Nurel Javissyarqi
(kupasan kelima dari paragraf tiga dan empat, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
“Dunia
pelajaran, ilmu pengetahuan, tidak mengenal perbedaan golongan-golongan
tinggi-rendah, atau kaya-miskin.” (Confucius)
I
Bismillahi-rahmani-rahim...
Bagian ini dan seterusnya, mulai mengalami pergeseran besar-besaran dari bebagian lalu.
Meski tetap mendedah paragraf IK, namun porsinya menjadi sampiran. Ini tidak lebih karena kekecewaan saya oleh kesalahkaprahan akbar di beberapa tempat pandangan SCB, yang tampak
terlampau dholim pada ajaran agama
pun terhadap
dalil akli ilmu pengetahuan, sehingga tidak menghasilkan keilmuan kecuali ditopang asap para
spekulan. Sampirannya setitik tekan semata dan lebih lapang menyoroti hikmah para pendahulu Timur-Barat yang kerap berlainan pendekatan, maka saya di sini berikhtiar menyeiramakan perolehannya.
Dari Plato turun ke Aristoteles, diungkap al-Kindi dalam kitab “Rasail al-Kindi al-Falsafiyyah” terbitan Dar al-Fikr al-‘Arabi, Cairo 1369 H / 1950 M, halaman 353-358, editor Muhammad ‘Abd al-Hadi Abu Ridah. Sampai kepada saya melalui buku “Khazanah Intelektual Islam,” editor sekaligus penerjemah
Nurcholish Madjid, Penerbit Yayasan Obor Indonesia oleh
Bulan Bintang, cetakan ke II tahun 1985, mengenai Risalah Akal.
Tulisan-tulisan al-Kindi dapat dikatakan rumit, meski terkadang sistematis pun tetap adanya kewajiban bersuntuk untuk memasukinya. Memang kejelian harus dituntut demi mendapati
ketepatan, apalagi pada karya bersimpan filsafat. Beliau seperti para ulama’ lain atau setelahnya,
sosoknya ialah
salah satu peletak dasar sufistik. Kata-kata kunci pada
kekaryaannya patut dipegang menerus oleh para penyimak, agar tidak membuyar sampai
mengalami hal kebingungan. Para beliau membagi akal menjadi empat bagian; 1. akal aktual
abadi, 2. akal potensial jiwa, 3. akal dalam jiwa beralih dari potensial ke
aktual, 4. akal sekunder.
Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Sabbah
al-Kindi menuangkan tulisannya dengan untaian kata-kata indah penuh kandungan makna, dan semoga penyederhanaan melalui jemari ini tidak mencederai yang sedang diikhtiarkannya. Namun menambah
sejuk pandangan sekaligus empuk dirasakan jiwa, selembut benang sutra kilauannya, pun sebening salju meresapi sanubari lewat pemahaman lapang bijaksana, serta mudah ditelaah, gampang diingatnya.
“Aristoteles
membagi bentuk dua macam, satu kebendaan berada dalam jangkauan indera. Kedua;
bentuk dalam jangkauan akal berupa kualitas benda-benda serta lebih tinggi
darinya. Hal itu menyusupi tingkatan akal.”
“Akal sekunder
mewakili akal indera, sebab kedekatannya pada sesuatu yang hidup, dan sifatnya
meliputi sesuatu itu keseluruhannya. Bentuk adanya dalam kebendaan yang aktual
terinderakan. Sewaktu jiwa menyadari bentuk, bentuk ada dalam jiwa selaras
potensial. Sewaktu jiwa bersentuhan bentuk, bentuk ada dalam jiwa sejelas
aktual, namun tidak seperti gambar hiasan di piring. Sebab jiwa bukan bersifat
benda, tidak pula terbagi-bagi. Bentuk dalam jiwa beserta jiwa sendiri
merupakan sesuatu yang tunggal, tak berlainan, pula tidak bisa dibedakan karena
berbedanya muatan jiwa.”
“Potensi
pengindera bukan sesuatu selain jiwa, ia juga bukan dalam jiwa misalkan anggota
badan dengan badannya, jiwa itu pengindera. Demikian bentuk terinderakan tak
berada dalam jiwa sebagai sesuatu yang lain, atau dapat dibedakan, tetapi yang
terindera dalam jiwa adalah pengindera juga.”
