi-mimpi kaum Qaramitah maupun bala tentara Abraham yang sia-sia saja menghancurkan
Ka’bah.
“Seperti kisah tua yang terdengar sayup”
Teks terjemahan Agam Wispi terbitan
Kalam, Oktober 1999, di larik kalimat ‘Persembahan’ Faust-nya Goethe ini saya maknai dua
pengertian. Pertama, Dami pelahan-lahan mengubur sebuah
tradisi luhur dengan pengistilahan ‘modern’ guna diterima khalayak, kalau SCB masihlah sejalur leluhur di Nusantara? Kedua; bayu pendorong melambungkan Sutardji kini
terdengar sayup, dari dulu juga mendatang, jika dipandu alibi istilahnya, lepas tanggungjawab
perangainya, meski bernalar rakitan. Untuk ke drajat yang diandaikan
takkan sampai, kecuali pada dataran teknik, pula pincang bagi langkah tidak abai,
mata jeli yang merujuk pada kesan-kesannya ke wilayah puitik. Inilah pertanyaan saya atas nalar membuka kemungkinan yang menutup khasana sebelumnya, atau pekerjaan rumah bagi
kisah tua tampak sulapan suntuk, seolah tiada pekerjaan kecuali memberi ruang
seluasnya bagi
watak ugal-ugalan!
“Datang bersama cinta pertama dan persahabatan guyub;”
Pesona awal keanehan, tepatnya wagu! Membuat mereka berbondong-bondong
menyimak dengan
penerimaan lugu, suara-suara itu terus dipatenkan meski telah paham mengsle dari
engselnya seolah ajaib. Seakan hawa baru sudah datang serta
pantas dirayakan, dengan mengambil bahan dari luaran,
lalu para pendatang nanggung ketakutan tidak diterima mereka, padahal terlalu banyak peroleh minyak pujian, pengawet dekat pengerdilan dirinya pun yang lain. Persahabatan guyub menutupi kebocoran atau biar dianggap ‘kehilafan manusiawi,’ dengan menaikkan pamor di ujung lainnya yang dipermak
akal racikan. Pandangan pertama membikin kecelik,
Kredo Puisi-nya deladapan disandingkan kajiannya, lantaran parasnya menggiurkan, dan tiada ingin mengecewakan jika boroknya terbongkar membikin malu tujuh turunan. Maka diteruskan sejarah menggelikan itu?
“Luka lama
menjelma baru, keluhan hidup kini berulang larut”
Kebuntuan lampau kian tampak, mata
rantai putus semakin terasa, dan sampai kini masih desas-desus. Alat yang tidak bisa dipakai seperti pengadaan semu menjemukan,
kecuali sekadar latihan. Pun tersebut dapat digeser lewat
pelajaran terbaik daripada sekadar permainan teknik lewat puitisasi bikinan
bagi orang-orang silap. Sehingga...
“Menempuh jalan
luput dalam lingkaran setan”
Sim Salabim, Jadi, lantas jadilah!,
Jadi maka jadilah!, anak turun pesulap David Copperfield; pemantra palsu
bersama para pencari tidak ketemu, berputar-putar di lingkaran, ngakak dalam suasana
larut, guyub segaris busa pantai dihempas gelombang kekuasaan laut. Tiada garam, atau nyeri tidak sampai persendian!
“Dan menamakan
yang baik, yang demi saat-saat indah dalam hidup,”
Disebutlah Raja Mantra, Presiden
Penyair Indonesia, atau apa saja yang elok-elok, ke-wagu-an terlihat ajaib itu nyata berasal dari kebiasaan kalau dirunut, misal Raja peminum sebab setiap hari kerap meminum, dan kekuatan dari kesadarannya seolah alami.
“Dikelabui
kebahagiaan, di depan mataku hilang lenyap.”
Kesenangan busa di pantai, sekiranya merasai sudah sanggup mengejar burung-burung
camar di udara. Lalu orang-orang pada garuk kepala
untuk mencari kutu loncat tidak terketahui, selain penasaran juga heran keberadaannya?
***
“Mereka tak mendengarkan tembang ini,”
Dikiranya
ini edan, sinting, cinta buta, serakah, marah atau kekerdilan lain dari
pendidikan rendah. Namun niat bagai pelor bersarang di tubuh, selalu bermekaran
ke dalam kesadaran baru, sekepak burung terbang melesat di udara tidak peduli
lemparan batu, apalagi senapan angin atas bidikan meringan. Ini mengupas sejauh
kemungkinan tertanda, toh tiada telinga kekhusyukan kecuali keheningan sama,
dan tiada perubahan nilai kecuali pergeseran mereka yang tengah duduk lama
kesemutan bersama hari-hari tuanya. Bagaimana mampu mendengar, menerima keadaan
dulu tidak mampu, apalagi menyusup jauh? Bagaimana bisa mendongak, melihat
kekayaan di kaki-kakinya masih dikira ada? Bagaimana tersadar, kala kilau cahaya
di depan atas tertutupi topinya?
“Jiwa-jiwa yang pertama kali kudendangkan;”
Awal
kesadaran, mula melesatkan niat dari kungkungan pelita, bersemburat isi
cakrawala tanpa waswas, dan keberanian satu-satunya jalan pada negeri penuh
tipuan. Laguan ini tiada getar keraguan tapi saksi terbesar mengudar sulapan,
pengandaian dari orang-orang tinggi ilmu tapi melupa kesejatian, meloloskan
kemungkinan di luar akal, maka tiada kepastian ilmu, sejenis kondisional
megalomania. Mereka yang terselimuti kabut kekaguman dari pewarna cepat putar
atau pemanis buatan, memesonakan para pemula dari penglihatan dini, sebelum
datangnya kesadaran hakiki terpancari pencarian sejati. Maka pijaklah kesadaran
pertama, amati seksama di tempat duduk semestinya, jangan cepat heran. Saya
percaya nalar saudara telah baligh yang
pantas dipertanggungjawabkan, kecuali ingin buat kelas-kelas pembodohan dengan
referensi meyakinkan oleh lihainya bertukar kata bertangkap gelap permainan.
