Nurel Javissyarqi
(kupasan kedua dari paragraf tiga dan
empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
I
Gugatan untuk Anugerah Sastra Mastera
(Majelis Sastera Asia Tenggara) 2006, dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian
Riau 2000, yang meloloskan pengertian “Kun Fayakun,”
(yang dirombak
oleh Sutardji ke dalam bahasa Indonesia
dengan
membentuk makna; “Jadi, lantas jadilah!, serta Jadi maka jadilah!”).
Awalnya masih
menaruh pikiran positif, di kepala saya
seakan tertera
kata-kata, “pasti pidatonya mbeneh (benar), bukan awut-awutan (ngawur),”
namun nyata tebakan
itu meleset. Pun ingin husnudzon
(berbaik sangka), mungkin tidak tahu sumber aslinya. Namun apakah
mungkin, sastrawan terkenal yang banyak mendapatkan penghargaan, cuntel (dangkal) keilmuannya?
Bagian XVI ini
berkehendak mengupas paragraf tiga dan empat tingkatan kedua esainya Ignas,
dengan sengaja membabarkan kandungan terlebih dulu, sebelum lingkaran luarnya. Secara tidak sengaja menemukan tindak
kefatalan
sangat pada data yang saya telusuri. Terus terang saya
agak canggung
mengudar kesusastraan ke
dalam wilayah
agama, di sisi usia belum genap matang pun keilmuan durung mencukupi dalam mewedarkan. Lantaran ini soal
serius, dan sepertinya belum ada ahli bahasa
yang memperkarakannya,
mungkin
dianggap kesalahan ketik, kewajaran dari kenyentrikannya
atau jangan-jangan
takut keliru jika meluruskannya? Ataukah begitu, “Kun Fayakun” saat dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia, akan
menghilangkah
ruhaniah kata kerjanya, fi’il amar (‘perintah’ pada kata ‘Kun’), sehingga tampaklah sulapan jadinya?
Saya kira
sudah banyak pembaca bukunya Sutardji yang
berjudul Isyarat, pun membeludak
yang mengutipnya,
mungkin juga telah berjubel-jubel buku turunan yang
mengamininya.
Tidakkah hal tersebut merusak nilai-nilai al-Qur’an dalam pemaknaannya, disaat benih-benihnya menyebar ke dataran
subur (kreatif) di Nusantara? Jika hendak mengambil khasana luar, berhasrat mencawuk (menciduk) ujaran tertentu, sepantasnya tidak mengurangi pula tidak melebih-lebihkan, apalagi yang
bersumber dari
agama. Di sini saya singgung
dengan ungkapan; asal tempel, asal njeplak!
Padahal firman
Allah swt mengenai “Kun Fayakun,” telah mengispirasi para ulama’ dan tertera dalam kitab-kitabnya, ada yang
dikhususkan tersendiri
semisal Ibnu ‘Arabi pada kitabnya
yang bertitel “Syajaratul-Kaun.” Dari beliau mewujudkan gugusan ilmu pengetahuan, bukannya alibi kata-kata. Yang sedari huruf ‘kaf’ dan ‘nun’ atas kata
‘Kun,’ merambahi dataran firman-firman-Nya,
pula hadits-hadits pada tingkatan perciptaan awal, Isra’ Mi’raj di atas jagad alit serta besar, juga di luarnya dalam lingkup kekuasaan-Nya. Saya tidak sanggup membayangkan, kata ‘Kun’
diganti lain dengan ‘sambil
lalu’ merangkaikannya!
Jika Majelis Sastra Asia Tenggara 2006 serta Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau
2000, menghargai ayat-ayat al-Qur’an sebagai Kitab Suci. Sepertinya
teks-teks pidato tersebut wajib direvisi, yakni mengenai “Kun Fayakun” [‘Kun (wujudlah), maka ia pun jadi
(wujud), terjemahan “Syajaratul-Kaun” Ibnu ‘Arabi, penerbit Risalah Gusti,
Surabaya 2001: “Syajaratul-Kaun dan Hikayat Iblis” (Mesir: Mushthafa al Babi al
Halabi wa Auladuh, 1360/1941)] (makna ‘wujud’ atau ‘jadi’ di belakang, sebagai pemberhentian
bacaan). “Kun Fayakun” [“Jadilah, maka jadilah ia,” di ujung Surat Yaasiin ayat 82, dan
pada penghujung
Surat An-Nahl ayat 40, dari terjemahan “Kitab tafsir Jalalain” karya Imam Jalaluddin Al Mahalli, dan Imam Jalaluddin As Suyuti, yang
diterbitkan Sinar
Baru Algensindo, Bandung]. Bukannya “Jadi, lantas jadilah!” atau “Jadi maka jadilah!” Inikah kesengajaan SCB demi menopang
pahamnya?
Mari simak
paragraf-paragrafnya: “Pada mulanya
Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, "Jadi, lantas jadilah!" Itulah kata
paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna
adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai
pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri” (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri, Pada Upacara Penyerahan Anugerah
Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, “Isyarat” halaman 20).
“Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, "Jadi maka jadilah!"
Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi
adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna
menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata
yang makna hakiki itu sendiri” (“Bukan” Sutardji Calzoum Bachri, Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian
Riau 2000, “Bentara” Kompas 11 Januari 2003, “Isyarat” halaman 22).
***
“Jadilah, maka jadilah ia” atau ‘Kun (wujudlah), maka ia pun jadi
(wujud; pemberhenti dalam bacaannya) adalah kalimat sempurna, hukum ketentuan.
Sedangkan “Jadi, lantas jadilah!” atau “Jadi maka jadilah!” Ialah bukan jumlah mufidah (tidak kalimat sempurna); cabangnya kering tidak berbuah, mentah merontok sebab batang pohon kejadian
dihentakkan oleh tangan dengan
memaksakan
diri membebaskan, setelah kata ‘jadi.’ Mencerabut akar, kematian, bebijian kering,
lebih tepatnya membusuk!
Presiden
sungguhan RI misalkan SBY punya sekretaris, mungkin
SCB yang melantik dirinya sendiri sebagai presiden penyair, punya sekretaris
juga. Benarkah ini kesalahan fatal bawahannya? Karena “Jadi, lantas jadilah!,”
dan “Jadi maka
jadilah!” Masihlah gelap, jadilah apa? Toh sebelumnya
sudah ‘jadi’? Kalau dalam permainan sulap bolehlah, sebab barang yang
dimunculkan
sudah ‘ada’ sebelumnya! Bandingkan dengan kalam
mufidah (kalimat sempurna) dalam al-Qur’an: “Jadilah, maka jadilah ia,” sederhana lagi, “Jadilah, maka jadilah.” Di sini, jadilah apa? Yang terjadi,
‘keterangan kata kerja’ se-durung-nya
(sebelumnya).
Kenapa SCB ngotot
menyematkan
kata ‘jadi,’ bukannya ‘jadilah,’ ini sengaja memegang ujung
kata-kata yang selanjutnya berbunyi “kata adalah benda,” “Jadi adalah Jadi itu sendiri”? Seperti
juga pada
ungkapannya yang terkenal, karena didukung sebagian kritikus
dan kalangan
penyair, bahwa “Pada mulanya adalah Kata. Dan kata
pertama adalah mantera.” Padahal mantra itu
suatu ritual, tidak
patung atau mematung, pula bukan ‘puisi kongkrit’ yang pernah dipamerkannya!
Tuhan Allah
swt berfirman mengenai “Kun Fayakun,” tidak dengan kata lain,
dan setahu saya (pada
awalnya) terdapat
pada dua surat dalam al-Qur’an, berikut lantunan ayatnya. Yang dalam
kurung terjemahannya, yang di luar tafsirannya dari Kitab tafsir Jalalain:
(Sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya) artinya, Kami berkehendak
untuk mengadakannya. Lafaz Qauluna
adalah Mubtada, sedangkan khobar-nya (Kami hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah,” maka jadilah ia) artinya, maka
sesuatu yang dikehendaki-Nya itu ada seketika.
