Nurel Javissyarqi
(kupasan keempat dari paragraf tiga dan empat, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Sesuatu yang esensial itulah yang mengubah suatu potensialitas menjadi
aktualitas, baik dengan maupun tanpa perantaraan. (Ibnu Sina)
I
Selalu saja saat mengawali tulisan, diri
ini merasakan bergetar dan untuk mengurangi debarannya dengan kata-kata pengantar. Pada awalan kini bercerita tentang pertemuan saya dengan tiga orang gila (balutan fisiknya begitu); mereka merasuki jantung. Orang gila yang pertama sama yang sudah terceritakan di bagian VII, kali itu ia menuju ke arah barat seperti
perjalanan saya, demikian juga yang kedua, hanya jarak antara yang pertama dan kedua, satu kilometeran. Yang ke
tiga di kota Bojonegoro sewaktu tengah malam, dia meringkuk berlimutkan sampah plastik sebagai penghalau hawa dingin oleh rintikan hujan gerimis.
Beberapa hari sebelum ke Bojonegoro, saya menuju salah satu kampus di Surabaya, guna mengantar kakak ipar lama mencari bahan bacaan sebagai data Disertasinya, lantas ke Jalan Semarang mencari-cari buku bekas. Di sana bertemu Fahrudin Nasrulloh (almarhum
di hari Kamis 30 Mei 2013), bersama Ribut Wijoto, tidak luput ngobrol ringan disertai ngopi
bareng -tombo kangen. Ini mencairkan kepenatan dari ruang belajar di rumah, namun sayang tidak
berjumpa orang gila di Kota Pahlawan yang biasa memberikan firasat. Ke bencah Bojonegoro berboncengan motor dengan Denny, berjumpa Gampang, Bonari, Ragil, Timur, disaat
menyaksikan pementasan teater yang pemainnya Sabrank, Wong Wing King dengan
komunitas Suket di Desa Jono. Oya, terima kasih untuk Mashuri yang membawakan buku pesanan saya, karangan Dami N. Toda “Apakah Sastra?” Kala ia membedah antologi puisi Kabar
Debu di tanah
Lamongan.
Jalan ke luar kota membuka denyar anyar, meski bacaan sama lewat pengamatan lain yang menghadirkan pengoreksian, ditambah
fisarat yang
meningkatkan drajad perolehan mawas. Siapa tahu bisa mengurangi tindak kecelakaan jika ada, sedari pandangan lalu ditetapkan sesuai timbangan yang tengah terlarungkan. Orang gila awal masih akrab di batin
ini, munculnya orang gila kedua membuat
heran, sekurangnya keberadaan atmosfir ganjil di jalan tersebut tercium olehnya. Orang gila kedua sewaktu saya berjalan hampir mendekati, di
tangannya melecutkan sebuah pecut, maka dikala melihat
pementasan di Bojonegoro, ada aktor yang memainkan cambuk
bersuarakan kilatan, saya tidak heran. Orang gila ketiga amat berbeda, di batin ini penasaran, apakah orang atau makhluk halus yang sedang membentuk sosok, saya lihat sebagian mukanya
tertutupi bayangan rimbun pepohon yang
ditimpa gelap malam, seluruh badannya terselimuti
plastik. Cukuplah itu membuat gemetaran, seirama debaran menujah niatan terdalam yang mengurangi waswas
sepadan.
***
Sebelum pada paham Muhammad Iqbal,
marilah simak ungkapan Sutardji saat pidatonya Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau tahun 2000. Karena
pemahaman “Kun Fayakun” agak panjang di sini, olehnya saya kutip
lumayan melebar untuk mengetahui apa saja kekisaran menurutnya soal tersebut:
“Pada mulanya
Sang Maha Penyair berucap, "Jadi maka jadilah!" Itulah kata yang
paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu
sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri.”
“Ke sanalah
penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri.”
“Itulah yang
ingin diraih penyair walaupun ia sadar sajaknya tak mungkin abadi. Walaupun
tahu takkan sampai pada kebenaran mutlak kata, meski ia takkan dapat menggapai
kemutlakan benar. Meski tahu walau hurufnya habislah sudah alifbatanya takkan
sampai pada kebenaran mutlak, obsesi itu dilayaninya dengan girang, penuh
antusiasme dan passion.”
“Sehubungan
dengan kata, pada manusia -pada Adam- Tuhan mengajarkan pula nama benda-benda,
merujuk pada pengenalan potensi benda-benda dan ihwal, mengakibatkan kehadiran
ilmu dan penguasaan terhadap benda-benda dan ihwal.”
“Jika manusia
wakil Tuhan di muka bumi, maka ia adalah khalifah kata-kata. Para penguasa dan
pemuka (politik, sosial, ekonomi, militer) yang zalim cenderung sewenang-wenang
memanfaatkan kata-kata untuk kepentingan sendiri. Itu sering mudah dilakukan,
karena di samping mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan riil, juga karena
kata-kata sebagai penanda sering sewenang-wenang.”
“Akibat tekanan
kezaliman kata yang sebenar kata, kata yang benar, tergusur tidak muncul dalam
permukaan luas masyarakat. Ia tampil dalam mimpi, jerit, gurau dan gelak igau
yang tersembunyi dari para dhuafa.”
“Dalam
bait-bait puisi, kata-kata yang sebenarnya mendapatkan tempat pelarian
(asylum). Bukan sekadar untuk disimpan atau dilestarikan, tetapi lewat puisi ia
akan bisa memberikan penyegaran, pencerahan, dan perpanjangan kreatif dari
pemaknaan manusia dan kehidupan.”
***
Untuk memasukinya perlu juga menyerapi perolehan yang lalu, terpetik satu paragraf bagian XVII dalam merambahinya, sebagaimana pantulan ini: “SCB menghilangkah kata kerja awalan dari firman tuhan sang maha penyair,
dan tampak kata kerja perintah itu datangnya terlambat, dengan memunculkan kata-kata ‘lantas jadilah.’ Kemendadakan ini menciptakan keterkejutan, seperti dalam ruang tunggu atau firmannya menanti
hadirnya kata benda itu jatuh; ‘kata
adalah benda,’ menurutnya ‘adalah
ikhwal’ (fenomena), fenomena itu sesuatu yang rumit, jamak yang selalu berubah. Perihal tersebut masuk ke dalam ‘adalah makna,’ yang otomatis makna ini
sesuatu yang
rumit dan jamak
(banyak), serta senantiasa berubah, nilai yang bisa berkurang juga dapat bertambah, lalu ‘adalah diri ekspresi’ dari benda-benda, kerumitan pun tidak tetap masanya di dalam ruangan yang dapat berganda pula demi mewujudkan keberadaannya adalah jadi ‘adalah
eksistensi.’”
Kembali Sutardji menghadirkan Tuhan “Sang Maha Penyair” dengan firman “ucapan” seperti sulapan; “Jadi maka
jadilah!” “Itulah kata
yang paling hakiki dari puisi”. Kata yang paling hakiki dari puisi itu wujud, jadi, ada, dan bukannya yang berangkat
dari napasan (kata)
kerja perintah, tetapi benda itu hadir seperti barang tersebut ada. Misalkan wujud orang gila yang
saya temui di jalanan kembara, yang
menggembol ketidaknormalan akal menurut pandangan umum,
yang tidak terketahui muasal kejadiannya, kenapa bisa gila? Sebab-sebabnya dihapus; “Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu
sendiri.” Tidak lain orang gila dengan sendirinya, atau bawaan sejak lahir? Ataukah bintang, rembulan, matahari serta benda-benda angkasa itu ada dengan
sendirinya, yang
muncul secara tiba-tiba oleh
datangnya kata
kerja perintah “maka jadilah!”
“Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri.” Kata Jadi menerbitkan makna yang menghadirkan diri-nya. Benda itu atau orang gila pun yang normal ada seperti apa adanya, tidak ada jenjang sebelumnya, -yang takdirnya
mendadak menjadikan “Sang Maha Penyair”
kewalahan, kaget, bingung atas munculnya kata benda, jadi, makna, diri.
Bagaimana Dia berlaku serupa pesulap? Melihat orang gila, namun tidak tahu kenapa bisa gila? Selaras menyaksikan bintang, rembulan, matahari, wujud bersama makna yang terkandung di dalamnya? Ini menempatkan Tuhan sangatlah rendah, menghadirkan sesuatu dari yang sebelumnya sudah ada? Yakni kata Jadi, wujud, ada, benda, orang gila atau waras,
dan benda-benda angkasa seisinya. Seolah pelukis yang mengguratkan alam raya di kanvas, para penyair mengumandangkan keayuan malam penuh bintang. Senada penerimaan yang
tanpa diperkenankan mengetahui tahap-tahap kejadiannya, sebatas mengolah yang sudah ada yang berasal dari
kata Jadi.
Dengan terpaksa saya ambil terjemahan
wahyu
Allah swt yang pertama, Surat
Al ‘Alaq (Segumpal Darah, Makkiyyah 19 ayat) dalam Kitab Tafsir Jalalain, ayat pertama
sampai ke lima yang turun di Makkah (yang dalam kurung artiannya, yang buka kurung tafsirannya):
1. (Bacalah) maksudnya, mulailah membaca dan memulainya (dengan menyebut
nama Rabbmu Yang menciptakan) semua makhluk.
2. (Dia telah menciptakan manusia) atau jenis manusia (dari ‘alaq) lafaz ‘alaq bentuk
jamak dari lafaz ‘Alaqah, artinya
segumpal darah yang kental.
3. (Bacalah) lafaz ayat ini mengukuhkan makna lafaz pertama yang sama (dan
Rabbmulah Yang Paling Pemurah) artinya, tiada seorang pun yang dapat menandingi
kemurahan-Nya. Lafaz ayat ini sebagai Ha’l dari Dhamir
yang terkandung di dalam lafaz Iqra.’
4. (Yang mengajar) manusia menulis (dengan qalam) orang pertama yang
menulis dengan memakai qalam atau pena ialah Nabi Idris as.
5. (Dia mengajarkan kepada manusia) atau jenis manusia (apa yang tidak
diketahuinya) yakni sebelum Dia mengajarkan kepadanya hidayah, menulis dan
berkreatif serta hal-hal lainnya.
***
II
Kini
marilah menimba dari petikan pemikiran Muhammad Iqbal beserta beberapa ayat yang diketengahkannya, yang saya hidangkan seperlunya dalam kepahaman ini sedari bukunya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (Bookseller & Publisher, Kashmiri Bazar, Lahore,
Pakistan (1930). Diterbitkan oleh Tintamas
Jakarta tahun
1982, alihbahasa Ali Audah, Taufiq Ismail, Goenawan
Mohammad, dan
yang diterbitkan Jalasutra Yogyakarta, penyuntingnya Muhiddin M Dahlan, 2002.
Terlebih dulu simaklah penuturan Dr. ‘Abdul Wahhab ‘Azzam, yang untaian kata-katanya kerap mengharukan saya di bukunya “Iqbal: Siratuh wa Falsafatuh wa Syi’ruh” terbitan Mathbu’at Pakistan 1373 H / 1954 M, diterjemahkan Ahmad Rofi’ Usman, Ammar
Haryono, penerbit Pustaka Bandung, cetakan awal 1985, halaman 14:
Kedua orang tua Iqbal terkenal dengan keshalehan dan ketaqwaan mereka.
Ayahnya adalah seorang sufi, yang bekerja keras demi agama dan kehidupan.
Dituturkan darinya, bahwa pada suatu ketika, sewaktu ia melihat Iqbal senang
membaca al-Qur’an, maka
katanya: “Bila kamu
ingin memahami al-Qur’an, bacalah
seakan ia diturunkan padamu.”
***
Allama Muhammad Iqbal menuliskan, “Jadi, berdasarkan al-Qur’an, bagaimana
sifat alam semesta tempat kita tinggal? Pada tingkat pertama, alam ini bukan
hasil titipan sekadar main-main saja:”
“Tidaklah Kami
ciptakan langit dan bumi serta segala isinya yang ada di antara keduanya itu
untuk bermain-main. Kami ciptakan keduanya itu dengan maksud tertentu; tapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Qs. 44: 38-39).
“Nyatalah itu sama dengan: Sebenarnya dalam penciptaan langit dan bumi
serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi mereka yang
berpikir. Mereka yang mengingat Tuhan ketika berdiri, ketika duduk dan
berbaring, serta merenungkan penciptaan langit dan bumi itu seraya mengatakan:”
“O Tuhan kami!
Tidaklah sia-sia Kau ciptakan semua ini.” (Qs. 3: 190 -
191).
“Begitulah alam
semesta itu disusun demikian rupa hingga ia dapat diperluas:”
“Ia (Tuhan) menambahkan ke dalam ciptaannya itu apa yang dikehendaki-Nya.”
(Qs. 35:1).
“Itu bukanlah
sebuah alam cetakan, semua hasil yang sudah selesai, yang tidak bergerak dan
tidak berubah. Jauh dalam wujud batinnya, barangkali terletak impian sebuah
kelahiran baru:”
“Katakanlah -jelajahilah bumi, lalu perhatikanlah betapa Ia memulai
penciptaan itu; kemudian Tuhan menyusun sebuah ciptaan lain.” (Qs. 29: 20).
“Sebenarnya
ayunan dan tarikan alam semesta yang penuh rahasia ini, peredaran zaman yang
dengan diam-diam menjelma di depan kita, makhluk manusia, juga peredaran gerak
siang dan malam, oleh al-Qur’an dimaksudkan
sebagai tanda-tanda Tuhan yang paling akbar.”
“Tuhan memutarkan peredaran malam dan siang. Disitulah terdapat pelajaran
bagi mereka yang luas pandangan.” (Qs. 24: 44).
***
Lebih maju Beliau menguraikan, “Tidaklah Tuhan akan mengubah nasib sesuatu
kaum, kalau bukan kaum itu yang mengubah nasibnya sendiri.” (Qs. 13 :11).
“Kalau ia tidak
mengambil inisiatif, kalau ia tidak mau mengubah keadaan batinnya, kalau ia
berhenti merasakan deburan batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada
dalam dirinya pun akan mengeras menjadi batu dan dia merosot turun ke tingkat
benda mati. Tetapi hidup dan kemajuan ruhnya itu amat bergantung kepada
terbentuknya hubungan dengan kenyataan hidup yang dihadapinya. Yang membentuk
hubungan-hubungan demikian itu pengetahuan, dan pengetahuan ialah cerapan
penginderaan yang dipupuk dengen pengertian.”
