Nurel Javissyarqi
(kupasan ketiga dari paragraf awal, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Jika pembaca ingin paragraf awal IK
saya kupas mendekati ampas, bisa dibilang sebelumnya baru separuh kurang. Untuk
mempercepat akan dibelah di tengah atas asas
ketidakmungkinan, barangkali keisengan nekat.
Sebagaimana watak insan yang kerap membenarkan kekeliruannya dengan topangan
meyakinkan pada saksi serta lawan bicara.
***
Saya
keluarkan terlebih dulu yakni gumpalan yang mengendap di dada, agar
kala mengudarnya dalam ketenangan meluas. Setidaknya berkurang sedari tekanan menyesak yang membuat tidak nyaman atau perasaan anda yang kerap meremaja, jikalau aneh dibilang tidak
dewasa.
Kita
sering memandang sinis para pengkritik, meski mereka menempati realitas data yang
terbaca lain dari penglihatan lama. Serupa menikmati karya sastra lalu
menemukan kilauan makna di masa-masa dalam suasana berbeda. Ini lumrah, sekewajaran bangsa kita yang terjajah beratus tahun sebab tidak mampu mengoreksi diri,
tak ingin mengorek borok sesama. Hingga wabah penyakitnya
menjalar sulit disembuhkan kecuali diamputasi, misalkan perihal Timur-Timur
menjadi Republik Demokratik Timor Leste atau kasus-kasus lain yang merugikan
bangsa dan negara.
Menengok
bukunya K’tut Tantri “Revolusi di Nusa Damai” (Gunung Agung 1964), bayangan
insan Indonesia banyaklah pemalas, yang mencari kepuasan atas derita kaum seperjuangannya.
Harta benda penyokong kemerdekaan dibawa kabur
keluar negeri dibuat berfoya-foya. Bencana korup membelah kekuatan pemerintah hingga
ompong tidak berwibawa, seperti tikus-tikus
pasar tidak gentar menatap mata kucing. Ini seperti kutukan dan
keterlambatan sering mencipta spontanitas balasan, meski belum maksimal dapat
dimatangkan, jikalau ingin membentuk lempengan
keampuhan.
Kata ‘kritik,’ saya bayangkan seperti batu yang mencelat
ke jidat. Ialah bukan jatuh dari langit, namun mencoba melawan gravitasi. Tentu seolah tidak mungkin, tapi inilah usaha sebutir batu terbang setelah tergencet. Lencungan
itu pencarian jejak demi mengetahui sejauh mana melengking, yakni perpindahan
dari titik satu ke lainnya, sejalan dengan laluan yang belum tertempuh
sebelumnya; ini penjajakan realitas kesadaran, lewat menebarkan jaring
kemungkinan secara meluas yang tidak membentuk watak
kebekuan menindas.
Pengkritik lebih terhormat dibandingkan penjiplak dari mentalitas pecundang yang disebut-sebut atas semangat mudanya. Sisi lain di negeri ini tumbuh subur para penulis, namun tidak
pernah dianggap keberadaannya. Serupa nama-nama yang diserukan sudah menjadi pahlawan, meski semasa hidupnya
sebagai bandar koruptor yang berfasilitas mewah di penjara dan manipulasi lain yang tak lebih rasa hormat salah tempat.
Sering kritikan dianggap (dimaknai) pujian yang meramaikan, sedangkan
yang tajam
dikiranya dengki. Lalu saya bertanya, sudah
siapkah merdeka?
Mengingat
para pejuang tempo dulu, siang-malam umurnya diuntit malaikat pencabut suka,
tercerai keluarga demi bergabung pasukan gerilya, menjual harta-benda demi
mimpi kemakmuran bangsanya. Sementara kita tidak lagi ditekan waswas membahaya, lupa kucuran keringat bercampur darah.
Malah mengejar mimpi tak berlandaskan realita, gagasan tidak berakar tradisi,
malah menyeleweng berfaham lain dan tidak membumi.
Asal-asalan tidak diperbaharui daya pengalaman, kala
menelusuri anak sungai hayati. Ke-kentir-an itu, malah ditafsirkan lain terlihat mentereng pada tingkatan tertentu yang seolah tak terganggu!