Maka rawatlah jejiwa itu, lantas dendangkan berkesungguhan kepastian, bukan
sihir mengecewakan yang tidak layak mendiami penelitian!
“Mereka berserakan, berjejal-jejal dengan tenang”
Para
generasi yang mengenyam tipuan dengan lahap, kini berserakan pangling tidak
tahu alamat pulang. Mentalitas grubyak-grubyuk
mengikuti sebagian peneliti keblinger dengan pondasi konyol dekat kuburan.
Tiang-tiang pancang menjulang ambruk mengenai pengikut tanpa diberi jawaban,
serupa kontraktor bangunan kabur sebelum jatuh tempo yang diharapkan, ini lebih
gila mengkonstruksi nalar berakibat buruk lantas cuci tangan. Mereka hanya
berjejal-jejal tenang, sebab sudah tiada daya yang disuarakan, kecuali menambah
kekeliruannya, seakan menanti kematian. Busa lautan melimpah, keganjilan tidak
pantas dipertanyakan, tetapi terus menari-nari dengan gerakan ampas, atau muka
paling malu dilindas terjangan ombak menampar karang. Tidak lebih senasib buih
centang-perenang, seperti takdir awalnya menggali ketidakmungkinan,
menghalalkan segala menutupi kekurangajaran!
“Ah, suara parau! Berderum pada orang ramai yang asing itu,”
Mereka
meninggikan kemungkinan tidak mapan melalui jalur menghalalkan segala cara,
atau spekulan terlampau nafsu mengusung nilai-nilai impiannya. Yang diburaikan
kebingunan disaat menyepadankan soal, dikala menyederhanaan tidak berjejak
makna selain akal-akalan. Suara-suara parau meloloskan diri yang dianggap
jempolan, tetapi dalam kejadian sama menutupi rapat-rapat seperti kekhususan.
Maka sejatinya mereka cinta buta, dengan menganak-tirikan sebagian yang sama,
olehnya kegilaan mendapat ruangan, kran bagi dianggap pilihan yang otomatis njomplang, penelitian dekat kecurangan.
Ini hadirkan kesewenang-wenangan di tempat lain dengan gaya mengagumkan para
pemabuk darat terlempar dari akar tradisi. Tidak lebih tanaman plastik atau alibi
para petinggi ilmu tanpa lelaku, kepala tanpa batang tubuh, kaki-kaki tidak
berpijak membumi.
“Tepuk tangan mereka justru membuat kecut hatiku,”
Suara
keganjilan kian lama dipatenkan, umpama kekeliruan dianggap benar, atau
dibenarkan demi tegak bangunan? Dikala waktu terus berlalu, hukum alam berpadu,
tepuk tangan meramai lenyap ditelan angin lalu! Dan dengan sendirinya daya
fitroh dari dasar kalbu bening terangkat bak kembang teratai mengambang di
rawa-rawa. Kejelasan niscaya olah batin-raga mengembang bermekaran, secantik
pagi kesadaran, setelah lama kabut mitos menyelimuti pandangan. Itu masih jauh,
selama tulisan ini bereaksi dalam tapak hayati tiap diri, masih kecut selain
yang benar-benar mencecap getah akli serat hakiki.
“Dan selain itu, keriangan dalam laguku,”
Tiada
mampu pahami meski beragam penuturan, tetap saja yang menutup kalbu tidak temui
rindu, yang tidak mengeja satuan waktu tidak bakal mencerna rahayu, tak peroleh
pencerah lantaran pasrah terhadap kebuntuannya. Hanya melalui gelombang
tertinggi, mereka peroleh pengetahuan sedalam laut debarkan ombak ke
karang-karang angkuh, pun hanya di ujung angin yang menyentuh itu. Sedari
desakan nalar, himpitan soal memuntahkan kerinduan ke derajad kebertemuan, ini
sangat tipis terlalu sedikit. Tapi cukup bagi saksi, benteng-benteng pertahanan
sudah terlampaui decak angin pembawa air bergaram. Yang lain tinggal
meneruskan. Sayang, lebih banyak yang sempoyongan...
“Kalaupun masih hidup, telah sesat dan terserak di atas
dunia.”
Demikian
perangai coretan mereka, pembikin kisah penelitian nanggung dihempas bayu
sejarah! Ketersesatan dipatenkan di beberapa tempat mendapati kubur kesunyian,
tiada bisa dibangkitkan selain mengulangi kekeliruan. Semakin merajalela saat
ada suara membetulkan kesalahan, sejauh-jauhnya atas dunia yang menyesatkan!
Terus terhempas badai lupa, berputar di lingkaran sama, tiada pergeseran selain
yang menggesekkan diri mengecil, atau melebar pada peneliti lain, sejenis
keluar dari kebiasaan buruk memitoskan kejahiliaan demi peroleh jarak
kebenaran. Uraian ini seimbang air laut kesadarannya, yang melengkung laksana
warna pelangi membalut ubun-ubun sungai, atau putaran bumi di porosnya
digantungan surya. Semisal nalar pada kalbu, cahaya kepada yang dirindu.
***
“Dan aku dicengkam rindu yang telah lama beku”
Hawa
asing itu desau dari balik kesunyian, warna guratan takdir sedorongan bayu
kekinian. Ada yang hilang entah melayang, siapa sangka nyawa bersarung badan
oleh lamanya rentangan masa, dan jarak kepastian detik-detik terukur kesadaran.
Kebekuan merambah bak batu cadas dielus sungai pagi hari tanpa sapa, selain
mata takjub perkirakan waktu kemungkinan ke relung terdalam. Yang engkau elus
bakal nyata kemudian, pikiran kedewasaan di selubung penantian. Makin tinggi menjauh
kian tidak dapat diperkirakan, entah dekapan atau lenyap ditelan kelupaan?