Tatkala Tuhan mengatakan kepada para Malaikat: “Aku hendak menghadirkan seorang khalifah di atas bumi
ini.” Mereka berkata: “Adakah hendak Kau tempatkan seseorang yang akan membawa
bencana dan akan menumpahkan darah, padahal kami, dengan rasa syukur memuja-Mu
dan menjunjung-Mu?” “Ia berkata:
Akulah yang tahu apa yang tidak kalian ketahui.” Dan
diajarkan-Nyalah semua keterangan itu kepada Adam, kemudian semuanya itu
ditunjukkan-Nya pula kepada para Malaikat, seraya kata-Nya: “Sebutkanlah nama-nama semua itu jika memang kalian
mengetahui!” Mereka
menjawab: “Maha sucilah
Kau. Kami memang tidak mengetahui, selain yang pernah Kau ajarkan kepada kami,
Engkaulah sebenarnya yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” Ia berkata: “Hei Adam,
sebutkanlah nama-nama itu kepada mereka.” Setelah ia
memberikan keterangan-keterangan itu kepada mereka, berkatalah Ia: “Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, bahwa Akulah yang
mengetahui rahasia-rahasia langit dan bumi, mengetahui semua yang oleh kalian
dinyatakan atau disembunyikan?” (Qs. 2: 30-33).
“Pokok dari
ayat-ayat itu ialah bahwa manusia telah dianugerahi dengan kecerdasan pikiran
untuk menyebutkan nama-nama benda, artinya untuk menyusun pengertian-pengertian
tentang benda-benda itu, dan menyusun pengertian yang demikian berarti
menguasai benda-benda itu. Jadi sifat pengetahuan manusia ialah konseptual, dan
dengan bersenjatakan pengetahuan konseptual inilah manusia berkenalan dengan
aspek Kebenaran yang bisa diselidiki. Yang perlu sekali dicatat adalah al-Qur’an menekankan semuanya terletak pada aspek Kebenaran yang
harus diselidiki.” (Halaman 37-38, 41-42 dari buku yang saya sebut
paling awal).
***
III
Kini izinkan saya menuangkan gambaran dari pokok-pokok di atas. Karen
Armstrong betapa indahnya memaparkan kedatangan Kerasulan
Muhammad saw dalam bukunya “Muhammad: A Biography of the Prophet” Phoenix Press, London 2001, diterjemahkan Joko
Sudaryanto, penerbit Jendela, 2004. Dengan tarikan berbeda saya menuangkan; sekitar tahun 610 dalam Gua Hira’ di lembah Makkah
17 Ramadhan, dikala Nabi saw terjaga dari tidurnya, didatangi Malaikat Jibril
as yang menaburkan kalam fitri, firman Allah swt yang pertama, “Iqra’” (Bacalah). Hentakan keras datangnya
sebuah kata kerja perintah, Fi’il Amar, seakan meringkus tubuh Sang
Nabi saw hingga mengucurkan keringat dingin, demam tidak tertahan di sisi
waswas mendera. Ada tiupan ruh lain dari biasanya, hembusannya bergema ke
dinding seluruh gua, tidak sekadar sekujur jiwa raganya bersaksi, namun segenap
hidup sebelum dan sesudahnya.
Tidak hanya bintang kemukus memberi janji, seluas semesta raya tidak terketahui batasannya, kecuali Sang Maha Kuasa
memahami hukum-hukumnya.
“Iqra’” selurus “Kun Fayakun” tidak dapat diganti oleh apa pun! Siapakah pendukung firman Allah swt yang dijelmakan dalam kata benda? Tidakkah sudah terpaparkan,
dan kehilafan disengaja di mana saja bersembunyi ke sudut-sudut terpencil
akan ketahuan
/ terketahui! Ilmu pengetahuan bukan tempatnya beralibi, tapi kelenjar sejarah berdaya tariknya selalu
membuncah, memukul mental tanggung yang
tidak meruhaniahi, menjadikan tempelan. Maka adalah sulapan,
mensejajarkan para ulama’ dengan orang-orang terlena, namun tidak akan lama pengadaan semu segera menyeruak, dan para pendukungnya patut bertanggungjawab terhadap imbasnya? Para tukang syair mengamini kekaryaan sedari
pusaran tidak sadarkan diri bukan lantaran tingkatan Jadab. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah
makolah, ‘bahwa kezaliman yang terorganisir sangat membahayakan,’ meski berbentuk permainan jemari!
Bacalah dengan ruhmu dan jantungmu memompa segumpal dagingmu! Bagaimana bisa berleha-leha membetulkan kemengslean kalbu sekadar
kesalahan ketik misalnya, padahal jelas-jelas keinginannya (hasratnya)? Kata mereka penyair sufistik, sehingga berani menyebutkan Allah swt bersifat “Sang Maha Penyair.” Yakni menambahkan kemuliaan kepada-Nya, yang
ternyata punya maksud seperti menyuap Tuhan, menyogok
kaum beriman, agar pensifatannya dapat meloloskan pengertian Tuhan “Sang Maha Penyair” juga membikin sesuatu yang telah ada,
memunculkan barang yang tercetak,
wujud, “Jadi maka jadilah!” Sungguhlah manis ungkapannya. Mungkin baginya, Tuhan seolah redaktur koran atau dirinya yang mudah
meloloskan maksud tertentu, terlepas logika serta tidak Ilahiah.
Tak ayal “Ke sanalah
penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri.” Para penyair
diserukan oleh Raja Mantra, Presiden Penyair Indonesia juga untuk dirinya sendiri menuju “Sang Maha Penyair,” obsesinya meraih kata yang bermakna
hakiki, yakni sulapan pertama di dunia Sastra Indonesia. Puncak keblingeran
tersebut menandakan penggerak angkatan susastra, tentu untuk menggenapi lipatan lusuh sejarah kesusastraan di Tanah Air, dan para pendatang baru tersirap manggut manut lewat pembetulan seadanya, tersebab sudah terpampang dalam buku pelajaran dan sebagainya.
Setelah menyematkan Tuhan “Sang Maha Penyair” lantas berucapan rendah, “Jadi maka
jadilah!” Lalu melangkah, “Itulah yang
ingin diraih penyair walaupun ia sadar sajaknya tak mungkin abadi.” Sutardji
menempatkan Tuhan muasal hadirnya (bukan terciptanya) segala sesuatu, dan sebab
penyair takkan bisa menerbitkan bulan, bintang matahari, tapi sekadar
melukiskan dengan kata-kata. Para penyair dihimbau ke jalan keabadian sulapan
di setiap ungkapannya, meski tidak abadi. “Walaupun tahu
takkan sampai pada kebenaran mutlak kata, meski ia takkan dapat menggapai
kemutlakan benar. Meski tahu walau hurufnya habislah sudah alifbatanya takkan
sampai pada kebenaran mutlak,” Gaya naik-turun ini hampir sama melodinya dengan Taufiq
Ismail di
bagian X, pribadi penyair diangkat tinggi, tetapi oleh karena sadar tidak
akan mungkin dan menjadi bahan tertawaan yang memperjelas maksudnya secara tiba-tiba. Maka
diturunkan nyanyiannya, agar diterima khalayak seturut dendang
ayunan.
“obsesi itu
dilayaninya dengan girang, penuh antusiasme dan passion.” Ini tepat dengan
menyelidikan sebelumnya, yakni Sutardji sedang membetulkan paham “Manusia diberkahi untuk bebas.” Pengertian insan sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, dirombaknya sesuai kebutuhan dirinya dalam
meloloskan paham, dan dianggapnya bisa menyenangkan; membuat girang berdaya antusias penuh
gairah, serupa temuan-temuan pesulap David Copperfield yang dikaguminya, misalkan.