“Berkenaan
kebendaan, yang terindera tidak sama dengan jiwa pengindera; dari segi
kebendaan, yang terinderakan bukan pengindera itu sendiri. Begitu juga
perumpamaan akal, sebab apabila jiwa menyentuh akal, yakni bentuk-bentuk yang
padanya tak terdapat sifat kebendaan, bukan hayal dan tersebut menyatui jiwa,
yaitu bebentuk dalam jiwa secara aktual -padahal sebelumnya tak sesuatu pun
berada di jiwa itu aktual, melainkan hanya potensial- maka bentuk padanya tiada
kebendaan, bukan fantasi; merupakan akal perolehan (mustafad) pada jiwa berasal
dari akal pertama, akal perolehan itu kualitas benda-benda aktual dan abadi.”
“Akal mustafad
berfungsi memberi dan jiwa menerima, sebab jiwa berpikir potensial, sedangkan
akal pertama berpikir aktual. Sesuatu memberi sesuatu lainnya, hanya hal dari
dirinya, dan penerima memiliki sesuatu hanya secara potensial, tak ada
kepadanya segarisan aktual. Setiap yang ada padanya potensial, tidak dapat
beralih jadi aktual, seandainya dapat maka dirinya sendiri aktual abadi, karena
dirinya sendiri itu adanya abadi. Jadi apa saja yang potensial beralih ke
aktual, hanya sebab sesuatu yang lain, dan itu berkedudukan aktual. Jiwa
berpikir potensial beralih ke aktual disebabkan akal pertama, sewaktu jiwa
menyentuhnya. Oleh jiwa bila bentuk rasional menyatukannya, maka tak terbedakan
dari bentuk rasionalnya, karena tak bersifat terbagi-bagi, sehingga bisa
terbeda-bedakan.”
“Jika bentuk
rasional menyatu jiwa, jiwa dan akal itu sama; pelaku pemikiran (‘aqil),
sekaligus sasaran pemikiran (ma’qul). Dari sudut pandang jiwa, pelaku pemikiran
serta sasarannya, merupakan kenyataan tunggal. Sedangkan akal yang ada secara
aktual serta abadi, yang mengalihkan jiwa jadi pelaku pemikiran aktual, sesudah
semulanya pelaku pemikiran potensial, bukannya akal aktual, dan sasaran
pemikirannya itu suatu kenyataan tunggal. Maka sasaran pemikiran dalam jiwa dan
akal pertama dari sudut akal, bukan suatu kenyataan tunggal. Ada pun dari sujud
jiwa, akal dan sasarannya ialah kenyataan tunggal. Namun akal dalam
kesederhanaannya menyerupai jiwa, tetapi lebih kuat dari jiwa, pada kaitannya
dengan sasaran indera.”
“Jadi akal itu
perantara atau pertama bagi segenap sasaran pemikiran beserta akal sekunder.
Akal sekunder ada pada jiwa potensial, selama jiwa tidak merupakan pelaku
pemikiran secara aktual. Dan akal ketiga sejelas aktual ada pada jiwa, dan
telah dikuasai sepenuhnya, bagi jiwa sudah merupakan kenyataan; kapan
dikehendaki, jiwa bisa menggunakannya, menampakkan realitasnya, seperti tulisan
dan kemampuan penulisnya.”
“Akal keempat
lahir dari jiwa, kala jiwa memproduksinya, sehingga akal menjadi adanya aktual
oleh adanya hal lain berasal dari jiwa. Terangnya, akal ketiga merupakan
penguasaan dalam jiwa telah lewat disaat permulaan penguasaannya itu, dan jiwa
mempunyai kemampuan memproduksi kapan pun dikehendaki. Tegasnya, akal ketiga
ada pada jiwa sebagai bentuk penguasaan, dan penguasaan itu telah lewat serta
kapan saja dikehendaki, jadi kenyataan pada jiwa; sedangkan akal keempat yang
muncul pada jiwa saat secara aktual dimunculkan.”
Demikian penyederhanaan saya mengenai
risalah akal seturut kepahaman para beliau.
***
Sebelum merambah, terlebih dulu mencoba melalui pendekatan agak primitif atau prakondisi
temuan mereka,
saya anggap paham para beliau didasarkan
atas kejiwaan insan yang
stabil sekaligus dinamis, padahal nalar dapat benar juga salah atau
rusak, seperti perkatakaan Hassan
Hanafi. Maka
sudut pandang awam dikemukakan meski terlihat keras, tersebab langsung di atas kecenderungan sosok para pelakunya.