Barangkali batu-batu harus dilewati, batang kayu setongkat kembara, hawa dingin
ini menyenangkan sepeleburan yang pernah ditinggalkan. Di puncak tanpa arah
kiblat, bukan dibingungkan ufuk, tapi pusaran angin meninggikan kejadian,
selesat detakan kerinduan, pilu menyayat tenggorokan, memanggang syaraf, atau
sebatu salju dalam genggaman. Inikah yang kau rasakan?
“Pada keterangan itu, kerajaan ruh yang sesungguhnya,”
Debaran
kangen kayungyung memberat melahirkan
bebutiran keringat, panjangnya nafas menembus batas kesaksian, mengudar soal
kian tidak terjawab. Bukan kebuntuan tapi penantian selalu datang, ibarat mempersiapkan
para tamu; segala pernik ditebar, semua kedip pandang dilesatkan, yang berdegup
itu kepastian. Keyakinan menancapi para pemilik jantung, ruh gentayangan di
persendian memberi hujaman hakiki, ketika tunduk ruang-waktu kekhusyukan,
merambahi jiwa menghisap partikel aura. Pada derajat ditaksirkan, mata-mata
membelalak, telinga-telinga tertembus cahaya, jaring laba-laba memesona mata
dan telinga oleh kidung bijaksana. Hanya pada keadaan tertentu mampu perkirakan,
kuasa menyedot kemungkinan, rahmat sebelumnya dipatenkan, asalnya niatan tidak
berkesudahan, dan…
“Dalam nada tak menentu, kini
melayang-layang”
Naik-turun
dihempas suara gaib hari-hari kelahiran-kematian, waktu tidak tertangkap,
kosong berjubel angin padat seair laut menumbuk hamparan pasir pantai rekat di
kaki-kaki terlena. Bocah-bocah bermain riang, para pemuda di awan impian, tetua
mengelu-elukan masa lampaunya sepatung-patung menantang di perempatan kota.
Padahal bebijian garam keroposkan bebatuan, rumpilkan bangunan tanpa teriakan;
waktu terus menunggu, rindu menggebu selalu berpacu, kuda-kuda dibimbing
pelana, yang terlepas mengumbar semua; sama bakal musnah. Tapi pemberi tongkat
menampilkan tarian sambung hentakan mendera, dan pada perkumpulan tertentu tidak
dapat dilewatkan, yang ditarik melesat menuju tumpuan. Duduklah sejenak, akan
bakal temui hari-hari dibangkitkan pun ditenggelamkan kapal keangkuhan,
kerendahhatian; sama saja kecuali keikhlasan.
“Bagai harpa eolia laguku berkumandang,”
Ketulusan
bayu meniup kecapi kuno di alam bebas, bebisikan dedaun bambu gemerisik
mengangkat bulu pula idep matamu. Aku
hendak menyantuni air bening tangismu, jika kau restui satu-dua waktumu berpadu
di dalam guyub pekabutan rindu. Tiada mampu mengelak kala detik takdir
terpastikan, telah diikrarkan sewaktu dalam kandungan lama, alam halus
selantunan ke telinga merela, terangkat pelahan bak gerbong kereta melintasi
pelangi di cakrawala. Wewarnanya menjadi rel pembatas, awan menggumpal di linggiran hati setarikan lingsir wengi dihadiahi senandung
jangkrik belalang, kunang-kunang meninggi sepucuk gemintang. Adakah pelangi di
matamu malam ini? Kecuali kau melagukan senandung merdu ibarat menelan ludah
demi melubangi telinga buntu kala menaiki pebukitan. Yang di sana terdiam
telaga, tempat mereka melepaskan pandang sedalam tarikan kelahiran. Sesudah itu
tinggallah memilih di antara kekinian dan waktu silam, terangkat ataukah
tenggelam...
***
V
Sedurung mengurai
barisan ketiga urutan terakhir ‘Persembahan’ Goethe, saya akan bercerita
terjadinya teks ini, yang menelan waktu hampir tiga bulan lebih. Yakni bepergian
ke beberapa kota; Magelang, Tuban, Kediri, Jombang, Ponorogo, serta cobaan
mederai jiwa ini yang mempengaruhi orang-orang terdekat.
Awalnya
ingin mengetahui sejauh mana rahasia di balik dedahan (kupasan) saya mengenai
“Kun Fayakun,” yang secara keterangan mengandung kebenaran di saat menghardik
kesalahan fatal. Namun karena kehidupan tidak sebatas permukaan, maka saya cari
hakikatnya? Mulanya asyik mencecapi madu risalahnya akal al-Kindi, dan tersebab
penasaran bolak-baliknya hati, perputaran masa perpindahan siang-malam,
bulan-gemintang dedaun berguguran. Maka saya memantabkan diri ke Watucongol,
naik-turun Gunung Pring, dan nyata niatan itu menenangkan pribadi pun di batas
tertentu senada kalimat “lâ hawla wa lâ
quwwata illâ bi Allâh.”
***
Di
kala merasai puncak ketentraman, tidak berselang lama terjegal sandungan, di
sini paras ketampanan sukma, kecantikan jiwa, kemantapan kalbu memperoleh
tantangan tidak ringan untuk mengetahui sejauh mana ketenangan yang sudah
terasai? Atau sebagian doa saya terkabul, lainnya ditahap pengujian. Yang
terjawab menyaksikan betapa hijab disebalik teks benar-benar berbicara; mungkin
ada wujud kemarahan di buku ini, sejenis kekesalan Musa terhadap Khidir. Dan
berlanjut, olehnya bukan pandangan semacam Nabi Musa seluruh, namun hakikat
semestinya itu yang terdamba.
Saya
ditantang beberapa soal yang mengharuskan menelan pil pahit kesabaran, hampir
linglung berkali-kali memasuki beberapa kota, dan kebetulan membuat makalah
antologi sastra pesantren yang bertitel “Jadzab.” Menulis kini pun di Jombang
tepatnya di kediaman Sabrank Suparno, rasanya ini menyetujui lontang-lantung
membawai jiwa tidak sumringah.
Bermuka kusam, saya menghadap para guru demi memecahkan batu masalah di sebalik
teks; ketenangan dalam pencarian menemui kenyataannya buah maja. Semoga tidak
amburadul, lalu melangkah lebih mantab selanjutnya.