Jenis penulisan tersebut sangat umum, tinggal melihat yang terlebih dulu diayunkan,
tentu mengetahui di mana letak pemberhentiannya, sedari titik-titik tenggang yang disebarkan di atas tempo yang diharapkan. Dan senandung umum dapat membentuk kenetralan, seperti warna putih pada cat yang memudahkan nilai-nilai apa saja masuk setelahnya, SCB menulis: “Sehubungan dengan kata, pada manusia -pada Adam- Tuhan
mengajarkan pula nama benda-benda, merujuk pada pengenalan potensi benda-benda
dan ihwal, mengakibatkan kehadiran ilmu dan penguasaan terhadap benda-benda dan
ihwal.” Kesadaran di sana sungguh nyaring, lagi-lagi berbalik pada yang sebelum diketengahkannya. Sutardji menulis perihal Muhammad Iqbal yang bertitel “Mengenang Iqbal” di halaman 418 dalam bukunya “Isyarat,” ia tidak memberi sodokan seperti
kepada Derrida, dapatlah dikata mengamini atau segan mengoreksinya, mungkin tulisan Iqbal terlalu terang. Jika berkehendak memengslekan akan ketahuan khalayak, tidak
seperti tulisan untuk Derrida dan Ibnu ‘Arabi, tentu menimbulkan polemik dan syah jikalau
lepas tangan, sebab telah banyak yang menyalahartikan.
Allama Iqbal berujar, “alam ini bukan hasil titipan sekadar main-main saja.” Bukan sejenis akrobatik, namun mereka mengira seperti sulapan kejadiannya, dan semua peristiwa dianggap mak bedunduk, lalu “Sang Maha Penyair” kelelahan setelah berucapan “Jadi maka jadilah!,” maka dihadapanya seolah sia-sia, dari kesia-siaan itu disurunya gembira,
girang beralibi. Dan untuk menutupi maksudnya SCB menuliskan, “Jika manusia wakil Tuhan di muka bumi, maka ia adalah
khalifah kata-kata.” Sebagai khalifah kata-kata dari-Nya, seakan tidak masalah diganti sepadan kepentingan khalifah tersebut,
seperti wakil Tuhan yang dikiranya seperti kedudukan wakil presiden yang bisa membelot presiden, mungkin semacam itu
nalar Sutardji. Lalu ia melanjutkan, “Para penguasa
dan pemuka (politik, sosial, ekonomi, militer) yang zalim cenderung
sewenang-wenang memanfaatkan kata-kata untuk kepentingan sendiri.” Sepertinya ia mau membalas, dikarena kata-katanya kalah ampuh dengan para politikus, sosiolog, ekonom dan
militer. Dengan berpribadi penyair, memakai cara-cara girang merombak “Kun Fayakun” bahkan merasa dirinya lebih hebat, sebab Tuhan saja manggut manut tinta hitamnya, Naudubillah!
Pada paragraf yang sama menuangkan, “Itu sering mudah dilakukan, karena di samping mereka
memiliki kekuasaan dan kekuatan riil,” Saya jadi heran, masak
minder? Ternyata merombak lafaz-Nya menjadikan merasa bersalah, dan kemampuan
berdalih merontoknya pula, “juga karena
kata-kata sebagai penanda sering sewenang-wenang.” Tidakkah ini
membalikkan fakta, Sutardji sewenang-wenang terhadap firman-Nya, mengganggap
orang lain seenak udelnya? Tapi pemerintah mencium baunya, sewaktu Presiden SBY memberinya penghargaan Bintang Budaya Parama
Dharma. Ini terbalik namun yang diingini, sebab kalah dibandingkan para politikus, apalagi negarawan.
***
Di rujuk pada bonggol kefatalan di muka dan simak penurutannya, “Akibat tekanan
kezaliman kata yang sebenar kata,” SCB sepertinya sangat menyadari “Kun Fayakun” yang pas menurutnya “Jadi maka jadilah!” yang
sampai berani melanjutkan “Kata yang
benar, tergusur tidak muncul dalam permukaan luas masyarakat.” Yang
menurutnya paling tepat kata Jadi, ada, wujud, kata benda, cetakan, dan bukan ‘jadilah,’ tidak ‘wujudlah.’ Maka dirombak olehnya, alih-alih mengembalikan ke bentuk asalnya yang dianggap
terkena penggusuran (kezaliman versinya), seolah mensucikan lewat
mengembalikan, senada “Jadi adalah
Jadi itu sendiri.” Kata ‘Jadilah’ atau “Kun” dipandangnya, “Ia tampil dalam mimpi, jerit, gurau dan gelak igau yang
tersembunyi dari para dhuafa.” Padahal ajaran Islam Rahmatan Lil’alamin, semua umat boleh memeluknya dari seluruh
lelapisan masyarakat di dunia, tidak membedakan kelas sosial, kulit, bangsa dll. Tidak harus membeli karcis seperti menonton sulap di bangku yang berkalas-kelas!
Sutardji teringat tulisannya yang
lain, digaritlah, “Dalam
bait-bait puisi, kata-kata yang sebenarnya mendapatkan tempat pelarian
(asylum).” Ignas pun menunjuk pada paragraf awalnya tentang, “puisi adalah alibi kata-kata.” Saya harap pembaca teringat “Puisi Konkrit” yang diungkapkannya, dan… “Bukan sekadar untuk
disimpan atau dilestarikan, tetapi...” ...“Sutardji
Calzoum Bachri menampilkan sebuah kanvas yang digantungi sekilo daging segar.
Darah daging itu dibiarkan mengucur di atas kanvas. Ada tulisan grafis berbunyi
“Luka ha ha.” Abdul Hadi WM
menampilkan kertas poster dengan gambaran silhuet seekor sapi dan
pengendaranya. Wujud silhoutte pengendara sapi ditulisi grafis: “k sapi p/ jak sapi per/ ajak sapi pera/ jak sapi per/ ak
sapi p/ sapi perah/ sapi perah sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi
perah/ sajak sapi perah/ ...” dan
seterusnya. Silhuet sapi ditempeli guntingan berita surat kabar, guntingan “kepada berita” (head line),
foto-foto. Ada misalnya guntingan kepada berita yang berbunyi, “Ancaman Komunis Pada ASEAN Semakin Deras,” “Jepang Ingin
ASEAN untuk Bisa...” (teks aslinya
dicoret dan diberi tanda panah ke arah kepada berita lain yang berbunyi “Terharu Memandang Wajah-wajah Lapar.” (Dami N.
Toda, “Hamba-hamba Kebudayaan,” halaman 105).
Pelarian (asylum), siluman atau alibi sudah terbongkar di bagian awal. Sejauh-jauhnya
berlari membawa kekeliruan yang memengslekan
lafaz-Nya dipastikan ketahuan, karena keshahihan Al-Qur’an terjaga serta terpelihara sepanjang masa (jaman).
Simak ayat di bawah ini yang saya ambil
dari Kitab Jalalain: “(Sesungguhnya
Kami-lah) lafaz Nahnu mentaukidkan atau mengokohkan makna yang terdapat di
dalam isimnya Inna, atau sebagai Fashl (yang menurunkan Adz Dzikr) Al-Qur’an
(dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya) dari penggantian, perubahan,
penambahan dan pengurangan.” [Surat Al-Hijr (15):9]. Mereka yang cerdik berseberangan pun menghindari pemalsuan,
kebanyakan dipilih menafsirkan sejenis serampangan. Sebab akan mudah ketahuan merombak lafaznya, atas terpelihara
kesuciannya, pula selalu terawat oleh para penghafiz Al-Qur’an. Mungkinkah sikap SCB sama persis dengan Abdullah ibn
Sa’id, mantan juru tulis Kanjeng Nabi saw?