Manusia terlahir dari suatu kondisi
yang bergantung pada kandungan
lingkungannya, dan pengalamannya terolah dalam jiwa mempengaruhi
corak pribadinya. Pada keadaan
tertentu bisa berubah oleh tekanan luar dan dalam di sisi kepastian, sewaktu lawatannya belajar menapaki tangga kehidupan. Yang dapat diperas lewat jalur kecenderungan atas tempaan
sekeliling
yang menjadikan lebih peka penalaran-perasaan, juga kadang
mencapai bentuk seimbang, ataukah menganggap ringan sesampiran yang tidak perlu disuntuki?
Yang condong pada akalnya menuju ke bentuk aktual, sedangkan dari perasaan membentuk potensial. Jika keduanya seimbang menghadapi sesuatu, akan memperoleh penyingkapan yang lebih di antaranya. Bentuk paling rendah dari semua itu, memandang permasalahan di depannya seringan
menyepelehkan. Keempat contoh tersebut hampir serupa yang dikatakan para beliau, hanya saya melibatkan langsung meski
terlihat kasar, tapi ini penting untuk mengetahui karakter seorang pembaca, misalkan. Apakah didasarkan akal terkuat, perasaannya, berkehendak obyektif, atau malahan menganggapnya enteng?
Saat akal didahulukan, diberi porsi
luas mengudar permasalahan, akan melihat penampakan nalar atau pesona luar yang menentukan perangai kedalaman nilai. Dia menjadi hakim penentu, terkadang kurang mewaspadahi
kesaksian terdalam (getaran jiwa), sebab mementingkan yang sampai ke indera dan
kerap abai kemungkinan lain, hanya memegangi kausalitas secara taklid, hingga
terperoleh hitungan pragmatis kaku. Sedang pendahulu perasaan atau lebih condong ke jiwa daripada akal, sering mengabaikan
wujud luar atau kejuntrungan yang tampak kerap dicurigai, sebab penilaiannya ke inti
masalah, malah kadang mengabaikan keindahan penalaran, meski sudah ditopang
sebab-akibat jelas, baginya aura teks utama.
Jika keduanya seimbang atas temuan yang disesuaikan dengan dinaya yang dibacanya, atau
mengikuti musikalisasi kalimat yang dihadapi, menggali potensi akal dan jiwa untuk meresapi maksud tujuannya. Tentu akan menemukan jalur lapang pengisi keseluruhan, mengetahui kelemahan menyeluruh
pun bisa menentukan letak obyektif dan tidak terpengaruh siapa yang berbicara, tidak terperangkap pesona di luar teks, pula tidak terperosok atas kedekatannya pada teks. Ada kebalikannya yakni meremehkan teks, entah sebab penulisnya atau cara penyajian yang menurutnya kurang berbobot -kedangkalan itu tidak digalinya- yang membuat pembacaannya menjadi jeblok sebagai kecerobohannya sendiri. Di sebelahnya terselimuti
kakaguman, walau terhadap uraian yang lemah, tetapi teracuni titel yang menjadikannya tertunduk, inilah mental yang dimiliki orang-orang penurut.
Yang terkagum sebelum memasukinya dalam, melihat teks membawakan jiwa berpotensi penampakan di hadapannya sebagai sesuatu yang
aktual, lantas dilebih-lebihkan dari kedudukan yang semestinya, diberi ruang lapang sampai keluar dari kodratnya. Sedangkan yang mengecilkan, padahal belum
memeluknya seluruh, meringkus kemungkinan yang beredar sebab sudah kadung
(terlanjur)
meremehkan, maka bacaannya di bawah bayang-bayang pengecilan, napas kalimatnya sengaja
ditaruh pada ceruk sempit yang jauh dari jiwa potensial, olehnya tidak akan muncul bentuk aktual apalagi
abadi, padahal belum tentu demikian.
***
Di dalam buku Plato “The Republic” terbitan New York: Quality Paperback Book Club 1992,
terjemahan Sylvester G. Sukur, Penerbit Bentang 2002. Saya menemukan
alunan kata-kata ini: “Bagian paling
buruk dari hukuman ialah orang yang menolak memimpin atau memerintah, besar
kemungkinan dikuasai atau diperintah orang lain yang sebenarnya lebih buruk
daripada dirinya sendiri.”