Menurut qiraat lafaz Fayakuunu dibaca
Nashab, sehingga menjadi Fayakuuna, karena di’athafkan kepada lafaz Naqula. Ayat ini
menunjukkan makna menetapkan kekuasaan Allah di dalam membangkitkan mahkluk. [Surat ke 16 An-Nahl (lebah) ayat 40,
termasuk surat Makkiyyah. 128 ayatnya, kecuali 3 ayat terakhir Madaniyyah yang
turun sesudah surat Al-Kahfi].
(Sesungguhnya
perkara-Nya) keadaan-Nya (apabila Dia menghendaki
sesuatu) yakni berkehendak menciptakan sesuatu (hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah,” maka terjadilah ia) berujudlah
sesuatu itu. Menurut qiraat yang lain
lafaz Fayakunu dibaca Fayakuna, karena di’athafkan kepada lafaz Yakula. [Surat ke 38 Yaasiin ayat 82, termasuk
surat Makkiyyah. 83 ayatnya, kecuali ayat 45 Madaniyyah yang turun sesudah
Surat Jin].
***
Ibnu ‘Arabi dalam mengawali kitabnya “Syajaratul-Kaun,” memilih ayat yang terdapat di Surat
An-Nahl, mungkin setindak kehati-hatian demi ‘mengurangi’ bentuk penguat pada hadits maudhu’ menurut sebagian ulama.’ Seperti berikut artinya, “Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedangkan hatinya Al-Qur’an
ialah Surat Yaasiin. Barang siapa membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca
Al-Qur’an sebanyak sepuluh kali.” [HR. At-Tirmidziy di dalam As-Sunan (4/46), Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)].
Dapat pula
pilihan itu, lantaran lantunannya berkelok
serta tidak menohok seharum kembang
yang menyengat
aromanya. Atau didasari atas jiwa kesastrawiannya, yang napasannya lebih
mudah dimengerti oleh semua kalangan. Lantas timbul
pertanyaan; apakah ‘tanda seru’ pada kata-kata SCB; “Jadi, lantas jadilah!,” “Jadi maka jadilah!,” sudah mampu menggantikan kata ‘kerja awal’ pada kata ‘jadi,’ sebagaimana ‘jadilah’?
***
Ini sepertinya bukan soal salah ketik, pun bukan ketidaktahuan para kritikus.
Itu sungguh disesalkan, kenapa para ahli kritik tidak memperotesnya, sedangkan mereka mengantongi keilmuannya, namun
malah
melapangkannya di beberapa tempat. Jika saya tidak meluruskan kasus Asy-Syura yang
diselewengkan tafsirannya (baca
buku: Menggugat Tanggungjawab
Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri), kayaknya akan
lempeng juga. Kini
marilah
tengok Kitab
Suci al-Qur’an di hadapan SCB, dikutip dari esainya A. Rahim Abdullah “Sutardji Calzoum Bachri: Penjatidirian
Dalam Proses Pembangunan Negara Bangsa.”
“Sebagai penyair yang jujur dapat kita tangkap sikapnya
pada sajak “Enso!” walaupun Sutardji dianggap semacam sangsi dengan peranan
kita suci (al-Qur’an).
Di Qur’an kini hanya aljabar
Beratus persamaan-persamaan tersamar.
...
Aku tak mengurusnya lagi
Jemu. Cahaya sebentar datang,
Lalu hilang kembali.
Sebenarnya dia bukanlah sangsi terhadap kesucian
al-Qur’an, tetapi disebabkan ayat-ayat dalam kitab itu juga tidak lebih
daripada menyuarakan Tuhan secara samar-samar belaka (Nyoman Tusthi Eddy,
1980:4). Bagi penyair ini, kitab suci belum tentu mampu menjadi jaminan bagi
hasrat manusia yang ingin menemui Tuhannya. Dengan sikapnya ini mungkin
Sutardji dituduh murtad. Namun, esensi hubungan antar makhluk dengan Khaliknya
tidak selamanya berlangsung dalam kitab suci. Setiap orang (sebagai makhluk)
bebas mencari hubungan dengan Khaliknya. Dilihat dari aspek nilai spiritual,
hubungan di luar kitab suci tidak berbeda dengan hubungan yang dijalin dengan
kitab suci. Sebaliknya, hubungan yang bersifat bebas dan pribadi mungkin dapat
menumbuhkan kenikmatan spiritual yang lebih besar (ibid). (halaman 224 - 225, buku “Raja Mantra Presiden Penyair,” terbitan Yayasan Panggung Melayu,
Juli 2007).”
***
Lagi-lagi saya
suka kaum sastrawan pun kritikusnya, sebab mereka
lihai dalam
bercakap-cakap; bagaimana SCB menghadapi firman “Kun Fayakun,” dirombak ke dalam bahasa Indonesia
yang membentuk
makna “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” Di bawah ini saya urai
sedikit dengan
harapan kelak ada sikap kehati-hatian dalam mengartikan ayat-ayat Kitab Suci al-Qur'an, dari segi alat baca (nahwu shorof), dan tak
ada sedetik atau
tidak sedikit pun maksud saya untuk mendangkalkan kesuciannya.
Kata ‘jadi’ sebelum kata-kata ‘lantas jadilah!,’ apalagi tanpa tanda koma, lalu ‘maka jadilah!,’ merupakan fi’il madhi, artinya pekerjaan yang sudah terjadi, dan tulisannya tidak sebagaimana ‘Kun,’ tetapi ‘kana.’ Bayangkan jika kelak ada yang lebih
ugal-ugalan dari SCB, merombaknya ke fi’il mudhore’ (pekerjaan yang
baru terjadi)
seperti ‘Yakuuna,’ makin rancu jadinya. Apalagi
dipolitisir yang membentuk fi’il nahi, yang bersuara ‘La Yakuna’ (menunjukkan larangan), maka kacau kan? Padahal dalam kitab tafsir, pun kitab-kitab para ulama’ yang membahas ‘Kun,’ tidak hanya menuliskan ‘Kun’ semata, tetapi sering dibarengi tanda petik saat
memasuki terjemahan Indonesia. ‘Kun’ adalah kata perintah, ‘Jadilah.’ Bukan ‘jadi’ yang merujuk pada
kata benda!
***
Bandingkan
kata ‘jadi’ dengan ‘puisi kongkrit’ yang saya singgung. Kalau SCB
memperhatikan ‘teguran samar
atau dukungan
samar’ dari Dami, sedikit-banyak kemungkinan akan
membenahi
pandangannya, berhati-hati sebelum bukunya ‘Isyarat’
diterbitkan.
Dami mengatakan: “Sutardji pun kelihatan menghindari definisi itu, kecuali menerangkan soal
proses kreatifnya,” paragraf sebelum kalimat di atas, isinya hampir sama pada awal esai Sutardji yang
bertitel
“Sekitar Puisi Kongkrit:”
“Kembali pada pokok yang disinggung pada awal pembicaraan ini, lalu apakah
definisi "Puisi Kongkret" mereka itu? Seperti halnya penegasan Ikra
Negara dalam sebuah koran ibu kota ketika itu, bahwa Definisi tidak perlu!
Dengan kata lain, "definisi" karya-karya itu adalah sebagai
"penampilan" yang begitu itulah. Tetapi mungkin tidak salah agaknya,
kalau kita pun mendengar apa penegasan Sutardji Calzoum Bachri dalam pengantar
pameran tersebut. Kata dia "salah satu elemen yang menyebabkan timbulkan
puisi kongkrit ialah ide untuk membikin kata atau bunyi menjadi berwujud dan
kehadiran kata yang tidak begitu saja menerima kehadirannya dalam gramatika, di
samping huruf sebagai gambar dari kata yang diusahakan tidak bersifat netral
untuk mengantarkan kata-kata.” (‘Menonton dan Mendengar Puisi Kongkrit,’ dalam buku “Hamba-hamba kebudayaan” Dami N.
Toda, terbitan Sinar Harapan 1984).