Di
bebagian lalu saya bercerita bertemu manusia yang secara balutan fisik serupa
‘orang gila,’ dalam keadaan teramat ganjil bulan ini seolah diharuskan menempuh
jalannya bolak-balik setiap hari tiga kali, padahal dulu paling banter seminggu sekali saat di Lamongan.
Sebagaimana dirinya saya tidak mengenal siang-malam, terik mentari panas
menyengat hujan mengguyuri badan, serta jalanan kian rusak aspalnya, padahal
laluannya salah satu denyut jantung pemerintah daerah, penghasil bandang, udang
dan lainnya.
Pada
gelombang tertentu ia senasib saya atau diri ini tengah diseret pusarannya,
menyetiai jalan yang selalu dipijaknya tanpa alas kaki. Dulu sebelum tersingkap
wewarna tabir hayati, saya membaca sambil lalu, kini menjadi keharusan untuk dimaknai.
Mungkin, jika hati ini dari dulu tidak tersentuh langkahnya, akan terlepas
ikatan nasib yang sudah terbangun. Meski belum menyalami, pandangan serta
senyumannya akrab menujah batin ini; ada kehawatiran kalau terlalu dekat, dan
saya tidak ingin merusaknya. Kadang saya ibaratkan ia timbangan pengukur kadar
ikhtiar naik-turunnya kesemangatan diri dalam menggali, menyusupi pernak-pernik
kehidupan, dan buku ini tidak lepas dari pantulan besar wibawanya.
Bagian
ini bagi pembaca berwatak ndelujur lurus-lurus
saja tanpa mengolah baik penyimakan, bisa menemui jalanan buntu. Maka beralihlah
melihat reruangan lebah madu yang setiap ruang menyimpan manis, cecaplah
keseluruhannya dengan tidak direpoti bebentuk pemisahnya. Dapat pula memaknai
ini terpisah sebelum-sesudahnya, pun lantaran watak prosaisnya menempeli
dinding-dinding Persembahan Goethe, seruhaniah kerja ke dalam kupasan lanjut.
Atau saya mengolah hakikat terdalam, sebelum menghampar luas ke muka
penelitian; sedari dataran halus ombak terlembut, terangkat tanpa terasa
mengungguli bebatuan, lalu air samudra menyetubuhi keseluruhan pantai
pengertian tanpa terpaksa.
***
“Gemetar mencengkamku, airmata berlinangan,”
Kala
ikatan-ikatan melonggar dingin tidak karuan atau inikah penyempitan perasaan?
Menjelma bebatuan kerikil menyongkel mata demi mengetahui seberapa tangisan;
haru, sedih, kangen, helahan nafas tidak kunjung berhenti isakan, sedu-sedan,
gunda gulana, muram tanpa sapa, sesenggukan terputus. Ada yang pedih, perih
menikam, lalu mencapai kekeringan tertentu, disergap hawa paling lalai, ataukah
kini letak beberapa kepastian?
Banjir
tiba-tiba, longsor menggulingkan bebatuan besar menghalangi jalan, lengkingan
berpadu di angkasa, menderum memukul istana. Awan tetumpukan menanti panggilan
puting beliung, desakan topan, musik tersebut berdentaman menggali pepunjer
kepastian. Pada kurun tidak sanggup membaca; bagaimana menyimak tangis di dalam
kesedihan? Bingung terhadap kesaksian menyayat?
Semua
dilayarkan, diuntahkan bersamaan air mata menjernihkan pandangan, decak pangling perubahan. Kaki-kaki penopang
diseret kepincangan, ini tanda atau isyarat, diteruskan atau berhenti sejenak,
ataukah masih membaca kota-kota sambil memaknai kejauhan? Betapa menyodok dada bergetar
meriap, waswas di lingkaran, yang mudah teramat sulit memeluknya; gemetaran ini
pantas, seperkiraan salah arah yang harus diluruskan. Dan hawa mencekam tanpa
pekabaran, semisal menanti tidak berharap balasan; apakah ini dirundung
kesepian abadi?
***
Untuk
mengurai dua baris akhir ‘Persembahan’ Goethe, saya melompat meliar menggunakan
musik instrumental simfoni V Beethoven, yang juga pernah dimainkan kelompok
musik Metallica. Di sana membaca bagi pergeseran ‘risalah akal’ al-Kindi (dari
Aristoteles sedari gurunya Plato), menuju kepahaman Majid Fakhry. Sebelumnya akan
menuangkan lima puisi saya, yang bersimpan simfoni Beethoven tersebut demi
pengantar tahapan.
SIMPHONI
I
Pada
suatu penalaran halus;
angin
merambati daun-daun
menyetubuhi
ribuan cahaya
memunculkan
buliran warna
memantulkan
pandangan mata.
Belum
juga dipatrikan kehendak
ke
mana tapak-tapak langkah,
kaki-kaki
gamang lewati bebatuan
niscaya
dari kesadaran belia.
Diingatnya
pengalaman di muka;
pijakan
pribadi dalam keberadaan
menghasrati
yang belum tergugah.
Rentangkan
layar setinggi-tingginya
berharap
bayu sahabat menghantar
badan
jiwa arungi decak samudra.
Anganan
masa depan digayuh
tali-temali
erat dikencangkan
mata
dipertajam menduga,
kalau-kalau
badai di depan.
Sambil
membenahi laluan hati
kadang
liyukan bayang sekilas
menyuguhkan
senyuman kekal.
Ketika
angin datang berbondong
tersibak
ombak demi gelombang
bercanda
burung-burung pantai
yang
senantiasa setia menggoda.
Goyangan
kapal segarkan batin
sejak
merasai diruapi kemuliaan
meski
belum disimaknya dalam.
Seribuan
kecupan angin jauh
dimatangkan
persembahan.
Cahaya
terang berdendang
ikan-ikan
putih berlompatan
menyambut
keriuh-rendahan.
Sejiwa
santun pelajar hayati
diperasnya
renung hati-hati
tak
buyar makna keyakinan.