“lewat puisi ia akan bisa memberikan penyegaran, pencerahan, dan
perpanjangan kreatif dari pemaknaan manusia dan kehidupan.” Seperti daging segar yang darahnya dibiarkan mengucur di kanvas, lalu setelah pameran dikonsumsi tentu mencerahkan pandangan, perpanjang proses kreatif menjaga
tubuh kemanusiaan di dalam kehidupannya. Atau pembaca tidak perlu kaget para kritikus Indonesia kebanyakan latah,
mungkin istilah ‘latah’ berasal dari salah satu dewa (Lata), yang kepalanya dipenggal oleh Nabi Ibrahim
as. Latah mengkritisi dengan angin analisa musiman, jika musim puisi konkrit, maka konkritlah gayanya, kalau musim puisi
sufistik, sufistiklah dedahannya, dan mungkin juga karyanya bersimpan nilai-nilai universal; ini hebat, tetapi dalam naungan mitologi Susastra Indonesia!
IV
Sebelum jauh menjalar saya beri garis tebal Sartre, “Manusia dikutuk untuk Bebas” dan merujuk kepada sejarawan perempuan asal kelahiran Wildmoor, Worcestershire, Inggris, Karen Armstrong yang berkata:
Dalam sebuah ayat yang luar biasa dalam al-Qur’an, Tuhan menawarkan kebebasan kepada seluruh
makhluk-Nya, namun mereka menolak. Hanya manusia yang memiliki keberanian untuk
menerima:
“Sesungguhnya,
Kami telah mengemukakan amanat pada langit, bumi, dan gunung, maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya, manusia itu amat zalim dan
bodoh.” [Surat (33)
al-Ahzab: 72].
“Akan tetapi,
Tuhan tidak membiarkan manusia tanpa bimbingan. Dia mengutus banyak nabi kepada
setiap komunitas di bumi sehingga mereka mengetahui apa yang Dia maksudkan bagi
mereka. Namun semenjak Adam, nabi pertama, manusia menolak untuk mendengarkan
wahyu-wahyu tentang kehendak Tuhan tersebut .” (Halaman 286 - 287).
Menukik lebih dalam, selepas melihat
paragraf-paragraf SCB. Lalu menengok ayat-ayat ini:
(Katakanlah: “Sesungguhnya
jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini) dalam hal kefasihan dan ketinggian
paramasastranya (niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan
dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”) saling bantu-membantu. Ayat ini diturunkan sebagai
sanggahan terhadap perkataan mereka, sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya
(QS 8 al Anfal, 31): Kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang
seperti ini (al-Qur’an). [Qs. al-Isra’ (17): 88]
“(Dan Kami
tidak mengajarkan kepadanya) yakni kepada Nabi saw (tentang syair) ayat ini
diturunkan sebagai sanggahan terhadap perkataan orang-orang kafir, karena
mereka telah mengatakan, bahwa sesungguhnya al-Qur’an yang didatangkan olehnya adalah syair (dan bersyair
itu tidak layak) tidak mudah, ada yang menyebut tidak pantas (baginya). (Al-Qur’an itu tiada lain) apa yang diturunkan kepadanya, tiada
lain (hanyalah pelajaran) nasehat -peringatan- (dan Kitab yang memberi
penerangan) yang menjelaskan tentang hukum-hukum dan lain-lainnya.” [Qs. Ya’sin [36]: 69).
***
Setahu saya pada karya penyair
Muhammad Iqbal maupun sebelum dan sesudah
Beliau, tidaklah saya temukan himbauan yang senada paragraf SCB untuk mencari inti “Kun Fayakun” di dalam
memanjati pengetahuan mengenai puisi atau syair dari al-Kitab-Nya, yang serasa dekat dengan kedua ayat tersebut. Namun para ulama’ menggali
nilai-nilai terkandung di dalamnya yang Insya
Allah tiada niat sekecil pun untuk “mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” dari kata “Kun.” Nada-nada syair dan karya para beliau, menebarkan syiar sedari ayat-ayat-Nya, dan bukannya
meringkus yang
dijelmakan ke dalam syair. Lebih kacau mempereteli alunan lafaz-Nya, demi kepentingan ‘mitos puisi mantra’ yang dibelanya?
Jadi tidak perlu abang-abang lambe, “Meski tahu
walau hurufnya habislah sudah alifbatanya takkan sampai pada kebenaran mutlak.” Padahal
perihal itu dekat dengan keterlenaan.
Mari perhatikan Surat Ath thu’r dan Qa’f berikut ini (saya rujuk ke Kitab Tafsir Jalalain) atas urutannya Ibn Taimiyah dalam
tulisan Beliau yang bertitel “Tangga
Pencapaian.”
“(Apakah mereka
diciptakan tanpa sesuatu pun) tanpa ada yang menciptakannya (ataukah mereka
yang menciptakan) diri mereka sendiri. Dan tidak masuk akal ada makhluk tanpa
penciptanya, dan tiada sesuatu yang Ma’dum yakni yang asalnya tiada, dapat
menciptakan. Maka makhluk itu pasti ada yang menciptakannya, yaitu Allah yang
Mahaesa. Mereka tetap tidak mau mengesakan-Nya dan tidak mau beriman kepada rasul
dan kitab-Nya.” [QS. Ath Thu’r (52): 35].
“(Maka apakah
Kami letih dengan penciptaan yang pertama?) maksudnya, Kami tidak merasa letih
/ lelah dengan penciptaan yang pertama itu, demikian pula Kami tidak merasa
letih untuk mengembalikan mereka. (Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu)
yakni berada dalam keragu-raguan / kebingungan (tentang penciptaan yang baru)
yaitu membangkitkan mereka menjadi hidup kembali pada hari berbangkit nanti.” [Qs. Qa’f (50): 15].
***
Untuk mendaki lengkungan
dinding-dinding yang terpancang juga sebagai kupasan paragraf muakhir Muhammad Iqbal yang
telah tertancapkan. Diri yang penuh dosa dekat kebodohan ini, akan berikhtiar menggapainya melalui Surat Ath Thu’r (Bukit Thu’rsina, 52): 29-31:
“(Maka tetaplah
memberi peringatan) tetaplah kamu memberi peringatan kepada orang-orang musyrik
dan jangan sekali-kali kamu mundur dalam hal ini hanya karena mereka
mengatakanmu sebagai seorang penenung lagi gila (dan kamu disebabkan nikmat
Rabbmu bukanlah) karena limpahan nikmat-Nya kepadamu (seorang tukang tenung)
menjadi Khabar dari Ma’ (dan bukan
pula seorang gila) lafaz ayat ini diatha’fkan kepada
lafaz Ka’hinin.”
“(Bahkan) lebih
dari itu (mereka mengatakan:) “Dia (adalah
seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”) malapetaka menimpanya lalu ia binasa sebagaimana nasib
yang dialami oleh para penyair lainnya.”
“(Katakanlah: “Tunggulah) oleh kalian kebinasaanku (maka sesungguhnya
aku pun termasuk orang yang menunggu pula bersama kalian”) menunggu kebinasaan kalian; akhirnya mereka disiksa
oleh Allah melalui pedang dalam perang Badar. Makna Tarabbush adalah menunggu.”