Paragraf kedua
dari akhir esainya SCB: “Bagi saya
mantera adalah puisi kongkret paling berakar dan orisinal yang kita miliki.
Konstelasi kata-kata atau bunyi dari mantra menimbulkan bentuk yang unik yang hanya
berfungsi dalam keutuhan konstelasinya sendiri dan bisa diharapkan menimbulkan
komunikasi atau efek tertentu. Situasi (tempat) di mana mantera itu diletakkan
(tertulis) atau diucapkan banyak menentukan sampai atau tidaknya komunikasi
atau efek yang diharapkan. Mantera adalah puisi terpakai (applied poetry) yang
pada masa kini peranannya antara lain diambil alih oleh puisi kongkret dalam
periklanan.” (‘Isyarat’ halaman 110).
Jelas, kata ‘jadi’ yang diingini tumbuh dari kata ‘Kun,’ itu kesengajaan luar biasa nekat demi
‘menumbuhkan kenikmatan spiritual yang lebih besar’ (A. Rahim Abdullah), yang dipatenken
seturut melanggengkan gagasannya: “Jadi adalah
Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri.
Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu
sendiri” atau “Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah
ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi.” (petikan
paragraf pada dua pidatonya SCB).
Kenyataannya ngawur, merombak ‘kata perintah’ menjelma ‘kata benda,’ lebih serampangan tanpa perhitungan
matang! Mungkin
mending para
orientalis yang licin sekali pun. SCB tidak sekadar menyelewengkan tafsir, juga
dengan gagah merombak susunan Kitab Suci al-Qur’an demi kenikmatan berdalih di
atas nama
sastrawan! Pembikin ‘suara palsu’ yang menyesatkan pembaca yang
tidak kritis
mengamini karyanya, seolah dari kitab agamanya! Pada kesempatan ini, saya teringat ungkapan penyair sekaligus
ulama’ Mustofa Bisri, yang mengistilahkan ‘bolo’ kepada sesama Muslim. Karena ini saya
anggap masalah serius, olehnya diketengahkan di sini!
***
Lebih
menyedihkan ‘pesulap kata-kata’ Sutardji Calzoum Bachri yang dikenal sebagai
Raja Mantra,
Presiden Penyair Indonesia, perombak sekaligus penghancur pesona “Kun,
Fayakun”
yang diturunkan
rendah, dihapus maknanya sekelas permainan kata-kata: “Jadi, lantas jadilah!,”
“Jadi maka
jadilah!” Kenyataannya, SCB terpukau pesulap kelas dunia David
Copperfield, yang tampan dan kaya, dibandingkan
aura agung firman Allah swt. Simak di paragraf lain esainya A. Rahim
Abdullah, halaman 132-233:
“Sajak-sajak terbaru Sutardji sudah berubah bentuk tipografinya, ia
seolah-olah kembali pada bentuk puisi konvensional. Ini terlihat pada
"David Copperfield, Realities '90", "Tanah Airmata", dan
"Jembatan" (Horison, XXXII. Juni 1998:28-29), bagaimanapun sajak
kedua dan ketiga dihasilkan sejak 1993-97. Dalam "David Copperfield,
Realities '90" Sutardji melahirkan rasa kagumnya setelah menonton
pementasan "Illusion '90" oleh tokoh silap mata itu di Jakarta,
antara lain seruannya.
aku dipukau David Copperfield
aku dicekam Haudini
aku terkagumkan sama pesulap kakap.
aku terperangah melihat pesulap
ngubah derita jadi gedung gemerlap
aku tercengang menyaksikan
luka jadi waduk raksasa.
aku heran nonton pesulap
mampu mengkristalkan air mata kita
jadi etalase indah
di berbagai plaza.
aku kagum pesulap
yang bikin rimba
jadi emas
membuat hutan
jadi-pasir.
Allah
inilah tardji
terperangah takjub
heran daif
terasing tumpul dan takut
di negeri sulapan.”
Namun setidaknya SCB sudah
berbahagia,
sebab telah berhasil menyulap “Kun, Fayakun” menjelma makna “Jadi, lantas jadilah!,” “Jadi maka jadilah!” di muka dunia kesusastraan Indonesia, atas kritikus yang
silap, di
depan para penyair pengagum akrobatik kata-kata!
***
II
Secara umum
terketahui, bahwa Kitab
Suci al-Qur’an ialah firman Allah swt yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad saw, yang lafaznya hingga kini masih
menjadi bacaan
pedoman bagi kaum Muslimin sejagad. Sejak wahyu-Nya
turun ke bumi hingga akhir zaman mendatang, tetaplah mempertahankan bentuk keasliannya,
yakni lafaznya
tidak mengalami perubahan tambahan ataupun pengurangan, walau sehuruf pun.
Sebenarnya kurang diperkenankan tindakan
mensitir
ayat-ayat Kitab Suci al-Qur’an dengan hanya menyebutkan arti dan maksudnya saja,
tanpa menunjukkan lafaz aslinya. Tetapi rujukan ini
saya kemukakan, setidaknya menjadi pegangan untuk ditelusuri ulang
dan dibenahi kalau terdapat kesalahan. Juga
sebagai tindak kehati-hatian, guna menghindari kekeliruan fatal dalam
penulisan, sewaktu perubahan layoutnya di percetakan.
***
Lalu apakah
MASTERA dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau
dapat menjamin ungkapan SCB; “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” bukan berasal firman Allah swt
yakni “Kun Fayakun”? Bagaimana jika nanti dipakai para pengutip di Indonesia yang
kebanyakan
latah tidak mencari sumber rujukannya? Sebab telah
begitu percaya
pada ketokohan seseorang, misalkan: Menurut SCB, “Jadi, lantas jadilah!” Seperti yang pernah saya jumpai di
salah satu buku yang mengambil kata-kata Sutardji, tetapi tidak menautkan akarnya. Andai persoalan ini dilepaskan dari agama, saya pikir lebih terhormat
pelukis Van Gogh yang memotong telinganya sendiri
atau tidak pengambil ayat-ayat kitab suci,
apalagi lantas dipenggal seenaknya! Agak ganjil memang, mencari legitimasi kepenyairan
dalam kitab suci. Namun alangkah fatalnya, ketika al-Kitab tidak sesuai dengan
pandangannya, kemudian dirombak semaunya.
Kalau Sutardji menulis “kun faya kun” seperti pada esainya “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair,” agaklah aman daripada kedua pidatonya
tersebut (tetapi sangat berlawanan juga
dengan larik-larik berikutnya, yang ngawur
itu menjadi kacau-balau). Dan jika dirinya memang berwawasan luas yang bisa dipertanggungjawabkan,
tentu teksnya diperlebar semisal ceramahnya Mochtar Lubis, tanggal 6 April 1977 dalam bukunya “Manusia Indonesia.” Kita kerap memaklumi kesalahan para
senior,
membetulkan tempat duduk kita untuk disesuikan dengan
mereka, sehingga terlupa kursi yang
sebenarnya!
Tidakkah ini racun mematikan kreativitas pula membebalkan kefitrian kalbu-pikir dari
Allah swt? Nalar
menjadi tumpul, otak membeku mengamini,
karena menganggap lumrah semua kehilafannya? Yang
sampai membuang
susunan firman-Nya, demi segelintir manusia-manusia fana?
Ini bukan
masalah kajian modern, postmodernisme, hipermodernisme, sampai
mungkin transformer-post-hipermodern.
Tetapi rujukan-rujukan tersebut tentunya tidak berbeda, tidak berubah daripada kemunculan
awalnya. Kalau hendak menciduk kekayaan lain, seyogyanya memakmurkan lewat
bacaan yang berkisar di antaranya, bukan asal njeplak serupa sulapan mak’ bedunduk! Coba misalkan ungkapan filsuf René Descartes (1596
- 1650), “Cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir maka aku ada” lantas dirombak menjadi
“aku pikir maka
aku ada.” Tentu seluruh dunia akan
terpingkal-pingkal
menertawakan anda sambil berkata-kata; “orang Indonesia sok cerdas ya!”