Jika ditempatkan pada sosok pembaca, ianya menerima apa saja yang masuk dengan
abai silsilah teks, lebih parah terkuasai suara luaran. Ini lantaran kurang
curiga, analisanya lemah, mentalitasnya mencari kemapanan, menemukan bangunan rumah besar yang keropos penyangganya. Padahal suatu pondasi bisa kokoh, kalau menimba kepayahan, mengolah keterbatasan, serta semua ditaruh pada timbangan keadilan dalam
dirinya. Sekali takut bersikap mencari letak tersendiri atau duduk di bangku aman secara umum, tengadahkan tangan meminta, berjalan di jalur terang, kerap tidak mendapatkan apa-apa
selain warna senada, memperluas bangku yang tidak menciptakan tontonan sebanding dengan kesungguhannya.
***
Segaris lengkung ke belakang lalu berkehendak ke muka, dan ini titik tengahnya. Tulisan saya di atas merupakan
gerakan mundur dari Aristoteles menuju Plato atas tragedi hukuman mati Socrates. Atau berakibatnya Plato meninggalkan dunia politik, lantas memasuki alam filsafat, yang diteruskan oleh Aristoteles sampai kepada al-Kindi.
Sedangkan di bawah ini adalah uraian bebagian akal tersebut.
II
Kita kerap menggunakan akal sekunder yang dimulai dengan
penginderaan aktual, ini rangsangan awal sebayangan sepintas, seperti kesimpulan paling cepat
datangnya yang
otomatis masih mentah. Membaca peristiwa-teks lewat
tarikan napas kesadaran saat itu yang tidak dirunut mendalam, entah kesempatannya tidak ada, langkah tergesa serupa menyimak sekilas, sehingga informasi yang masuk aktual secara bentuk dan isi, atau pandangan umum yang tidak dilambari khasana penelusuran. Maka yang terjadi atas kondisi yang
disepakati, menyimak buku dengan menerima apa
adanya yang tertera, lalu bersikap menyanggupi untuk meneruskannya. Akal tersebut dimiliki
semua insan, tidak terkecuali orang awam yang hasilnya tidak bisa digunakan lebih, hanya di ambang hawa hangat khalayak yang dekat dengan suara taklid.
Akal sekunder bagi yang sudah terlatih di bebagian akal lainnya, seperti pijakan awal, kesaksian yang cemerlang dalam mempengaruhi kesadaran lanjut, sehembusan angin berdesak-desakan hangat-dingin tergantung kabar yang dibawakan. Jika berupa cahaya pantul penglihatan, menyerapi keseluruhan yang tampak memudahkan ayunan berikut, atau lintasannya dapat direkam demi menerangi lawatannya. Dari kisaran permukaan, aktualnya bisa ditambah-dikurangi sejauh pengedaran akal tersebut, pengetahuannya mencapai apa yang diingini, sekiranya jarak penglihatan hadir atas
pergeseran waktu sebagai pengalaman dalam
menyikapinya.
Perwakilan akal indera bermanfaat ke dalam jiwa, dan di sanalah bebentuk terambil sedari penglihatan yang diolah secara potensial. Al-Kindi menyebut “Sewaktu jiwa bersentuhan bentuk, bentuk ada dalam jiwa sejelas aktual.” Maka kemampuan terpendam menjelma aktor, selepas mengolah
kekuatan wujud pun yang tidak, ke jenjang aktual, sehingga yang terserap sebahan pengetahuan dirinya
serta yang lain. Inilah akal potensial jiwa, kesadaran bentuknya ke dalam jiwa yang bertenaga, kala menyentuh apa saja menambah dinaya. Bebentuk terindera mendiami kejiwaan tunggal serupa kenangan beberapa peristiwa serta perasaan terhadap fenomena.