Akhirnya
jurang menganga, yang kelak meminta tumbal besar-besaran,
jika tiada jembatan dialog mengingat, olehnya kesalahan perjuangan dapat disiasati (dikurangi) gelagat kebocorannya, selangkah pelahan
menginsafi temuan bagi kemajuan. Sekecilnya keadaban dibangun di atas kebersamaan mawas seimbangkan cakrawala nalar-kalbu yang membentuk
pijar cahaya untuk menerangi pelosok sejati rasa, seperti kebiasaan berbenah
sebelum melangkah.
***
Kata ‘upaya’ menempati ruang-waktu, letak mendudukkan makna terpenting dalam sebuah kesadaran tersebut atas konsekwensi niatan. Di hadapannya kabut, kadang memunculkan kepastian
berpantul balik membentuk keyakinan. Karena berada di titik awal, meruaplah tenaga besar yang dibayangi hantu kegagalan. Boleh
jadi separuh arti berasal ikhtiar IK dikala membuka tulisan. Sebab yang muncul
pertama, kerap berasal dari kondisi tertentu kejiwaan penulis, dan lukisan yang
membentang sesayap gagasan pribadinya. Atau kata ‘upaya’ itulah peleburan
kreatif yang nanti mematenkan ketentuan bagi sikap pendiriannya berkarya serta
karya itu sendiri.
Yang bisa disebut menyerupai kata ‘upaya’ ialah usaha, ikhtiar, krentekan
niat. Ini sering mengalami penurunan nilai, dikala dihadapkan keimanan. Di balik itu mendapati dorongan
kuat yang seimbang gelombang kesadarannya; titik
stabil menjadi santapan empuk oleh godaan kemandekan. Atau puas sebelum
mengetahui seberapa keringat menakar garam pengalaman. Kebuntuan tercermin keraguan,
waswas tidak berdasar (beralasan) pula tidak memperbaiki dengan pengoreksian
berani!
Ketika jenis kata ‘upaya’ ditempatkan di muka, ia menginginkan
kepastian atau sudah memperkirakan takdir kejatuhannya. Punya sketsa yang bisa
menjerumus pada tindak ketidakobyektifan, oleh
gangguan bayang-bayang. Tetapi nilai ini dapat batal (gagal), ketika IK telah tanak kajiannya,
tentu mendapati arus pergesekan saat melayari arti ruang-waktu yang melingkupi.
Boleh jadi yang tertera, teks mencerminkan patokan, dan pembongkaran saya ingin
tahu sejauh manakah perilaku kata itu dinafaskan, sehingga dapat mengambil yang tersurat menjadi siratan takdir bagi
kaca benggala.
Umpama menilik unsur bunyi dalam
bahasa Indonesia, kata ‘upaya’ memiliki tekanan rendah, karena adanya kata lain yang nadanya sebagaimana kata ‘payah,’ yakni suatu gerak lemah irama lamban atau kepayahan mencapai sia-sia. Kenapa
tidak kata ‘usaha’ atau ‘ikhtiar?’ yang mana kata ‘usaha,’ jikalau mencari padanan bunyi dapat disandingkan dengan kata ‘kuasa,’ dan kata ‘ikhtiar’ peroleh padanan lain di belakannya
seperti ‘tirakat.’ Maka secara ragu pun dapat ditentukan, pilihan IK pada kata ‘upaya’ itu masih melihat gelagat
bangunan SCB, sebab kata ‘upaya’ memiliki pembatas yang tidak menjatuhkan hukum pula tidak menolak tegas!
Pada simpul sementara, IK radak enggan
menengok corak ‘kata’ Sutardji, tidak mau beresiko tuntutan, seperti keengganan para kritikus
membanding SCB dengan para tokoh dunia, tetapi
tidak mensejajarkan karyanya, hanya menggunakan keahliannya menguntai kata-kata
demi berjarak dengan yang ditulis, tentu yang dimaksudkan menggiring pembaca.
Saya kira buku “Raja Mantra Presiden Penyair” dapatlah diteliti ulang yang berpola demikian agar mencapai letak
kesadaran singgung realitas, bukannya menjerumuskan lewat keterpukauan dengan membaca secara dangkal menerima apa adanya.