Perihal tersebut tidak sama derajadnya, tetapi sama
sepantasnya tetap
menghargai
suara keasliannya. Pun dirunut ke dunia filsafat, adanya kata benda, sifat dan
seterusnya kerap saling membuai, tetapi suara asli tetap sebagai kunci
keluar-masuknya suatu gagasan! Jika kunci duplikat lurus atau tidak merusak lubang keasliannya, paling mentok
dianggap
pembobol! Celakanya, kunci duplikat itu merusak dan
tidak bisa
dipakai lagi. Maka pintu akan mengalami kejadian yang
menyesatkan
banyak orang, para pengunjung berjumpa jalan buntu! Kemudian, di mana letak kearifan khasana kesusastraan, melihat yang
demikian serampangan
tampak
tertera?
Padahal sebuah
teks pidato kebudayaan, teks pidato
penghargaan
sastra pun pidato kepala pasar sekalipun tetap
ditimbang, dihitung dengan pengucapnya secara matang. Serupa
catatan-catatan kesaksian, pandangan ideologinya,
sikap berpendiriannya dari pergolakan proses kreatif. Entah
itu dongengan perebutan wilayah pasar tradisional, peta kesusastraan dirambahnya, yang seruannya dihajatkan untuk
gemilang, agar
kelak tidak ada pemberontakan. Maka dipilih kata-kata
yang kokoh
berwibawa sebagai penanda capaian yang dilarungnya! Teksnya bisa diambil
pedoman, rujukan asli, setidaknya keseluruhan laku terpancang pada ungkapannya.
Senyawa dengan teks yang
sudah membulatkan
tekad membaja di keseluruhan jiwa-raga seperti janji suci
setia, sumpah yang
ditanggung di
atas kepenuhan
hidupnya. Saya teringat Sumpah Palapa yang diserukan dengan lantang oleh
Gajah Mada, pada pengangkatannya sebagai Patih
Amangkubhumi Majapahit, 1258 Saka atau1336 Masehi. Yang menelan tumbal
seketika itu juga pada jiwa-jiwa tanggung yang
mengejek tidak
mempercayai maklumatnya!
Andaikan kaum kritikus
pun para
sastrawan pula MASTERA, mau menerima dengan hati
jujur terhadap
teguran nyata dari Sang Maha Realitas, atas kesembronoan yang disengajakan pada ketiga teks pidato SCB: 1. “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair”
mengenai Asy-Syu’ara,
2. “Sambutan Upacara Penyerahan Anugerah
Sastra Mastera,” dan ke 3. “Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian
Riau” pada kasus Kun Fayakun, Insya Allah hikmah dari musibah tersebut akan
terbuka lebar
jalannya. Di
sana terdapat gumpalan materi padat kegagalan diri
SCB sebagai
sastrawan, yang gagap meramukan konsepnya menjadi utuh,
lantas
mencari-cari kepurnaan lewat ayat-ayat dari kitab suci yang disunat susunan
beserta maknanya! Hebatnya lagi, ketiganya lolos
sebagai pidato bergengsi, lalu dimuat di Koran Nasional, kemudian dibukukan,
sampai kaum kritikus, para sastrawan yang biasa menulis di koran, sudah merasa
puas sebagaimana tidak pernah saya temukan sanggahan dari mereka, mengenai
tulisan-tulisan keblinger tersebut.
Bolehlah di kelas-kelas
SCB mengatakan bahwa kata ‘jadi’ di awal kata-katanya tersebut
menunjukkan ‘kata kerja perintah’ meski bukan! Semisal
lewat tekanan
nada tertentu, kata ‘jadi’ di dalam lingkaran ataupun pada
perkumpulan
para penjudi dadu. Atau kata-kata ‘sim sala bim’ dalam dunia pesulap yang membuatnya
terpukau pingsan, tercekam melotot, terkagum hingga
terbirit-birit,
terperangah mendelik, dan tercengang geleng kepala sampai heran
se-puyeng-nya bintang toedjoe, umpamanya! Namun jangan samakan
firman Allah swt yang agung mengenai “Kun Fayakun” di ruang-ruang kelas itu! Kalau memang
sastrawan jempolan, tentunya dapat paham membedakan teks-teks dunia gelap di sebelah yang bercahaya.
***
Sebelum memasuki kilauan cahaya kekaryaan Ibnu ‘Arabi. Mungkin ada baiknya saya
turunkan ungkapan dari dua teman, satunya kawan
semasa di bangku Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Munib
Junaidi, yang sama penuturannya dengan saudara
Muflih Khoiri. Mereka berdua tidak bertitel Prof maupun Dr, jadi anda tidak perlu sungkan kalau ingin mendampratnya. Kata ‘Kun’ yang pertama menunjukkan azali, tidak
ada kata depan
‘jaman’ di muka kata ‘azali,’sebab belum menunjukkan masa,
sedangkan kata ‘Kun’ yang kedua, merupakan peristiwa di alam dunia.
Lalu saya rujuk pada Hadits Qudsi
nomor 55, dalam
kitabnya
Muhammad Tajuddin Bin Almanawi Alhaddadi, dialih-bahasakan oleh H. Salim Bahreisy, terbitan Bina Ilmu
halaman 38, tahunnya tidak tertera, sebagaimana berikut; Al-Umamah r.a.
berkata: Nabi saw bersabda: “Allah ta’ala berfirman: Akulah ‘Allah’ tiada Tuhan melainkan Aku. Aku telah menciptakan dan menakdirkan
kejahatan, maka celakalah orang yang telah Ku-takdirkan kejahatan baginya dan
melaksanakannya.” (R. Albaihaqi). Yakni, yang ‘telah menciptakan dan menakdirkan kejahatan’ dapat dimasukkan dalam ruang azali, dan‘maka celakalah orang yang telah Ku-takdirkan kejahatan baginya’ ialah
bentuk
tarik-menarik antara tentara setan dan bala tentara malaikat di panggung
dunia.
Sedangkan kata-kata ‘dan melaksanakannya.’ merupakan wujud kemenangan ataupun kekalahan di atas takdir tersebut. Wallahu’alam Bishowab.
***
Setelah melewati gerhana bulan total kedua di
tahun ini,
pertama 16 Juni 2011 dan kemarin 10 Desember 2011, sesuai
perkiraan Hakim L. Malasan, atau baca bagian XIV: Babad Nuca Nepa (Flores). Lalu malam senin wage kini 16 Muharrom
1433 /16 Suro 1945, pelahan saya ingin memetik khasananya “Syajaratul-Kaun,” buah ilmu manfaat sedari Penghimpun
Agama (Muhyiddin), Ibnu al-‘Arabi. Semoga Allah swt meridhoi
hambanya yang hina ini, dalam meneguk hikmahnya.
Asy-Syaikh
al-Akbar Ibnu al-‘Arabi pada kitab yang saya pegang
ini, mengawali
cahaya inspirasinya lewat firman Allah swt: “Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,
akarnya tertancap kuat dan cabangnya (menjulang tinggi) ke langit.” (Q.s. Ibrahim: 24).
Atas keluhuran
itu sepantasnya yang mempercayai tawadhuk berhati-hati dalam penuliskannya, apalagi lewat
terjemahan,
dan tidak
membolak-balikkan ‘kata kerja’ menjadi ‘kata benda’ atau
sebangsanya. Umpama di suatu bangsa yang kerap melihat kritik dianggap sebagai
pujian, maka
dengungan keras wajib disuarakan. Sekiranya yang
luput terlepas
kembali ke jalan keselamatan, dan bukan malah mencari-cari pembenaran melalui dalil akli demi menutupi rasa
malu. Karena
apalah perangai dunia, toh sebentar lagi semuanya binasa.
Beliau (Ibnu ‘Arabi) memuja-muji kebesaran-Nya,
selantunan harum kembang melati suci, pula
semerah mawar yang sedap dipandang oleh
mata terindah, lalu diperdengarkan
ke telinga: “Dia menciptakan segala di alam raya dengan
kata ‘Kun’ (Wujudlah), tiada pernah apa pun wujud kecuali keluar dari hakikat
tersembunyi dari kata ‘Kun,’ sementara tiada sesuatu pun tersembunyi kecuali dari rahasianya yang
selalu terjaga.”