SIMPHONI
II
Hawa
kesedihan berkumandang
bayang-bayang
kasih tertampik
diasinkan
bayu kencang lautan.
Pedih
kalbunya
berbeban
rindu.
Mata
hanya mampu berkaca
:
membeku garam kenangan.
Terus
dilayarkan
keterenyuhan
diri.
Pantai
mulai jauh
sedari
pandangan.
Pulau
dulu didamba
telah
lenyap sudah
digulung
gelombang.
SIMPHONI
III
Dengan
daya pelahan-lahan
dibangkitkan
sisa tenaganya
menghayati
makna kecewa.
Lengking
kedalaman jiwa
setinggi
ombak diterima
sehempasan
membadai.
Hadirlah
keberanian diri
betapa
tiada tidak mungkin
dilayarkan
segenap hati
berbinar-binar
mata cerah.
Dipandangnya
awan dekat
sebumi-langit
bersetubuh
dicanangkan
harapan jauh.
Sebintang-bintang
angkasa
biar
angin menyapu rambut
lebih
akrab dari sebelumnya.
Sesekali
kenangan berlalu
dianggapnya
bayu lumrah.
Pikirannya
menggunung
naluri
jernih menggapai
pekabutan
mengandung.
Nuraninya
memotong
laluan
menghadang,
ombak
ditaklukkan.
Waswas
dipendam
kepedihan
dilempar
dihanyutkan
pebekalan.
Makin
intim percaya
musik
bathin pribadi
pergumulan
alam diri.
Dan
suara-suara agung
ke
derajat kemakmuran.
SIMPHONI
IV
Berani
datangkan rindu
tertiup
asal gemawan.
Lama
lara digubahnya
menjelma
kidungan terbang.
Menggerus
batu-batu
bebulir
mudah dimamah.
Penerimaan
bertabah,
harmoni
memikat telinga.
Angan
membentang
sederajad
kefahaman.
Mematang
butiran mata
bermuara
kedamaian.
Dirawat
ragu tersisa
meniliki
kedalaman.
Meski
dengung pedih
dilarung
penyadaran.
Pengulangan
merapat
sepadat
cahya terfokus.
Panjangnya
setarik nafas
diperoleh
kaidah sayang.
Telusuri
bayu menyapa
sebisik
kalbu menggoda.
Lamunan
tegak niscaya
mengecup
pucuk kembara.
Sekali
tengok belakang
betapa
jauh sang surya.
SIMPHONI
V
Inilah
saat-saat terkikis
tiba-tiba
bayu menepis
meliuki
selat air tangis.
Taupan
menerjang
tinggikan
gelombang
rindu
maut bersimpan.
Layar
elok menampung
tali-temali
mengencang
porak
porandakan siasat.
Di
semenanjung jauh
terlihat
pulau gersang
tak
tampak tumbuhan.
Hanya
batu-batu pun
dihuni
karang curam.
Sebelahnya
terpampang
bayu
padang berpusaran.
Kerangka-kerangka
kapal
menjadi
tanda peringatan.
Sedangkan
laju ditumpangi
masih
berperang melawan.
Dinding
digergaji asin lautan
ombak
runcing dihempaskan
diombang-ambing
cela sempit.
Hasrat
membentang bertemu
nyali
hati diperas kemegahan.
Keringat
kegetiran bercucuran
hawa
panas membakar kulit,
dingin
angin menusuk tulang.
Perubahan
diikuti irama
tekad
mencapai menang.
Telinga
penuh suara lekat
digedor
terus mencekam.
Awan
segagak raksasa
mencaplok
nasib hitam.
Tinggal
harapan menipis
dipanjatkan
puja-pujian
imbangi
ribuan pasukan.
Menerjang
penaklukan akhir
hidup
mati, maut dan nafas
:
antara lolos terjerembab.
***
VI
Mozart
dan Beethoven selalu disebut beriringan di atas perbedaan serta kebesaran jiwa
kesenimanan mereka. Kini saya melangkah mengikuti kebutuhan bagian ini, atas
sketsa kritikus musik J. Van Ackere dalam bukunya “Eeuwige Muziek,”
diterjemahkan N. V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie, dialih bahasakan
ke Indonesia oleh J. A. Dungga, terbitan Gunung Agung Djakarta, tahun
keluarannya lenyap tidak tertanda.
Mozart
menulis simfoni di Paris yang diterima publik dengan sangat meriah, ia
mengalami kegirangan luar biasa. Berbeda dengan Beethoven yang baru
menyelesaikan simfoninya ketiga, dipersembahkan kepada Napolion Bonaparte.
Orang-orang datang mengabarkannya, bahwa pendekar perang itu telah mengangkat
dirinya menjadi kaisar. “Ah, hanya manusia biasa,” keluh Beethoven, dan penuh
amarah merobek ciptaannya tersebut.
Ackere
dengan lantang menyebut; “Semua simfoni
Beethoven seperti drama-drama Shakespeare dan lukisan-lukisan Michelangelo
adalah kerja cipta yang besar dari seniman-manusia. Kesembilan simfoninya
merupakan gang bertiang tembok yang dahsyat nampaknya disembur oleh suatu
peristiwa sejarah yang besar. Kalau kita mempelajarinya kita sekaligus mengenal
seorang manusia, suatu seni, suatu zaman.”
…Dan
simfoni kelima ialah puncak drama dalam musik instrumental, “Begitulah nasib
buruk mengetuk pintu,” :kata Beethoven, senada baris kedua akhir Persembahan
Goethe “Hati yang teguh jadi nampak jauh,”
***
Sebelum
menghangatkan dua larik kalimat Beethoven dan Goethe di atas, saya teringat
kisah pemuda tampan bernama Iderkala, yang memesonakan mata sang raja dari
kerajaan Lodaya, Prabu Singobarong. Iderkala juga sakti mandra guna, pemilik
mantra pemikat burung merak bersimpan mana
yang bertengger di bahu kanannya. Ider
dan Kala begitu namanya jika dieja,
jika diterjemah ke bahasa Indonesia berarti ‘Putaran Waktu,’ pun bagian ini
laksana perputaran masa. Lebih jauh bebagian lain tidak lebih memutari tafsir
sedari beberapa paragraf Ignas Kleden,
senada berbolak-baliknya saya melewati jalanan ditempuh orang yang selayaknya
‘gila,’ yang selalu mengiringi lelangkah tulisan ini.