***
Dalam batas-batas tertentu saya kerap
berdoa kala menulis semacam kritik ini: “Ya Allah, jikalau tulisanku menimbulkan fitnah,
hentikanlah jemari ini melangkah, tentu Engkau berkuasa apa saja untuk
menghentikannya. Namun jikalau ada hikmahnya, atau Engkau
menghendaki menunjukkan ke jalan lurus, maka
mudahkanlah untuk menelusurinya.” Dan ini tidak
tersangka seperti saat menulis “Babad Nuca
Nepa,” menggali masa prasejarah bertemu bebayang masa depan, serta kini seolah tidak terhindarkan berjumpa ayat-ayat suci sejalur yang harus dilewati. Hanya kemurahan-Nya melalui para
pendahulu, saya berikhtiar menulis beberapa hal yang meski pun para beliau berbeda pendekatannya, al-Kindi, al-Asy’ari, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghozali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah,
Ibn Khaldun, al-Afghani, Muhammad ‘Abduh sampai Muhammad Iqbal misalkan. Olehnya, saya haturkan al-Fatihah sebelum meneruskan langkah ini…
***
Dapatlah ini menggenapi lakon
sebelumnya, kisah Nabi Musa as sebagai melodi luarnya, dan getaran cerita yang dihadapi seelusan uraian masalah yang dikandungnya. Sebelum Musa di Jabbal Thur (Bukit Thu’rsina),
lahir di Mesir dalam tekanan jaman jahiliyyah, bayi-bayi yang terlahir lelaki harus dibunuh atas perintah Raja oleh
bisikan para penujum yang dipercayai Raja Fir’aun, inilah periode
diwajibkannya membunuh bayi laki-laki, lantaran kelak akan menghalangi kewibawaan kekuasaan kerajaannya. Namun
takdir menyelamatkan bayi Musa yang dihanyutkan
ibundanya dalam peti di Sungai Nil, yang alirannya menuju
pemandian istri Fir’aun, sedangkan ibunda Musa menanti-nanti cemas, apa yang akan terjadi?
Bayi mungil Musa mentautkan hati istri
raja, Fir’an sendiri terpesona oleh paras tampan sang bayi. Lalu datanglah sayembara menyusui, para ibu di
Mesir dikumpulkan, tapi tiada dimaui bayi mencecapi puting mereka, hingga tiba
ibunda Musa sendiri mendengar kabar, dengan hati takut anak serta dirinya dibunuh jika ketahuan. Diberanikan langkahnya ke Istana dengan alur indah, Fir’aun tidak curiga dan Musa bisa menyusui
ibunda tercintanya.
Lambat laun beranjak, bocah digendong sang raja menjambak jengget Raja Mesir yang membuat geram, kala menginjak remaja, kerap bersinggungan paham dengan ayah
angkatnya. Suatu hari dikisahkan, Musa melerai dua penduduk yang tengah berselisih pendapat, yang salah tidak mengakuinya, ditempeleng orang itu dan seketika mati. Para penduduk mengetahui tiada yang berani
melapor ke pemerintahan, desas-desus berkembang sampai Fir’an mendengar, maka dikerahkan bala tentaranya untuk
menangkap Musa saat itu.
Dalam pelariannya jauh ke tengah padang gersang, dilihatlah berdesak-desakan manusia demi mengantri air, diamatinya ada dua gadis yang kesulitan dalam kerumunan guna menjemput
giliran, pemuda Musa menawarkan tenaga, sehingga hewan-hewan gembalaan dua gadis itu serta mereka tidak kehausan lama. Pulanglah kedua
gadis tersebut melamporkan kejadiannya kepada orang tuanya,
Syu’aib as memahami yang terjadi,
lantas diperintahkan anak gadisnya menjemput Musa untuk bersinggah di
kediaman mereka.
Musa di tempat pelariannya pada Negeri Madyan, selalu teringat ibunda
serta saudaranya Harun, meski setiap hari melihat paras-paras rupawan anak Syu’aib. Musa muda dipekerjakan
tuan rumahnya untuk
mengembala, dan diberikan tongkat yang biasa dipegang Syu’aib manakala mengembala semasa dulu. Ketekunan, kejujuran di sisi
ketampanan Musa yang membuat mereka
terpikat, Nabi Syu’aib as tidak ragu mengikuti rencana Tuhan, melamar bagi suami dari salah satu anaknya. Musa dibilang kesepian selain
gundah merindukan keluarganya, dan mulai sedikit
terobati.
Maharnya mengembala selama delapan
tahun, karena Musa rajin diketahui Syu’aib kerap menambahkan sesuatu pekerjaan yang baik, maka diperintahkan menambah sendiri jumlah mahar sampai
sepuluh tahun. Waktu berjalan, siang-malam berputar, jatuh tempo diselesaikan indah oleh Musa, Nabi Syu’aib memberi pilihan tetap di Negeri Madyan ataukah kembali,
dan dipilih mengunjungi orang tuanya bersama
istrinya.
Di tengah perjalanan bersama belahan jiwanya kemalaman di kaki bukit, mereka
mengalami kebingungan arah ke kota Mesir. Setelah melewati senja menggenapi gelap malam, bintang-gemintang
berbiak di langit. Waktu yang sulit dipahami
serupa sepertiga malam, dilihatnya di ketinggian bukit ada cahaya berkilauan,
disurunya sang istri tidak beranjak ke mana-mana, Musa ke atas
bukit mendatangi muasal Cahaya.
Melalui jurang terjal bebatuan cadas pada ceruk dalam, ia hampiri pohon zaitun yang rindang di sisi Cahaya yang sedari tadi disaksikan dari kaki bukit Tur’sina. Kelak pohon itu bersebut “Syajar Musa.” Alhamdulillah saat
penulisan ini beriring-iring menyambut hari kelahiran
Nabi saw (12 Rabiul Awal) yang mengalir senada ingatan di masa kecil, dan sebentar lagi merayakan Maulud Nabi di Jawa demi
memuliakan kelahiran Sang Nabi saw.
Istilah Syajar Musa dapat dimaknai
sejarah awal kenabian Musa as, pada dinaya tertentu seperti Nabi Muhammad saw di Gua Hira.’ Dalam al-Qur’an disematkan peristiwa di bukit Sina
dalam Surat Ath Thur, saya kutip ayat 1-4 berikut:
1. (Demi Thur) Thur nama sebuah bukit tempat Allah berfirman secara
langsung kepada Nabi Musa as.
2. (Dan demi Kitab yang ditulis).
3. (Pada lembar yang terbuka) yakni kitab Taurat atau kitab al-Qur’an.
4. (Dan demi Baitul Makmur) yang berada di langit ketiga, atau keenam atau
yang ketujuh, letaknya persis berada di atas Ka’bah; setiap
hari diziarahi oleh tujuh puluh ribu malaikat yang melakukan thawaf dan shalat
di situ, dan mereka tidak kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya.