Selanjutnya kata ‘perjuangan.’ Lengkapnya dengan pemberhentian koma, “Upaya
dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata.” Istilah ‘perjuangan,’ lebih lekat dengan makna pengurbanan, peribadatan, pelaksanaan
sungguh dari kemauan terbesar. Di sana merentang nafas usia budhi pekerti, hal-hal memaknai tertanamnya nyawa di setiap
peristiwa yang dilewati. Kemudian kata-kata ‘Upaya dan perjuangan,’ menempati ruang keragu-raguan bagi pengucapan, seonggok makhluk kewaspadaan yang tidak
mau total menerima, sebanding ungkapan yang dibendakan, disifati lugas namun datar karena diselimuti kata ‘upaya.’ Coba jika kata ‘upaya’ dihapus, langsung dengan kata ‘perjuangan,’ tentu lebih mapan, sebab dalam kata ‘perjuangan’ sejatinya telah menyusup pengertian ‘upaya,’ bentuk lain selangkah membuang
kegusaran demi mula (awal) pernyataan. Di sinilah lemahnya kata ‘upaya,’ dibandingkan kata ganti lain yang senafas kerjanya.
Dari pengalaman belajar, ada beberapa ‘kata’ yang saya anggap makruh, tersebab abstrak perangainya dikala memasuki bentukan puisi.
Contoh kata; upaya, cinta, marah, benci, dst, yang seyogyanya diganti dengan ungkapan yang mampu mewakili dinaya peristiwa di dalam ‘kata’ yang disebutkannya. Memang tulisan IK bukan puisi, namun bisa dipakai dalam kejeliannya merenungkan kata dari timbulnya puisi untuk memahami
kendali pikir perasaan penulisnya. Mungkin ada benarnya, yang proses kreatifnya
dimulai menulis puisi, lebih punya dinaya dialog yang bergairah, dibandingkan
pengalaman menulisnya diawali lewat tulisan cerpen atau artikel terlebih dulu,
misalnya.
Menginjak kata ‘menerobos.’ Tidakkah kemunculan kata mewakili perilaku-peristiwa yang mengelilingi sekitar kejadian pembuatan karya? Saya
bayangkan IK habis menerobos rambu-rambu lalu
lintas, lantas dengan keisengan disetujui sendiri di saat menulis perihal SCB,
mengganti kata ‘bebas’ dari kredonya Sutardji diwakilkan dengan kata ‘terobos,’ nan disempurnai lewat pengulangan
menggiurkan tetapi datar. Saya kira ini kehilafan manusiawi, sebab jarak waktu
dan tempat yang menentukan terjadinya ikatan pun benturan paham; yang berdaya kreatif
menuju pencerah atau sebaliknya?
Maka pengamatan di dalam ketidakmungkinan,
kecelakaan hingga nekat, bisa dibongkar di sini demi pahami getar-getar timbangan membangun nilai ataukah ampas? Bagaimana jika
ungkapan IK biasa atau pada umumnya menginginkan
nilai keseluruhan paragraf? Mungkin, dinaya tangkap yang terjadi dapat dikatakan
pemborosan waktu, tetapi tidakkah merugi dikala hanya menelannya, diletakkan
seperti barang kurang berfungsi sekadar sampiran pikiran penulisnya? Padahal
penelusuran sekecil-kecilnya, mengeruk jiwa pengguratnya yang secara nyata
berdialog dengan jiwa pembaca, demi mencapai dataran diingini oleh kesepakatan
bathin. Ini reruang intim pengarang di bidang masing-masing yang terus
membangun wacana sekaligus bercengkerama dengan kegelisahannya sebagai tongkat
estafet pengetahuan.
Setidaknya mengurangi tragedi lolosnya
penyusup sebelum layak, tetapi karena berpolesan ayu maka terlepas bebas mendapati sambutan luas atau kurang jelinya para redaktur sebagai tumbalnya! Semisal kasus penjiplakan
di bulan lalu oleh ‘cerpenis’ Jawa Timur? Sebab penghianatan proses kreatif dianggap
wajar bagi sebagian ‘sastrawan,’ malah ada memberi dukungan dengan alasan akli serasa kemanusiaan dungu. Olehnya, jangan harap perolah nilai obyektif nan
dinamis dalam dinamika susastra kita, apalagi yang berangkat dari karakter sanjungan.
Di sini tertanam biji pertanyaan, “Dapatkah sejarah
dibangun dengan pujian tanpa pengujian matang?”
25 Juni 2011 / 27 Juni 2015 / 30 Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.