Dalam
irama hampir sama, simfoni Beethoven I - V seuraian mendebarkan, lakon yang
dituliskan Sanoesi Pane (1905 - 1968) dalam lima babak yang bertitel “Sandhyakala ning Majapahit,” yang
pernah dimuat di majalah Timboel tahun VII, nomor 1/2, 3/4 dan 5/6, tahun 1932,
kemudian diterbitkan Pustaka Jaya, Yayasan Jaya Raya, 1971. Sanoesi di puncak
tertentu seakan menyebutkan, ‘hadirnya seorang kesatria dapat menentramkan
sebuah kerajaan besar, dan kematiannya bisa meruntuhkan wibawa suatu bangsa.’
Yakni Damar Wulan bersama kekasihnya Anjasmara, atas cinta keduanya memukul
mundur pasukan, menghabisi Menak Jinggo di medan laga.
Lantaran
bersebab keserakahan kaum bangsawan, para cerdik pandai menumpuk harta
kekayaan, Damar Wulan mendapatkan fitna oleh kelapangan pekertinya me-wedar-kan perihal alam para dewata yang
bersumber dari jiwa kesatria pula kepanditaanya. Atau bersamaan itu kekuatan
Islam sedari Demak Bintoro kian mengancam setelah bertahun-tahun menguntit
perkembaangan Kerajaan Majapahit. “Begitulah
nasib buruk mengetuk pintu,” Beethoven kecewa kepada kesatriaannya Napoleon
Bonaparte, dan Sunan Giri yang murung berkata; “Sayang sunggung Damar Wulan tidak masuk pihak kita,” ungkap
Sanoesi Pane. “Hati yang teguh jadi
nampak jauh.” ; apa yang manusia perkirakan serta dipikirkan, tidaklah sama
terjadi nanti. Kesungguhan itu menelan waktu teramat jauh, pergeserkan simfoni
5 Beethoven yang digarap kelompok musik Metallica, pula pergeserak al-Kindi
menuju Majid Fakhry mengenai akal.
***
“Dan apa yang hilang, bagiku jadi nyata”
(larikan
akhir dalam kata persembahan Faust karya Geothe).
Jikalau
pembaca tidak merasai tetumpukan permasalahan juga beberapan pokok yang terunggah
bagi pendamping gugusan gairah penelusuran ini, saya anggap wajar, sebab
berkata jujur membedakan ‘kata benda’ dan ‘kata kerja’ pun tidak sanggup di
atas kasus “Kun Fayakun” pada SCB. ‘Ya, yang hilang begitu nyata,’ pembelokan,
pembodohan atas nama Tuhan serupa para pandita di masa-masa senjakalanya
Majapahit. Harta dan pangkat menjadikannya tertutup mata hati-pikirannya.
Tertegun diam seribu bahasa, mengelus dada perasaan tidak percaya, ternyata
nasib buruk mengetuk pintu batinnya.
***
Pada
simfoni 5 Ackere memberikan ikhtisar; “Beethoven
kini menguasai seluruh bahannya. Ia telah mencapai tingkat keahlian, sama
dengan Michelangelo ketika mengatakan bahwa pualam buatannya bergetar di hadapannya.”
“…Dan Bekker dengan sangat tepat
menguraikan arti psikologinya, dan menamakan keempat bagiannya sebagai wujud;
Pergulatan, Harapan, Keraguan dan Kemenangan.” Ini serupa kepurnaan
berbeda, jika ‘akal’ memiliki jiwa musik, atas empat bagian yang diterangkan
al-Kindi yang sudah teringkas di bagian XIX.
***
Kini
saya menggayuh berpikiran jiwa musik klasik Beethoven, sebelum menuju musik
keras Metallica yang saya alamatkan pada keberangkatan kepahaman Fakhry. Yang
di gegaris singgung tertentu sejenis tiga pamor pengertian “Surodiro Joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti” di muka, dan serupa
‘Persembahan’ Goethe.
Akal
aktual abadi dalam jiwa musik ialah penggerak halus, tiupan santun tidak
terlihat mendorong ke bentuk aktual abadi dalam penerimaan pendengar. Seperti
mengambili debu-debu dari perut keabadian, perkiraan terlepas sedari
ruang-waktu yang padanya meruang diri mewaktu pribadi. Atau pergumulan yang
direstui oleh persenggamaannya ke dunia membuai benih-benih. Suara-suara
tersimpan di dada ditiup dari jarak terjauh, dalam kebanjiran tertentu naik ke
pusaran otak memproduksi wewarna musik. Atau tarikan benang laba-laba yang menari-nari
tertiup angin, dalam keheningan yang bernada di alam antara serta terhidupi
olehnya, nafas-nafas teratur dalam panggalian suatu hakikat musik.
Dan
akal potensial jiwa dalam musik; menyatukan segenap perasaan atau kekayaan
pohon hidup di dataran subur meninggikan batang yang cabangnya terus tambah
berkembang menjalari hati insan. Ini kerap menimbulkan pangling atas bacaan sama yang selalu menemui pemahaman kian
membiak, tepatnya kejayaan di dalam ketentraman rasa. Sebab dikala gusar akan
mengalami penyempitan, kemiskinan, kebangkrutan, ini berlawanan dinaya yang dilibatkan
potensi. Namun sifat akal senantiasa bertambah, maka perhitungan sedari
penjajalan, perenungan diulang, kebingungan ditarik kesana-kemari, mendapati
potensi semisal jiwa haus merindu. Ini pula pemampu menafsirkan jenis-jenis
tawa, tangisan, kedipan, dalam uraiannya mencapai kausalitas berdaya guna,
sesosok Damar Wulan, atau Achilles yang direstui ibundanya ke medan perang.