***
Menyebut tragedi hukuman mati Socrates, menjadikan
saya teringat Galileo. Di bawah ini ungkapan dalam kitabnya “Dialogue,” yang saya peroleh
pada susunan Stillman Drake, bertitel Galileo (Oxford University Press, 1980) yang diterjemahkan Dean Praty R., Penerbit Grafiti 1991:
“Camkanlah hai para teolog, bahwa kalau kalian berniat mempermasalahkan
dalil-dalil yang ada hubungannya dengan posisi matahari dan bumi, itu berarti
kalian mengambil resiko dengan mempermasalahkan orang-orang yang ingin
mempersoalkan bahwa bumi diam di tempat dan matahari beredar mengitarinya
-akhirnya, saya katakan bahwa suatu saat nanti akan terbukti baik secara fisika
ataupun logika, bahwa bumi
beredar dan matahari diam di tempat.” (D iii).
Sewaktu Galileo Galilei menginjak usia 17 tahun, senada yang diceritakan Roger G. Newton 2004, dalam “Galileo's Pendulum” Viva Books Private Limited 2005: Ia
bosan mendengar Misa yang diselenggarakan di Katedral Pisa, kemudian pandangannya beralih memusat ke sebuah kandelar yang berada tinggi
di atas kepalanya, yang tergantung di
rantai panjang dan tipis, berayun pelan ke kiri ke kanan
dalam angin sepoi musim semi. Pikirannya menjalari goyangan tersaksikan, yang dapat dikatakan tengah menggunakan akal sekunder. Dan perdebatan dengan
kaum teolog, yang
telah berakal jiwa potensial merambahi detakan akal
aktual abadi atau tersingkapnya akal perolehan.
***
Akal sekunder segambaran paham Alexandrov yang diolok-olok Zhdanov atas kutipan
Barthes, lihat bagian XIII, tepatnya pandangan John Langshaw Austin, baca bagian VI. Dan akal potensial jiwa ialah kelanjutannya; jiwa pengindera menerobos kualitas
bentuk-bentuk sehingga terangkat potensial seorang
dalam wujud aktual. Atau suatu pagi kepekaan penyair mendapati embun
terpelanting sedari menjulurnya ujung daun, ini
hukum gravitasi, cahaya surya menyelimuti kebeningan buliran air. Lalu teringat jatuhnya air mata, mata air tercurah, dan apa yang tergerak dalam dirinya menjelma penglihatan
seksama. Ketika semua terekam dalam kalbu akan membekas keayuanya. Dan sewaktu yang seirama dituangkan melalui pena di lelembaran kertas,
maka akal indera menjumpai muara, “sebab
kedekatannya pada sesuatu yang hidup, dan sifatnya meliputi sesuatu itu
keseluruhannya.”
Hal itu terkuasai penuh, melebarkan
sayap kesadarannya memperluas jangkauan pengindera pada tahap keahlian. Merambah naik-turunnya hayati menuju kisaran sekeliling penyelidikan, serta terus keyakinan yang terangkat laksana awan mengembara. Yang dapat menjatuhkan buliran air kapan saja atas dorongan angin, tamparan cahaya surya disertai
suhu udara oleh tekanannya ke bumi, maka hujan turun segambaran
akal mustafad. Atau keayuan pelangi dari rintik gerimis pada ketinggian danau oleh pancaran siang yang membiru langit, maka terjadinya beberapa warna lengkungan panjang berkeindahan, seakan memperoleh kesungguhan pemikiran sebagai karomah dari lelaku istiqomah.
***
Suatu hari Mencius bosan mendengarkan pelajaran dari gurunya, cepatlah ia pulang sebelum waktunya, lalu didapati ibunya sedang sibuk menenun, menanyakan sebab
kepulangannya,
dan dijawabnya dengan seksama. Tiba-tiba ibunya mengambil
gunting serta memotong kain yang sedang ditenun itu menjadi dua helai. Mencius
bertanya, “Mengapa kain yang bagus itu ibu gunting menjadi dua?” Maka
dijawab ibunya, “Anakku yang manis, aku berbuat demikian sebagaimana kau memotong kemajuan
hidupmu sendiri, seperti aku telah menggunting kain tenunku yang bagus itu.”
Semenjak kejadian itu, ia tidak pernah meninggalkan pelajaran
sebelum waktunya.