Dan
ditulislah
Surat An-Nahl ayat 40 yang menyebut “Kun Fayakun.” Beliau… “merenungi
alam raya, pembentukannya, memperhatikan yang tersimpan.” Lantas bersaksilah… “keseluruhan
tersebut suatu Pohon, pangkal cahayanya berasal satu benih ‘Kun’ dimana Kaf;
al-Kauniyyah, dikawinkan dengan serbuk benih ‘nahnu khalaqnakum’ Sesungguhnya
Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya (Q.s. al-Qamar: 49). Dari
sini muncul dua dahan berbeda dari satu akar. Akar tersebut al-Iradah
(Kehendak), sedangkan cabangnya al-Qudrah (Kuasa).”
Saya sendiri
merenungi dalam, teringat gagasan Nietzsche pada ‘Kehendak Berkuasa,’ lalu evolusi Darwin yang
mementingkan bentuk
fisikal. Tapi
semuanya lebur serupa keraguan saya yang ludes di ujung tahun 2001, satu jam
sebelum berangkat ke Solo demi pementasan bersama komunitas Lapen 151. Terus
ditempa pemahaman dikala membaca bulir-bulir mutiara Al-Hikam, buah karya Ibn Athaillah. Alhamdulillah, sewaktu itu
saya mengungkapkan; “bila Tuhan masih ada, Ia punya
rencana!” (“Balada di Bukit Pasir Prahara,” 21 September 2000, Parang Tritis, Yogyakarta), telah terjawab sudah.
Kembali kepada petuah Beliau… “‘Kaf’
dari kata ‘Kun,’ memunculkan dua makna. Pertama ‘Kaf’ al-Kamaliyyah
(Kesempurnaan), "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu."
(Q.s. al-Ma’idah:3). Dan
‘Kaf’ al-Kufriyyah (Kekufuran), "Maka di antara mereka ada yang beriman
dan ada (pula) di antara mereka yang kufur." (Q.s. al-Baqoroh: 253).”
“Sementara dari jauhar (esensi) ‘Nun’ dari kata ‘Kun’
muncul ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan) dan ‘Nun’ Ma’rifat (pengetahuan tentang Tuhan). Ketika ditampakkan mereka dari ‘Kun’
ketiadaan pada hukum yang dikehendaki oleh keqadiman, maka Dia memercikkan
sinar pada mereka dari Sinar-Nya. Yang terkena sinar kemudian memandang
gambaran "Pohon Kejadian (Alam)" yang tumbuh dari benih ‘Kun,’ akan
bahagia di dalam rahasia ‘Kaf’-nya sebagai gambaran firman Allah swt.
"Kalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia." (Q.s.
Ali Imron: 110). Dan tampak jelas ‘Nun’-nya pada (Q.s. aZ-Zumar:22).”
“Yang tak terkena sinar, lalu diminta mengungkap makna
dari kata ‘Kun,’ maka akan salah dalam mengejanya dan nista dalam harapannya.
Melihat bentuk ‘Kun,’ mengira ‘Kaf’ Kufriyyah (kekufuran) dengan ‘Nun’ Nakirah
(ketidaktahuan), karena ia termasuk kelompok orang kafir.” Beliau terus berujar… “nasib
(bagian) setiap mahkluk dari kata ‘Kun,’ sesuai yang diketahui dari pengejaan
hurufnya, disaksikan dari rerahasia terkandung di dalamnya. Sabda Rasululloh saw.: "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan makhluk-Nya dalam
kegelapan, kemudian Dia memercikkan kepada mereka dari Sinar-Nya. Barangsiapa
terkena Sinar tersebut akan mendapatkan petunjuk, sementara orang yang luput
dari percikan Sinar tersebut akan sesat dan menyimpang." (Lihat H.r.
at-Tirmidzi, Kitab al- Imron: 2566).”
“Tatkala Adam as. melihat lingkaran wujud, menemukan
segala wujud berkisar di lingkaran kejadian; Satu terdiri api, yang lain tanah
(thin). Adam melihat lingkaran berada dalam rerahasia ‘Kun.’ Bagaimana pun
berputar tetap mengikuti, dimanapun terbang tetaplah (tidak kan lepas, tidak kan berubah). Satu di antara mereka menyaksikan ‘Kaf’ Kamaliyyah (kesempurnaan) dan
‘Nun’ Ma’rifat (pengetahuan tentang Tuhan), yang lain menyaksikan ‘Kaf’ Kufriyyah
(kekufuran) dan ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan). Sehingga kebijakan hukum padanya
akan kembali di titik lingkaran ‘Kun.’ Yang diciptakan (al-mukawwan) tidak
pernah melampaui yang dikehendaki Dzat Yang menciptakan (al-Mukawwin).”
“Apabila anda memperhatikan berbagai macam dahan ‘Pohon
Kejadian’ dan jejenis bebuahnya, akan tahu sumber utamanya berasal dari satu
benih ‘Kun’ yang jauh berbeda. Ketika Adam as. diajari seluruh nama, melihat
misal ‘Kun’ lalu menyaksikan yang dikehendaki Sang Pencipta melalui apa yang
diciptakannya, menyaksikan “Sang Guru” dari ‘Kaf’-nya ‘Kun,’ ‘Kaf’ al-Kanziyyah (Gudang Rahasia) “Aku adalah Gudang simpanan rahasia yang tersembunyi dan tidak dikenal, lalu
Aku lebih suka diketahui.” (al-Hadits). Melihat rahasia pada ‘Nun’ al-Ananiyyah
(Keakuan) "Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku." (Q.s. Thaha:14). Ketika pengejaan itu benar dan harapannya
terealisasi, maka “Sang Guru” mengambilkan suatu intisari dari ‘Kaf’ al-Kanziyyah, suatu ‘Kaf’ al-Takrim
(pemuliaan) "Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam." (Q.s.
al-Isra’: 70) dan ‘Kaf’ al-Kuntuyyah (Keakuan) "Aku akan menjadi Pendengar,
Penglihatan dan Tangan baginya." (al-Hadits).”
“Dari ‘Nun’ al-Ananiyyah (Keakuan), “Sang Guru” mengeluarkan untuk Adam ‘Nun’ an-Nuriyyah (pencahayaan) "Kami
menjadikan sinar untuknya." (Q.s. al-An'am: 122). ‘Nun’ tersebut
bersambung ‘Nun’ Ni’mah, "Dan
jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menjumlahnya dalam
hitungan tertentu." (Q.s. Ibrahim: 34). Sementara iblis -semoga Allah
melaknatnya- selama empat puluh ribu tahun memahami huruf-huruf ‘Kun.’ “Sang Guru” telah memasrahkan segala padanya, menyerahkan segenap upaya, kekuatan pada
kekuatannya sendiri. Maka iblis melihat bentuk ‘Kun,’ menyaksikan ‘Kaf’
Kufriyyah (kekafirannya), lantas sombong, membangkang dan merasa paling besar.
Ia juga menyaksikan ‘Nun,’ ‘Nun’ Nariyah (api asal kejadiannya) "Engkau
menciptakanku dari api." (Q.s. al-A'raf: 12). ‘Kaf’ kekufurannya bersambung
‘Nun’ keapiannya, maka dimasukkan dalam neraka, "Maka mereka
dijungkir-balikkan ke dalam neraka." (Q.s. asy-Syu'ara': 94).”