Sedang
akal dalam jiwa beralih dari potensial ke aktual, ialah perang tandingnya Damar
Wulan dan Menak Jingga, Achilles dan Hector. Yang sebelumnya telah membaca
bagaimana pasukan Wirabumi mencapai kemenangan di Lumajang, sempat menghabisi
nyawa Adipati Tuban, dan tanpa mendapati perlawanan sama sekali di
Perabalingga. Di sini Damar Wulan mencermati wibawa masih melekati bencah tanah
Kerajaan Majapahit meski pamornya memudar, disaat baliknya utusan Menak Jingga
ke bumi taklukannya yang paling ujung. Atas taktik cepat Senopati Damar Wulan
bersama bala tentara menyusupi belantara malam, membius para telik sandi,
menciduk mata-mata, bergerak bagaikan hantu angin malam ke perbatasan
Perabalingga, kala Menak Jingga menikmati jalan-jalan taklukannya. Seperti
Achilles menantang Hector berperang tanding di luar gerbang kerajaan, yang
sebelumnya mencium sedap maut kala berpapasan di kuil para dewa, awal kali
Achilles sampai di pantai musuh. Atau Iderkala sudah merasai betapa Raja
Singobarong kepincut burung meraknya.
Musik ini membuai tetumpukannya potensi pengalaman menjelma bentuk actual di
kemudian; tragedi, drama menggegerkan, sejarah takkan terhapus oleh ribuan
turunan.
Sedang
akal sekunder dalam musik ialah penyesuaian harmoni hukum alam, nada bergerak
dinamis, menyimak cermat menutupi lubang penalaran lama lewat keyakinan adanya
sela-sela rahmat, yakni hadirnya mata air dari bebatuan juga di padang gersang.
Serupa hentakan kaki-kaki bayi Ismail yang menangis tidak henti memekatkan
telinga para malaikat, dan kepercayaan kepada firman-Nya yang ditanggung Nabi
Ibrahim kala memutus-meninggalkan anak beserta istrinya di dekat rumah Tuhan
demi mendirikan sholat, di sisi timpaan nasib keputusasaan yang kian kemarin
berlari antara bukit Sofa dan Marwa.
Atau
saat bumi Majapahit dilanda kegersangan iman, para pandita mementingkan sembah
sungkem kekayaan, para kesatrianya menjelma perampok, para abdi kerajaan menjadi
linta darat, tidak pelak membuai buah maja atau pahit fitnah terhadap Damar
Wulan, hingga dihabisi nyawanya dalam kerajaan yang pernah dibelanya. Seperti seruan
keselamatan ajaran Islam mulai bertiup menawan bak angin pegunungan tropis bagi
yang haus dahaga, sebinar kekuatan Demak Bintoro menjelma penglipur lara bagi
rakyat jelata yang diperas keringatnya oleh para penguasa Majapahit.
***
Dan
kini saya menapaki gapaian model ‘akal’ Majid Fakhry dari al-Kindi, ditemani
simfoni V Beethoven yang dimainkan Metallica: Akhirnya waktu memasukkan saya ke
dalam bulan Rajab, salah satu bulan yang ditandai beberapa hadits Nabi SAW.
Sambil melihat potret patung Apollo; sang dewa musik, cahaya, pemanah,
pengobatan, matahari, pun dewa penyair pada mitologi Yunani serta Romawi Kuno
atas karya Michelangelo. Saya kian bergetar oleh ciptaan agung pula
bertanggungjawab; getaran kesaksiannya menancapi keyakinan, segenggam takdir
besar telah menentukan dari kesungguhan pencarian, penelusurian setiap lekukan
masa, merasai lika-liku hayati laksana laku
harus dilakoni berketabahan tinggi demi hasil-hasil maksimal.
Di
ini hari, ia yang berbalutan fisik ‘seperti orang gila’ yang saya ceritakan,
memberi isyarat melalui ucapan. Itu sebelumnya tidak pernah terjadi, meski saya
kerap berpapasan pada jalannya melalui masa beberapa tahun sudah. Getarannya
pun merambah menjalari persendian, serasa komplit getaran besar menghadapi saya
di bulan Rajab tahun ini, bagi penolong haus dahaga merindu. Atau yang menapaki
pebukitan terjal dimaui alam semesta, seperti ungkapan Schumann, “Alangkah baiknya, seandai engkau bisa
melihat ke dalam jiwaku, yang telah menjadi tenang dan kuat oleh udara hidup
baru.”
***
Saya
kutip kata-kata pendahuluan di bukunya Ackere: “Kita mencoba mengetahui perasaan seseorang melalui gerak, pandangan
maupun sikapnya. Begitu juga kita mencoba mengenal jiwa seorang seniman melalui
liku suatu melodi, warna sebuah akkord, tegangannya sebuah irama; kita hendak
mengenalnya dengan melalui musiknya. Memang jarang sekali musik itu hanya bunyi
semata-mata. Acapkali ia merupakan pengakuan manusia, sejarah kemanusiaan.
Acapkali ia menceritakan suka dan duka manusia, semangatnya dan kebutuhan hidupnya.
Tapi bagaimana wujudnya bunyi, penggambaran, perasaan, prinsipnya yang tinggi
adalah Keindahan.”
Perpindahan
dari musik klasik ke musik cadas simfoni V Beethoven, sepintas ada penghapusan
lewat penyempitan tempo, entah hilang atau memadati bentuk hasratnya tertinggi.
Tapi saya mendapatkan wewaktu hilang terhadirkan di tempat-tempat lain dengan
kebaharuan muka, kesegaran rasa. Serupa tumpukan warna cat memberi efek letak
lain yang sebelumnya durung terjamah
di kanvas putih, sejenis kematangan berbeda dengan bobotnya pula. Elusan lembut
dijelma hentakan, lalu sebagai teriakan, suara lirik menjadi lengkingan lantas menjadi
sayatan pedih dengan jarak cukup ringkas ke bentuk serupa. Umpama patung Apollo
karyanya Michelangelo diperkecil, dalam batas tertentu kesamaannya tetap tampak
berwibawa.