Jika kisah Nabi Musa as dilanjutkan, maka
sampailah bertemu Nabi Khidir serta memperoleh pelajaran berharga atas persahabatannya yang
sementara. Di tengah perjalanan, Khidir
membunuh pemuda tampan tanpa alasan, membuat Musa terperangah geram sekaligus
menyangkal sikap semena-mena. Mereka terus berjalan dalam kesepakatan Musa tidak diperkenankan bertanya juga marah, dan sampailah di tepi lautan, Khidir merusak kapal yang paling bagus di antara kapak-kapal, Musa tidak sabar
ngedumel, tapi Khidir tetap diam seribu bahasa. Di akhir cerita, Khidir menegakkan bangunan hampir ambruk yang membuat Musa hilang kesabaran sampai putuslah bersahabatan mereka. Sebelum berpisah, Nabi Khidir memberi penjelasan mengenai kejadian yang barusan dialami. Alur kisah Mencius dengan ibunya, Musa bersama Khidir, dapat dikatakan sebuah peristiwa yang sama penampakannya tapi berbeda dalam penyikapinnya. Satu dengan akal sekunder aktual benda-benda, satunya lagi telah merasai penyingkapan akal perolehan.
Seumpama merambahi dataran awam, Musa
menyaksikan kejadian yang dilalui
bersikap menyepelehkan keilmuan Khidir; membaca teks tidak memakai akal
potensial jiwa, menutup kemungkinan mengecilkan lawan bicara. Sedangkan jiwa
Khidir as tetap menganggap Musa seorang Nabi, maka ditampakkan yang sebenarnya akan terjadi. Fenomena memberi informasi ke jiwa atau jiwa
menyatu dengan
benda-benda; kedekatan
terdalam yang
bukan hayal, khusyuk membeningkan penglihatan, tidak meringankan perihal yang terkecil
sekalipun terbangnya debu. Di saat penginderaan jiwa, dan jiwa berpasrah menyeiramakan getaran hayat sekitarnya, tentu memperoleh
kedamaian jawaban. Ibunda Mencius tidak sayang memotong tenunan yang indah, dari pada kelak cita-cita anaknya yang terpenggal.
***
Hakikatnya, setiap insan berkemampuan
mendayagunakan tingkatan akal yang sebagaimana telah dibagi-bagikan oleh para beliau, yakni sebagai alat bernalar
sekaligus sasaran penalaran. Hanya perbedaannya terpengaruh syarat mendudukkan perihalnya ke dalam sifat-sifat yang mendiaminya; naik-turunnya ombak masanya serupa corak yang ditemukan Dr. Wilhelm Fliess mengenai Bioritmik. Di sini
saya akan mengurainya ke batas minimal serta batasan maksimalnya, sebagai
kemungkinan yang biasa terjadi.
Kala menengok lembar sejarah, kerap
atau wajar suatu bangsa, apakah Arab, Cina,
Jepang, Jawa, Yunani, Rusia, India, Prancis, Jerman misalnya. Manakala
mengalami jaman kegelapan, awan nasib hitam kelam memayungi datarannya, jalan-jalan gulita, pertikaian merajalela sebencah
lumpur rawa-rawa bersimpan marabahaya. Tumbuhlah bunga teratai rupawan, ada yang menyebut nabi, rasul, utusan, juru selamat sejenisnya.
Situasi yang
tertekan menggencet nalarnya kian cerlang memantabkan permenungannya dalam gua, lembah,
cawan pebukitan; mereka merapalkan kitab lama, dongengan purba, dan hikayat moyang digalinya demi mengucurkan mata
air perolehan. Mereka sadar hawa pergerakan jaman di dalam tirakatnya,
memaklumatkan tekad menerobos gemawan yang hendak mengutuki ketumpulan
bangsanya. Begitulah alam memberikan keseimbangan, sehingga kehidupan dapat tercium indah sampai sekarang.
Mereka akrab kuntum-kuntum kembang
bermekaran, kelebatan wewarna alam, rintihan
tangis para
jelata, kelaliman penguasa,
ini keluar-masuk napasi keadaban, dituntun gravitasi semesta raya, dan pergolakan dalam dirinya yang sama mendidih.
Lalu
ucapan, tindak-tanduknya secermin penglihatan atas pantulan yang senantiasa
beredar. Pada kekhusyukan
tertentu, bebagian akal menundukkan jalan takdirnya atau memunculkan kebaharuan ciptaan oleh kehendak perluasan-Nya.