“Kala Adam melihat perbedaan terjadi pada Pohon ini,
berbagai macam bunga dan bebuahnya, ia berpegang erat dahan, "Sesungguhnya
Aku adalah Allah Tuhan semesta alam." (Q.s. al-Qashash: 30). Lalu Adam
dipanggil, "Makanlah dari berbagai buah tauhid dan teduhlah di bawah
Naungan Yang Mahatunggal." Selain perintah ada larangan, "Janganlah
kalian mendekati pohon ini." (Q.s. al-Baqoroh: 35 dan al-A’raf: 19). Tapi iblis menginginkan Adam sampai ke dahan, "Maka setan
membisikkan pikiran jahat kepada mereka (Adam dan Hawa)." (Q.s. al-A’raf: 20). Mereka memakan buah terlarang, membawanya tergelincir ke tempat-tempat
menggelincirkan, "Dan ‘durhakalah’ Adam kepada Tuhannya dan ‘tersesatlah’." (Q.s. Thaha: 121). Tetapi Adam tetap berpegang teguh dahan
istighfar (Lihat Q.s. al-A’raf: 23).
Akhirnya merunduk dan turun untuknya buah dari Tuhannya: "...Allah
menerima tobatnya." (Q.s. al-Baqoroh: 37).”
***
III
Sebelum berlanjut
menyimak untaian
mutiara Ibnu ‘Arabi. Izinkan saya tulis beberapa paragraf, siapa tahu
menjelma jembatan bagi yang mengatakan kekaryaan
Beliau sulit
dipahami. Menurut sebagian orang, karya-karya ulama’
ada yang berat
dimengerti, sebab para beliau kerap menerapkan perbagai pendekatan,
kaum terpelajar mengistilahkan bertumpuknya metodologi, seperti pada
Syajaratul-Kaun
ini.
Bagi pembaca
berpikiran runut dapat deladapan lantas mengira karya tersebut
gelap. Ringkasan alunan di atas saya
penggal, karena pada letak itu Beliau membuat sambungan halus antara pandangan
sebelumnya, menuju cara penglihatan berbeda yang bisa mengecoh, bila meniti
pembacaan tanpa
dilandasi keheningan.
Yang saya udar
sekadar dinaya tangkap, lain soal pancaran hikmah yang butuh
pengekangan lebih. Memang tidak semua karya para
beliau berat,
ini bukan berarti menganggap ringan; karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani,
Imam al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh atau yang berada pada keilmuan
secara umum, para santri kaum terpelajar tentunya bisa mengendarai. Yang sulit bercampuran
‘filosofis sufistik’ dalam kekaryaan Ibnu Rusyd, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sina, Ibnu Atha’illah, Al-Hallaj, Mulla Shadra, Suhrawardi, dan ini bersifat kecenderugan serta perlunya kebeningan pengetahuan, yang tidak lepas
dari keilmuan lain
seibarat lingkaran.
Saat membaca karya-karyanya namun kurangnya buku-buku pendukung, boleh
diperkirakan
bernapas di ruang gelap. Ini bukanlah spekulasi, tetapi sesimbul terikat kedudukannya, yang kadang berbeda letak di hadapan
mereka. Dan kesuntukan diajukan
atas ingatan kuat pada kekisaran pemikirannya,
serta meraba-pahami wewaktu khusus pula tiada beban selain menuntut
keilmuan,
demi peroleh kesaksian setangguh keinsafan terdalam.
Sebaiknya
santun meski berbeda paham, serupa ke-tawadhu-an
para santri bagi
alat menuju pendekatan. Ber-wudhu sebelum mencecapi keilmuan, yang bulir-bulir airnya mengurangi kantuk meringankan lelah. Saat bersih-bersih, merapikan kitab-kitab pada raknya, atau seluruh gerak penuh nikmat sambil mengingat
pelajaran. Yang mempercayai nalar sepantasnya membeningkan pikiran, guna yang masuk
berkeindahan, dan kemauan keras demi tidak menganggap ringan, meski dalam perihal tertentu patut diseimbangkan.
Karya yang sulit dimengerti biasanya terdapat
beberapa kata kunci untuk memindahkan soal. Ini bisa dicermati atas
karya para
ahli tafsir dikala
mengurai
sesuatu, kadang bukan kata
namun huruf, semisal pada
karya Ibnu ‘Arabi.
Ialah kurang tepat
karyanya dibebani benang metodologi, persisnya wewarna jenjang penyingkapan hijab
dibukakan Sang Pemilik Ilmu. Marilah baca pendapat Masataka Takeshita
terhadap karya Ibnu ‘Arabi:
“Sebagai seorang sufi sejati, dia menulis berdasarkan inspirasi.
Kemudian ide memancar dari penanya, laksana air yang mengalir dari sebuah mata
air. Sistematisasi yang sederhana dari sebuah karya yang sesungguhnya tidak
pantas baginya. Sekali ia tersistematisasi, ia kehilangan dinamikanya dan
menjadi sebuah mistisisme skolastik yang statis.” (terjemahan Moh. Hefni MR, “Manusia
Sempurna, menurut konsep Ibn ‘Arabi,” terbitan Pustaka Pelajar 2005). Dan saya
pikir, seperti Louis Massignon, William C. Chittick,
Karen Armstrong, Sachiko Murata, Annemarie Schimmel, R. A. Nicholson... punya
wewaktu khusus untuk menenangkan diri dalam menghargai
ilmu yang diteguknya, sehingga merambahi dataran
bencah pemikiran di atas kalbu hayatnya.
Atau kaum
filsuf tiada jemu menggali hikmah, kadang sedari perihal
sepeleh
jatuhnya daun. Karena bacaannya meluas diperolehlah percik cahaya referensi yang
saling
bergesek. Pesonanya menguraikan pikiran, kemudian jawaban muncul berbeda dari
sebelumnya. Saya condong menganggap meraka tidak terpengaruh langsung. Nyata
punya jalan sendiri, oleh karena kesungguhan menggali kediriannya serupa para
penyaksi lain.
Kalau terdapat kesamaan ibarat berpapasan di tikungan, tampak tulisannya
mengeduk pribadi keilmuan. Bukan sulapan bacaan,
akrobatik kata atau mencari-cari bentuk di lembar penyesuaian.
***
Yang sulit dihimpit gelombang atau mengawali bacaan
kurang elok dipaksakan, jika dirasa belum tepat masanya,
ini berdekatan dengan
kejiwaan. Maka
seyogyanya memperkirakan reruang-waktu, kesibukan mengelilingi
tidak mengganggu, atau menentukan yang dibaca pada kondisi tersebut. Itu berkaitan irama batiniah pikiran di
atas percepatan,
kelambanan, kepadatan, dan semua dihitung seperti saat naik bus ke suatu kota, membuka buku mana pun apa saja ke depannya. Merasai kehadiran
mereka sewaktu belajar, pula di tempat lain yang
memungkinkan
berdialog dalam pikiran.
Dalam
kekhusukan biasanya sanggup keluar-masuk gelombang di mana saja. Saat mendapati beberapa gelombang, maka
ambillah demi meningkatkan ombak menuju debaran kepada taraf pemahaman. Dan
kesimpulan
ibarat tapak langkah dilanjutkan, sambil tidak lupa menyapa situasi; benda-benda diajak akrab merasai tekstur guratan nasibnya, misalkan kayu terkena hujan kedinginan.
Maka kelembutan
sedikit-banyak membantu mengelus batin memasuki batiniah teks-teks yang
tertera.
Ada pula yang
patut ‘diharuskan’ semasa gelombang jiwa dengan buku yang
terbaca
sesuai, maka sepantasnya dilanjutkan meski dipukuli kantuk diserang demam. Dalam
kondisi tersebut pengetahuan berakar membekas daripada
sekadar ingin tahu sejalan membaca pengantar. Mungkin merasakan cukup kebutuhan hidup dapat meringankan diri dalam pengoreksian bacaan.
Selalu tenang, meski kurang waktu atas percepatan
mewajibkan belajar, serupa keakraban merangsang terus
haus membaca. Dan
gesekannya
menimbulkan kepekaan mendalam, di dalam memudahkan-memahami karya-karya yang
sulit
dimengerti.
***
Sambil menutup
rajutan kata-kata, marilah masuk pelahan ke dalam
karya Beliau kembali. Antara bagian saya penggal dan di
bawah nanti, Ibnu ‘Arabi tidak memberi batasan jelas, yang dapat membuat pembaca
kebingungan, jikalau tidak cermat sekaligus
seksama.