Demikian
Fakhry menggeser pandangan al-Kindi (dari Aristoteles sedari gurunya Plato)
yakni membagi akal menjadi empat: 1. akal aktual abadi, 2. akal potensial jiwa,
3. akal dalam jiwa beralih dari potensial ke aktual, 4. akal sekunder. Menjelma
empat bagian intelek, pertama, intelek yang selalu dalam aksi; kedua, intelek
yang masih potensial; ketiga, intelek yang telah melewati keadaan potensialnya
menuju keadaan aktualnya, atau intelek capaian (acqurid intellect atau ‘aql
mustafas); keempat, intelek manifes yang berfungsi mengabstrasikan
bentuk-bentuk universal dari segenap benda materiil.
***
Soal
al-Kindi baca bagian sebelumnya, menyoal Fakhry mungkin bisa disandingkan
kupasan saya di sana. Intelek yang selalu dalam aksi pada jiwa musik cadas
ialah akal aktual abadi atau gerak yang menghasilkan pengakuan, pergerakan aksi
atas gairah terdalam kesaksian, saksi yang dipersaksikan dan tersaksikan,
hujaman benar realis, setelah melawatkan sayap-sayap kepakan. Aksi untuk telinga
mendengar, mata memandang atau kepedulian tersebut dari kesamaan jauh sepadan.
Ada rangsangan tidak berkesudahan, gelombang berkejaran memukul tanjung-tanjung
karang, sang surya selalu terbit setiap pagi tenggelam kala petang. Melodi alam
atau hukum kausalitas membenarkan jiwa bereaksi menentukan takdir lain, serupa
pergeseran tempat duduk meski sedikit.
Intelek
potensial dalam jiwa musik Metallica seperti memendekkan luas nada ditarik demi
menambah ketinggian, wewarna simfoni V telah dikuasai, sehingga dengan kadar
emosionalitasnya sampai yang dikehendaki. Ini menambah unsur cahaya dari kerja
mengamplas berkehati-hatian tinggi, serupa merepro sebuah lukisan, lalu
mengganti bentuk-warna pigura lebih segar. Kesannya sengaja memaksa panca indra
menyimak balutan klasik berketegangan lebih, sedikitnya menghapus daya rayu
atas penampakan memukau yang mau tidak mau terayu kesadaran bertumpuk. Sepadat
percepatan batin adanya pesona yang ditingkatkan kadarnya, atau hukum sudah
terang itu diperjelas guna menemukan efek lain di alam kesadaran. Pada
puncaknya dinaya jiwa kecerdasan tidak sekadar melengkingkan hasrat juga
menujah ke ceruk terdalam, seperti pukulan bertubi-tubi bersimpan napas dalam.
Atau pertarungan akan terjadi telah dihitung dalam kemawasan diri, sehingga
setiap gerak di depannya memunculkan rekaman bawah sadar, tepat pada sasaran
takdir yang sebelumnya berupa bayangan indra terakhir seorang samurai misalnya.
Sedang
intelek yang melewati potensialnya menuju keadaan aktual atau intelek capaian
pada jiwa musik, sejenis burung sudah terbang dan mengapung di ketinggian,
dirinya telah merasai hafalan betapa nikmat gaya gravitasi ingatan, kesadaran,
kenangan dan firasat yang dimainkan. Seperti melewati gelombang halus jalur
keseimbangan di antara berlebih-lebihan dan kekikiran, sepenelusuran teliti Dr.
Yusuf Al-Qardlawy dalam kitabnya “Fiqh Al-Ghina wa al Musiqy fi Dhau’i
Al-Qur’an wa As-Sunnah,” yang mengupas jauh kebutuhan lahir-batin insan di dalam
gerak hidup berperadaban. Terus menanjak meningkatkan kualitas seni, agar tidak
terperosok ke jurang kelalaian, pun terlepas dari kekakuan watak menuju
perangai kekerasan pada yang bisa dilunakkan sebagai perhiasan atau kenikmatan
indera yang bertetap mawas kesadaran. Inilah musik mencapai bahasa universal
kemanusiaan, menelusupi ingatan-ingatan potensi jiwa, membangun gugusan
kesadaran gemilang, kenangan mampu menghantar ke masa depan. Kebesaran simfoni,
puncak musik cadas ini, tidak harus melalui nyanyian didengar menjadi ingin
dilihat, tidak kudu kumandang laguan
memikat di atas tarian syahwat, namun pucuk itu kemenangan bathin ketenangan.
Sedangkan
intelek manifes yang berfungsi mengabstrasikan bentuk-bentuk universal dari
segenap benda materiil atau akal sekunder, bahasa saya; ‘imbas pun jejak lelah
dari ketinggian waktu sehabis menimba dimensi kekhusyukan; juga awal membuka
tenaga baru.’ Akhirnya saya kutip perkataan Hazrat Inayat Khan di bukunya “The
Inner Life” terbitan Shambhala Publications, inc, 1997 Boston, diindonesaikan
Imron Rosjadi, Pustaka Sufi 2002:
“Harus ada
keseimbangan, antara hati dan pikiran, kemampuan dan kebijaksanaan, aktivitas
dan istirahat. Keseimbangan ini yang memungkinkan ia tegar menjalani
perjalanan, dan memungkinkannya memperoleh kemajuan, menjadikan langkahnya
mudah. Jangan pernah membayangkan orang yang tidak seimbang pada satu saat bisa
mencapai kemajuan dalam perjalanan ini, seberapa pun besar ia tampak akan mampu
melakukannya. Hanyalah orang yang seimbang bisa mengalami kehidupan spiritual
seutuh kehidupan batin, menikmati pikiran dan perasaan dalam kadar yang sama,
mengalami istirahat dan aktivitas secara sebanding. Jantung kehidupan ialah
ritme, dan ritme menyebabkan keseimbangan.”
4
Juni 2012 / 14 Rajab 1433 Hijriah (Senin
Malam Selasa Kliwon, 15 Rajab 1433 H persis setelah Gerhana Bulan) / 21
Desember 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.