V
Kalau tidak luput dalam Kitab Ta’lim Muta’alim karangan
Syekh Burhanuddin Az Zarnuji, terujar bahwa seorang ahli ilmu tidak akan bosan menyimak keilmuan meski diulang-ulang, sebab dalam bacaan yang
serupa selalu menemukan penyingkapan yang bertambah. Dan saya berharap ini pun terjadi
pada kekisah Nabi Musa as
di atas. Ibn ‘Arabi dalam Kitabnya Fusus al-Hikam memaknai ruh Musa sebagai kumpulan dari ruh-ruh bayi yang terbunuh di masanya:
“Musa ialah suatu
peleburan setiap kehidupan yang diambilkan manfaatnya, dan segala sesuatu
disiapkan untuk setiap anak menurut penerimaan spiritualnya, lalu, diletakkan pada
Musa. Bagi Musa, ini suatu anugerah Ilahi khusus yang tidak diberikan pada
seorang pun sebelum beliau.” Dalam tulisan saya yang lain menyebutkan, anak yang selamat dari bencana akan menyelamatkan bangsanya. Walau Allah
swt membentangkan alur Musa sangat elok, tidak lepas hukum alam
(sunnatullah), dalam bahasanya Muhammad Iqbal: “Pengetahuan manusia ialah konseptual, dan dengan
bersenjatakan pengetahuan konseptual inilah manusia berkenalan dengan aspek
Kebenaran yang bisa diselidiki. Yang perlu sekali dicatat adalah al-Qur’an menekankan semuanya terletak pada aspek Kebenaran yang
harus diselidiki.”
***
Tindakan ibunda yang memasukkan bayinya
ke
dalam peti merupakan kasih sayang paling ganjil
demi menyelamatnya
nyawa Musa, meski segaris firasat penyelamatan itu ada dalam keyakinannya, seperti keputusan Nabi Muhammad saw pergi berhaji dari
Madinah ke Makah, yang menghasilkan Perjanjian Hudaibiyah, yang membuat para sahabat nabi mengalami
keraguan, tidak terkecuali Umar bin
Khattab. Mungkin bagi sebagian peneliti, perihal itu bukan didasari wahyu atau
Sang Nabi bertindak bersandarkan rabahan kemanusiaannya, dan Allah swt
mengabulkannya yakni berhaji di tahun depannya, sisi lain sikap Umar dianggap cerdas, tapi dalam Kitab Suci menyingkapnya sebagai kemenangan, yaitu sesuai jalannya sejarah. Situasional yang tertekan kerap mendatangkan keputusan yang menghawatirkan, dan dengan satu langkah
terbuka pintu lain, pilihan yang mengurangi sekecilnya
kefatalan, jalan yang diperhitungkan
tetap diamati, jeli diselidik di
balik peristiwa yang tengah
berjalin, sebab berjalannya hayat laksana timbangan.
Peti pembawa bayi Musa. Ada riwayat yang
menyebutkan saat melaju di atas air melawan arus dan mengelurkan sinar menuju ke Istana Mesir, di waktu pembantaian bayi-bayi laki-laki terus dilakukan. Dalam pertimbangan
jaman yang
masih mempercayai keajaiban, istri Fir’aun terpikat bayi mugil di balik darah kian mengucur atas
perintah suaminya, demikian juga yang dialami Fir’aun terperdaya suasana dan melupakan ucapan penujum. Di suatu makolah disebutkan,
informasi penujum terperoleh dari bisikan jin yang mendengar rencana Tuhan. Namun ini dapat dikembalikan bahwa segenap sesuatu ditentukan oleh-Nya, tidak laksana sulapan, tengok QS. Ath Thu’r (52): 35 di atas. Elusan Ilahi yang sangat manusiawi ialah memasukkan bayi Musa ke dalam lingkungan kerajaan yang sangat ketat laksana nyamuk tidak sanggup menembusnya. Di dalam didikan sepadan para pangeran, Musa yang diberkahi kepandaian
menangkap situasi, terus mempelajari kejadian, apalagi
ibundanya sendiri menceritakannya, makin terkuak merasa beruntung di
antara bayi-bayi semasanya. Kepercayaan diri meningkatkan indranya mencium
peristiwa jadi bertumpuk nilainya, kala menginsyafi keterbatasan sebagai anak
angkat raja.
***
Saya percaya para pembaca dapat mengambil hikmah yang terudar ke dalam permasalahan sastra. Terbentuknya angkatan, pelopor susastra yang dilanggengkan kritikus
pada
berita tulisannya, kerap kesampingkan orang-orang sekitarnya. Periodenya selalu disebut, namanya diperbesar dengan istilah semangat kepahlawanan-kebangsaan, ini mengukuhkan beberapa gelitir nama sekaligus menyingkirkan yang lainnya, lebih fatal dengan usaha mengada atau saat dibenturkan kepada kekisaran sejarah tidaklah sebanding, tengok bagian XI. Penggalian kekaryaannya pun
lebih ke
bentuk pujian yang menumpulkan kekritisan para generasi selanjutnya. Ini seperti yang dialami orang-orang tua yang bayinya diserahkan atau menguburnya sendiri, ide-ide besar yang tidak sepaham ditumpas di meja redaktur
laksana algojo yang membantai
bayi-bayi. Saya jadi teringat peristiwa Perang
Badar atau kekuasaan yang menyimpang mendapat balasan setimpal, kalau tidak membenahi keadaan, semisal kasus
sulapan dangkalnya Sutardji: “Jadi maka (lantas) jadilah!” bersama orang-orang yang menyaksikan dan mengamininya!
Pada volume tertentu, kintir-nya peti pembawa bayi Musa membentuk
takdir lain semasa dirinya dalam
pengejaran tentara dan mendapat tempat bernaung di kediaman
Syuaib. Lalu
ringan tangannya menolong anak-anak gadis yang mengambil air dalam antrian panjang, sejelas keputusan orang tua Musa yang menghanyutkannya di Sungai Nil, itulah irama kehidupan yang diurai setarikan hidup sungguh berharga meski dalam ‘kutukan,’ Adam diturunkan ke Bumi bersama Hawa,
Tuhan menurunkan para nabi sambil memberkati secahaya penerang (paham ini bukan sepakat mengenai dosa turunan,
namun demi kehati-hatian bersikap). Allah swt menundukkan daratan serta lautan
agar manusia mengembangkan fitrohnya, begitulah naik-turunya melodi hayati
dapat dirunut muasalnya, seturut timbangan masa yang ditentukan-Nya,
mukjizat Nabi Musa as mengimbangi keahlian para penyihir Raja Fir’aun, sedangkan mukjizat
al-Qur’an juga sebagai
jawaban jaman di depan.
Dia menganugerahi keistimewaan pada tongkat Musa pun dengan sebab-musabab, tidaklah asal-asalan sebatang kayu ditemukan
di jalanan. Silsilahnya dari Nabi Syuaib as, yang mana tongkatnya setiap
hari untuk menggiring gembalaannya. Para petani pun pengembala dapat disebut berikhtiar dalam hidupnya secara
langsung dari-Nya, yang bergantung turunnya hujan atau sunnatullah, sejenis firman yang tampak bergerak, yang mendorong
perubahan alam ciptaan-Nya. Dan kesabaran
Syuaib mendidik putri-putrinya dengan laku hidup yang halal lewat beternak ialah keuletan
sungguh di gurun pasir yang menuwai
berkah, sehingga
diangkatnya menjadi utusan-Nya juga kepada menantunya, Musa as.