Padahal uraian sebelumnya dengan bagian belakang, terang berbeda. Sederhananya, awal
menyebut dua dahan namun lanjutannya tiga, padahal dalam
satu pokok
masalah. Ini bukanlah menghapus atau
menghilangkan pengertian semula, di antara keduanya punya referensi serta saling menopang
kuat. Pula tidak berjalan pada dua arus, namun sejenis lelipatan
penyingkapan atas jenjang kesaksian.
Dengan jujur
Beliau mengawali benang sambungan lewat memunculkan kata
“hari kesaksian”
dalam paragraf depannya. Ini jalinan lembut sedari kata-kata “berbagai macam dahan”
dikala menerangkan Adam as di muka. Selain “hari kesaksian,” Beliau menaburkan pengertian lembut
di dalamnya
yang saling
memperkokoh demi memasuki penyingkapan berikut. Jika pada filsafat materialisme ilmiah,
bagian pertama seperti inti atom terdiri dari dua jenis nukleon; proton dan netron.
Maka bisa dimengerti selanjutnya ialah
partikel-pertikel
quark yang diawali munculnya tiga dahan. Di bawah ini benang halusnya, meski
sebentuk ringkasan semoga tertangkap bagi pembaca.
Beliau berkata,… “Ketika
dipanggil di hari kesaksian di depan mata para saksi untuk dimintai
kesaksiannya, "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" (Q.s. al-A'raf: 172).
Masing-masing memberi kesaksian dengan kadar ia saksikan dan ia dengar, semua
menjawab, "Benar, tentu Engkau Tuhan kami." Tapi perbedaan terjadi
dari sisi kesaksiannya. Yang menyaksikan ber-Keindahan Dzat-Nya, memberi
kesaksian tiada sesuatu pun yang sama dengan-Nya. Yang menyaksikan-Nya
ber-Keindahan sifat-sifat-Nya, bersaksi tiada Tuhan selain Dia, Yang Raja lagi
Mahasuci. Yang menyaksikan-Nya di atas keindahan pada makhluk-Nya, kesaksiannya
berbeda akibat berbedaan yang mereka saksikan. Sekelompok orang menjadikan-Nya
terbatas, yang lain menganggapnya tiada, lain lagi menjadikan-Nya batu karang
yang keras. "Katakanlah, Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa
yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami." (Q.s. at-Taubah: 51).
Kebijakan hukum ini hanya dapat diketahui rahasianya tersimpan dalam kata
'Kun,' yang akan berputar di titik lingkarannya, tertanam kokoh di pangkal
benihnya.”
“Sebutir benih ini bibit Pohon Kejadian, cikal bakal
buah, dan makna bentuknya, saya (Ibnu ‘Arabi)
berkeinginan menjadikan yang dibentuk suatu misal diwujudkan menjadi gambaran.
Berbagai ucapan (firman), pekerjaan dan kondisi muncul di dalamnya kita jadikan
jalan mencari pengertian. Kemudian saya mencontohkan sebatang Pohon tumbuh dari
sebutir benih 'Kun.' Yang terjadi pada alam ini dari berbagai fenomena baru;
kekurangan, kelebihan, pertumbuhan, yang tak bisa disaksikan (ghaib), yang
dapat disaksikan (syahadah), kufur dan iman, muncul sedari berbagai kegiatan,
pembersihan tingkah laku, atas ucapan indah, kerinduan, perasaan, berbagai
pengetahuan rumit, yang tumbuh oleh kedekatan terhadap Tuhan (al-muqarrabin),
kedudukan orang-orang bertaqwa (al-muttaqin), derajad kejujuran
(asy-shiddiqin), berbisik (munajat) para arif (al-‘arifin), ‘musyahadah’-nya kaum
pecinta Allah (al-muhibbin). Semua itu buah dihasilkan Pohon ini dan mayang
serbuk yang dimunculkan Pohon Kejadian ini.”
***
(Saya ucapkan terimakasih, kepada penerjemah buku terbitan Risalah Gusti, Wasmukan. Meski tidak memberikan
kata pengantar, namun hasil terjemahannya mampu menunjukkan kata-kata penting yang Alhamdulillah dapat saya telusuri).
Beliau Ibnu
‘Arabi menghadirkan istilah “hari kesaksian,” setibanya dibukakan lelembar makna dari Sang
Pemilik Ilmu. Pelahan bergeser, pastinya merasai perubahan besar di dalam
batinnya terangkat
secahaya kepastian. Saya ibaratkan gambaran yang
lalu; pohon
memunculkan dua dahan sedang berada pada kaca cermin, serta diperlihatkan lelukisan sejati yang
berasal dari
kasih sayang
Sang Maha Realitas, sehingga ‘penglihatan’ tersebut
bertumpuk
mematangkan imannya; mengudar lelapisan cahaya pula tidak terkena goncangan keraguan sedari
pancaran awal. Seumpama mengendarai percepatan, mempertebal pengertian mengisi relung-relung jiwa.
Adanya ‘perpindahan’ yang Beliau olah dari penyesuaian
dalam jiwanya atas karya para ulama’ terdahulu,
dan alur yang
tenang
berketetapan nikmat setanggungjawab para kekasih. Raga-batin
yang menempa
dibeningkan air memberkah; kitab-kitab yang
terbaca bercahaya
memberi terang jalan keberadaannya. Seperti memperoleh kebugaran yang
menggetarkan sedari mengawali karangannya, dan keringat dingin dengan
keharuman bertuah atas perangai firman-firman-Nya, lalu
teringatlah masa-masa kembara di tanah kelahirannya
Andalusia,
menuju Sevilla, Córdoba, Maroko, Mekkah, Romawi, Mesir, Syria, Aljazair, Baghdad,
Mosul hingga Asia Kecil. Bersamaan
tarikan bayu yang
bertakbir,
daun-daun bertasbih, iklim yang rukuk
serta burung-burung bersujud, kala melihat rembulan teringat
Rasulullah saw. Semua mewarnai pelajaran kalbu
kediriannya, bersahadat dalam penciuman damai pada tanah yang dipijaknya.
Makna
kata-katanya bersap-sap ditopang rujukan akurat, ingatannya memadat
mewujudkan keyakinan menyelubungi setiap arti yang
diguratnya.
Umpama daun diterbangkan bayu tidak terasa membuat para pembacanya melarut hingga kerap membingungkan.
Pribadinya bukan sebagaimana al-Ghazali yang
menerangkan
lekukan detail
pada tetingkatan penyingkapannya. Barangkali, kelancarannya bertutur menyamai ilmu laduni-nya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yang
tidak ada penyangkalan namun
setatapan khidmat
tertunduk di hadapan kata ‘Kun.’ Sebuah kata kerja besar perintah atau
prosesi agung
yang tidak pantas dibolak-balikkan dinaya
suara serta wujud keasliannya. Nafasnya teratur sedari sejarah panjang
peribadatan yang memaklumatkan denyar mericik tidak terdengar, selain dalam gelombang yang
sama.
Berkali-kali terpancari hikmah surat
pembuka, menggenapi kesilapan dari bisikan lain, dipukul mundur atas kursi keilmuannya.
Hafalannya
pada kitab suci segembelan mushaf
emas memantulkan cahaya, huruf-huruf kecil laksana stambul ajaib yang
terbuka dalam mimpi berkeadaan suci. Komunikasi
yang terjaring tidak cuma dari orang-orang yang
masih hidup,
sebab cinta tidaklah mampu menampung jasad bernyawa.
Dan cinta sucinya kepada para pendahulu, direstui
jalan-jalan tidak tersangka,
ini memudahkan
langkah kasih pemikirannya menguliti bulir-bulir masalah. Raganya memasuki
lautan hikmah, gayuhan jemarinya memberkah melajui sampan hayati.
Gelombang demi ombak diarungi, karang memamah kandungan makna
dirasuki
sesikap pembenahan. Maka diudarlah misal-misal manusia dari rimba belantara ke
padang kejahiliaan, hingga awan-gemawan memayungi setebal hujan
memberi pengertian di ladang kemakmuran jiwa. Melapangkan pilihan yang bukan berasal kemauannya, namun
atas dorongan gaib
yang mengetahui kerahasiaan.