***
Akal pertama aktual abadi, yang
sebelumnya sebatas aktual. Fenomena perubahan itu ditelitinya, menjaring
persamaan menyemai penyesuaian, mengelompokkan informasi alam aktual. Dikajinya
menerus seumpama mendayung perahu sambil mengamati permukaan gelombang air. Di
kala perangai aktual dirasai sedalam dayung melaju, pengertian pergeseran dan
pantulan cahaya mendiami letak-letak makna, seperti ungkapan Hassan Hanafi, “Perasaan
adalah perkiraan rasional yang dapat dianalisis dengan akal, sebab obyeknya
adalah berbagai makna, dalil-dalil yang berdiri sendiri, dan esensi-esensi.”
Ayat-ayat, curahan rahmat-Nya yang
langsung pula tidak, menumbuhkan akal kedua potensial
jiwa,
tersebut menapaskan penafsiran ke jenjang perbuatan berbaur mempengaruhi tradisi, bersama tarikan bayu ikhtiar menyebar sejauh ijtihadnya.
Akal jiwa berpotensi memaknai karunia, meninggikan batang penalaran di atas
kesadaran bumi. Muncullah cabang pengetahuan, dedaun pengertian memayungi hati.
Laksana zat hidup sang surya menyentuh
ujung-ujungnya, kualitas aktual diserap mengisi relung-relung panca indera,
dipantulkan ulang seperti akal ketiga; akal dalam jiwa beralih dari potensial
ke aktual.
Sejauh mencapai akal perolehan,
tentunya berkekhusukan dalam keintipan setampan permenungan. Sebab ke lelapisan bumi, pengedukan paling rawan
menemukan tirta abadi, atau kalbu memanjati langit seperti embun menjatuhkan kecupan hujan, serupa air zam-zam berlimpah menuntut pertapaan lembut daripada
air kehidupan, lebih santun dari angin pegunungan. Dan iqra’ diulang-ulang menyingkapkan tumpukan cahaya, mengelus partikelnya, merasai elemen
padat dan cair atasnya. Ini membutuhkan waktu lama, di sisi kesucian
pergolakan dalam jiwa produktifnya. Sedangkan penjumlahan masa di antara mereka pada pancangan tersebut berbeda-beda.
Pada gelombang berbeda-beda tingkatannya, berlainan kadar penerimaan di atas jenis
akal terpengaruhi kesuntukan daya singgah pun dinaya serap terhadap karunianya.
Serupa lamanya cahaya tersimpan pada benda padat, ada perbedaan masa tergantung ketundukan ihwal terlewat, sekemampuan ingatan
berlainan detak jangkauannya. Ia membuai segenap pengetahuan, mengandung pelajaran serta pilahan terpengaruh
kecondongannya, maka perbedaan yang terbit ialah rahmat terindah. Sebatas tidak menyalahi hukum yang sudah ditentukan, seiramanya detakan nadi semesta mematuhi peredarannya, kalau tidak terjadi benturan mata. Namun gulungan gelombang yang insyaf mengembalikan semuanya, ke jantung hayati oleh kuasa-Nya.
Sejenis akal sekunder kalau menggunakan runutannya, merupakan jejak lelah dari ketinggian waktu sehabis menimba dimensi kekhusyukan; juga awal membuka tenaga baru, karena
bebagian akal dalam kesatuan diri anak manusia, senada bioritmik irama hidup.
Pula, kemampuan dapat ditingkatkan sedari getaran samar dinaikkan terang, tentu
membutuhkan syarat penyeimbang dan pelestarian kualitas di sisi goda yang melingkupi. Bentukan itu terpengaruh naik-turunnya
keyakinan, pergesekan di luaran yang selalu berpusar bagi menginginkan pencerah, juga banyak terlepas seperti cerita sisyphus. Dan hanya orang-orang yang terlindungi
sampai seperti mereka, sebagai penggerak
peradaban dunia.
***
Kemudian
simaklah paragraf IK yang ke 3 dan 4: “Sebuah kata,
dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam
proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka
berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah
diasosiasikan dengan makna tertentu.”
“Adapun
kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya
beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis,
tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial,
kekuasaan politik, atau norma-norma moral.” Lantas mengingat Kredo Puisi SCB, alibi-nya, Jadi, lantas jadilah!, dan Jadi maka jadilah! Maka apa yang akan anda lakukan, jika memakai bahan-bahan di atas?
24
Pebruari 2012 / 25 Maret 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.