***
Dalam
tahun 1980-an di bencah tanah Jawa pinggiran Pantura, para kyai masih mencari menantu yang ahli di bidang keagamaan, berapa
kitab yang
sudah dihapal, berguru kepada siapa saja, dan ke-tawadhu-an terhadap keilmuan dipetik setiap harinya, yang tidak mementingkan bentuk lahiriah demi kelanjutan syiar yang diyakini. Kekhusyukan tersebut tercermin pada sikap Musa terhadap Nabi Syuaib, orang yang diselamatkan
dari pengejaran tentara Fir’aun serta merasa berhutang budi, maka sebaik-baiknya berserah kepada-Nya. Pada suatu makolah disebutkan, laku istikomah (ajek, tekun, kontinyu) lebih baik dari seribu
karomah. Dan nalar yang hidup, istilah yang kerap dipakai KH Abdul Ghofur, Pengasuh
Pesantren Sunan Drajat, akan senantiasa
berkembang. Ini sejauh manusia memekarkan
kesadaranya di setingkap persoalan yang dihadapi, seperti petani mengolah tanah menuai hasil dengan tidak melupakan
syukur Alhamdulillah.
***
Nabi Syuaib as mewariskan tongkatnya
kepada Musa, pun tidak sekenanya berucap; ini tongkat keren! Tapi hukum-Nya beriringan dengan siklus alam
yang diciptakan-Nya. Musa mungkin tidak menyadari, bahwa tongkat yang setiap harinya digunakannya mengembala, kelak menjadi penentu jalan takdirnya. Saya percaya
Musa tidak picik berpandangan kalaulah tuan rumahnya seorang penyihir, namun bebulir nilai kebeningan dari pancaran pikirannya menaburi
pengertian sehingga
benderang, limpahan karunia hadir atas ketabahan dari dua generasi pengembala, yang berikhtiar langsung
di hadapan-Nya. Kejadian makin jelas di puncak Bukit Sina dikala melihat Cahaya-Nya, versi cerita Tuhan bertanya kepada Musa, “Apa yang kau bawa?” “Tongkat yang biasa saya gunakan
untuk mengembala” jawab Musa. “Lemparkan ke tanah!” Setelah dilempar, tongkat
itu menjelma ular besar sampai Musa ketakutan sangat, lantas Tuhan
menghiburnya dengan memerintahkan ular tersebut untuk dipegangnya, yang kemudian berubah menjadi tongkat seperti semula.
Lalu Nabi Musa as memohon kepada-Nya, agar Harun juga diangkat-Nya sebagai utusan. Dikabulkanlah doanya dan meneruskan perjalanan bersama istri tercintanya ke Mesir menemui ibunda, serta menjumpai Nabi Harun as untuk
memerangi Raja Fir’aun, sedang kekisah berikutnya seperti terdapat di bagian
XVII. Untuk mempersingkat waktu, saya petik Hadits yang berkenaan dengan permasalahan ini, yang kerap kali beriringan mendampingi Surat Asy Syu’ara ayat 225-227, kala para ulama’ mengetengahkan pembahasan syair pun sastra. Hanya saja saya
belum menemukan jalur perawinya, para beliau kebanyakan menyebut langsung dengan Sabda
Rasulullah saw. Dan yang terjumput ini sedari sambutan Sayid Ali Al-Bablawi,
Guru Besar di
Universitas Al-Azhar dalam kitab “Jawahirul Balaghah,” karya Sayid Ahmad Al-Hasyimi, diterjemahkan Drs. M. Zuhri Dipl. TAFL. dan
K. Ahmad Chumaidi Umar, terbitan Darul Ihya’ Indonesia bersama Mutiara Ilmu
Surabaya, Mei 1994. Haditsnya berbunyi: “Sesungguhnya sebagian dari perkataan yang fasih itu ada
sesuatu yang mempesona laksana sihir. Dan sesungguhnya sebagian dari sya’ir itu terdapat hikmah."
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak segan memberikan misal kesabaran Majnun Layla dalam salah satu pegajiannya yang bertitel “Cinta Allah” yang terkumpul dalam kitabnya “Al-Fath al-Rabbani wa al-Fayd
al-Rahmani,” diterjemahkan oleh Kamran As’ad Irsyadi, diterbitkan Pustaka Sufi, 2003. Pun menuturkan ungkapan yang indah seorang penyair, “Ketika nafsu mendorong pada cinta (hawa), Maka ia menjadikan manusia
seperti besi yang dingin.” Kemudian Hassan Hanafi dalam karangannya “Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah” mengamini para cendekia mengenai syair, merupakan amal saleh yang mendorong ketakwaan.
Adalah tidak ada larangan mempelajari syair, bertekun-tekun menciptakan karangan pun tiada anjuran secara khusus bersastra
kecuali sebagai alat menuju ketakwaan, lantaran di sisinya ada arus yang mudah menggelincirkan laksana sihir yang mendorong keterlenaan.
Tantangan besar diberikan Al-Qur’an dalam Surat al-Isra’ (17): 88 teruntuk para penyair yang
bernafsu menyaingi ketinggian-Nya dengan menggapai kehendak menyepadani kesucian al-Kitab, tentu sudah
diwaspadai oleh
para beliau agar tidak terperosok ke jalan tersebut.
Lebih tegas Surat Ya’sin [36]: 69 Allah swt berfirman: “Dan Kami tidak mengajarkan kepadanya tentang syair, dan
bersyair itu tidak layak baginya. Al-Qur’an itu tiada
lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan.” Maka kiranya
perlu sangat berhati-hati mendedahnya, yang jelas para beliau serta Rasulullah saw sendiri tidak memerintahkan langsung. Nabi saw dan para sahabatnya dalam beberapa riwayat, suka dengan alunan syair yang di dalamnya menunjukkan ke jalan
keagungan-Nya, menggambarkan kecantikan ciptaan-Nya pun kerinduan terhadap kota suci Makkah dst.
***
Maka
sungguh disayangkan SCB mengungkapkan perihal ini: “Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, "Jadi maka
jadilah!" Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu
sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan
makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih
kata yang makna hakiki itu sendiri.” dan “Pada mulanya
Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, "Jadi, lantas jadilah!" Itulah
kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah
makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai
pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri.” Alhamdulillah persoalan
tersebut sudah saya udar di bagian XVI, XVII
dan XVIII ini, kiranya uraian saya terdapat kekeliruan, sungguh senang mendapat
teguran, namun alangkah elok jikalau ada kebenaran juga dikumandangkan. Kekeliruan disengaja, setengahnya pun tidak disengaja, semoga menuju ke jalan keselamatan, serupa pertaubatan di masa akhir hayatnya Abdullah ibn Sa’id, yang pernah merubah Firman-Nya, “alimun sami’un” menjadi “alimun hakimun” yang
dikisahkan oleh Karen Armstrong.
***
Sebagai pengelana, saya tidak pantas menuangkan ini, namun terdorong suara-suara
para beliau seakan terpaksa menulis beberapa ayat-ayat dari Kitab Suci untuk
menerangi paham kelewat berani terlampaui nekat yang sampai-sampainya merombak lafaz-Nya. Yang mana tulisan saya kebanyakan dapat
dibilang jarang mencantumkan firman-Nya kecuali terpaksa mendedah tulisan yang
menyebut (terkait) dengannya. Kebanyakan tulisan saya mengutip pandangan para beliau
sebagai rasa hormat, karena tiada keberanian menilai kandungan al-Qur’an secara langsung atau berpedoman dengan langkah sendiri, tapi juga tidak menutup rahmat bahwasannya ini teguran bagi saya
sebagai langkah awal lebih baik. Hanya dengan izin-Nya lelembaran ini
terlaksana dan saya bukan hakim penentu, semuanya saya serahkan kepada pembaca yang memiliki kepahaman lebih. Kini saya tutup dan umpama ada batasan yang belum jelas, Insyaallah di bagian berikutnya mendekat kembali.
6 Pebruari 2012 / 25
Pebruari 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.