Kesadaran
Beliau menginsyafi gambaran masa lalu diperolehnya
hikmah,
laksana turunnya wahyu kepada para nabi yang tidak langsung ke bentuk hukum. Dan
lukisan di kaca
cermin semakin
jelas, serupa pohon rindang di tengah malam yang
dikelilingi
gemintang. Dedahan, reranting, serta dedaunannya bercahaya sepohon kayu
putih
penghasil minyak, yang di sekitarnya bebatuan memantulkan cahaya purnama.
Kembali Beliau digetarkan oleh perenungan, dirasakan akar-akar Iradah
bertenaga besar menyapa cabang-cabang Qudrah dari sebutir benih ‘Kun’ di genggamannya. Lewat susunan
kalimat yang bercahaya sambung
pada dua paragraf,
terguratlah sayap-sayap sholawat menduduki pengertian berkelembutan,
longgar lagi menjulang kesaksiannya di bawah nilai keyakinan. Olehnya,
mari mengaji
pancaran dari penglihatan yang terlepas dari
lirikan
pandang.
***
Beliau
malanjutkan… “Pertama
kali yang dimunculkan Pohon berasal dari benih 'Kun' ini tiga dahan; satu
mengarah ke kanan (ashhabul-yamin), kedua ke sebelah kiri (ashhabusy-syimal),
sedangkan dahan ketiga lurus menjulang tinggi, mereka para pendahulu memiliki
kedekatan dengan Allah (as-sabiqun al-muqarrabun). Kala dahan kokoh batang
menjulang tinggi, muncul dari ranting-ranting bagian atas dan bawah, suatu alam
bentuk dan alam makna, kulit dan tutup bagian luar yang tampak alam al-Mulk.
Isi terpendam, inti makna-makna tersembunyi itu alam Malakut, sementara air
mengalir melalui jaring-jaring urat nadi penunjang hidup tumbuh serta tingginya
Pohon, memunculkan putik bunga, memekarkannya, mematangkan buahnya adalah alam
Jabarut, yang merupakan rahasia dari kata 'Kun.'”
“Pohon ini dikepung dinding dibatasi oleh bebatas,
gegaris tertentu, batas tersebut arah; atas, bawah, kanan, kiri, depan,
belakang. Yang atas pembatasnya bagian atas, yang bawah batasnya bagian bawah,
sedangkan gegaris pembatasnya ada di dalamnya, dari berbagai orbit serta
bebenda langit, segala hak milik, berbagai ketentuan hukum, jejak para
pendahulu juga para tokoh, maka tujuh lapis langit ibarat daun digunakan
berteduh, gemintang bersinar ibarat bunga di atas ufuk, malam-siang ibarat dua
helai selendang; satunya hitam kelam dikenakan menghalangi pandangan mata, yang
lain putih dikenakan menampakkan diri (tajalli) pada orang-orang sanggup
melihatnya. ‘Arasy rumah menyimpan segala kekayaan juga senjata Pohon ini, darinya
diperoleh berbagai manfaat yang dikendalikan pelayannya; "Dan engkau akan
melihat malaikat-malaikat melingkar berputar di sekeliling ‘Arasy bertasbih sambil memuji Tuhannya." (Qs. az-Zumar: 75).”
“Allah swt mewujudkan ‘Arasy hanya untuk menampakkan Asma’ dan sifat-sifat-Nya.” Beliau mengudar panjang lebar sebelum-sesudah kalimat
itu, lalu berujar; “Dia menciptakan Lauh Mahfuzh dan al-Qalam ibarat Buku Sang Maha Raja,
di dalamnya terdapat berbagai keputusan hukum. Yang dibatalkan, ada pula
ditetapkan, ada yang diwujudkan, ditiadakan, yang keluar dari kebaikan-Nya,
pemberian nikmat, pahala, siksa. Sedangkan Sidratul-Muntaha ibarat batang dahan
dari dedahan, di bawahnya malaikat yang mengabdi-Nya, "Tiada seorang pun
di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan tertentu." (Q.s.
ash-Shaffat: 164). Dan Sang Maha Raja memerintahkan mereka untuk dikirimkan ke
salah satu dari dua gudang penyimpan buah Pohon ini. Gudang itu antara lain
surga dan neraka; buah yang baik di simpan di surga, "Sekali-kali tidak,
sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu (tersimpan) dalam surga ‘Illiyyin." (Q.s. al-Muthaffifin: 18), buah yang jelek dimasukkan ke
neraka, "Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang
durhaka tersimpan dalam neraka Sijjin." (Q.s. al-Muthaffifin: 7).”
Lelembaran yang saya lalui tidak tertuang di sini, sampai filsuf Andalusia terus
berkata; “Orang yang pertama kali berbuat di sekitar
Pohon ini untuk mencapai asal benih ‘Kun’ -ia memeras unsur terbersih, menyarikan, memunculkan buihnya, menyaringnya
hingga murni dari unsur-unsur yang membahayakan itu hilang. Sari sangat murni
ini ditambah Sinar Hidayah-Nya, menerbitkan jauhar-nya, lalu ditenggelamkan
dalam lautan ar-Rahman sehingga keberkahannya merata. Dari proses ini
diciptakan Nur (cahaya) Nabi Muhammad saw, lantas dihiasi sinar alam arwah
seterang mulia. Dijadikan-Nya Nur Muhammad sebagai asal-muasal segala cahaya
-dialah orang pertama tercatat dalam Kitab-Nya, yang terakhir kali muncul,
pemimpin di hari Kebangkitan, pembawa kabar gembira, menemui para manusia bersenang
hati. Ia dititipkan di ‘kebun, damai
menggembirakan.’ Nilai-nilai spiritualnya ditutupi fisiknya, alam Syuhud ditutupi alam
wujudnya. Ia dilahirkan ke alam dunia yang juga karenanya alam ini diwujudkan.”
Beliau terus
men-gudar panjang lebar melalui firman-firman-Nya dan hadits-hadits,
sampai
menerangkan Nur Muhammad yang diciptakan di kening Nabi
Adam as, hingga ke
puncaknya
mengisahkan Isra Mi’raj. Alunan
kisahnya seirama langgam yang telah ditakdirkan kepada Asy-Syaikh al-Akbar tersebut, melewati titian panjang di bawahnya jurang
neraka, pada
jalan lurus munuju surga. Di sana tanggungjawab mengsle ataukah selamat ialah pertarungan iman, serta rayuan
menjerumuskan ke tempat-tempat menggelincirkan.
Baktinya tulus terhadap ilmu, dan tidak menakar sejumput pun
debu duniawi, karena apalah kejayaan fana pastilah lenyap tertelan.
Jika boleh
menarik benang simpul, mungkin Beliau ialah pancaran lain sedari Ibnu Rusyd,
yang agaknya
condong kepada Imam Tirmidzi, seperti dalam penelitiannya Masataka Takeshita pada
bukunya “Ibn ‘Arabi’s Theory of Perfect Man and Its Place
in Islamic History.” Mungkin juga Syajaratul-Kaun ini, waktu
penggarapannya antara penulisan kitabnya yang terkenal, al-Futuhat al-Makkiyyah yang
mulai disusun
di Mekkkah tahun 598 H / 1202 M dan
selesai di
Damaskus pada tahun 629 H / 1231 M. Atau lentikan
ilhamnya sedurung Kitab
Fushush al-Hikam, yang mengetengahkan dahan ketiga nan
menjulang tinggi.
Akhirnya, kalau ada kesalahan mohon ditegur keras, namun tentu dengan sumber lebih meyakinkan!
Dan jikalau ada kebenarannya, kenapa tidak
ditindaklanjuti? Saya pikir, semua berharap hasil-hasil pembacaan dapat bermanfaat, yang tidak ‘saling sikut
memangfaatkan!’
16 Desember
2011/ 28 Desember 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.