Nurel Javissyarqi
(kupasan keempat dari paragraf awal, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Awal paragraf tersebut masih ingin
diudar, maka kali ini menyoal kata ‘dan’ yang ada di dalamnya.
Dalam percakapan sehari-hari, kita tidak
lepas menggunakan ‘kata penghubung,’ seperti ruang kerjanya
nafas dengan tubuh, sewaktu memakai panca indra sebagai kesaksian, alat
perundang-undangan juga pelaksanaannya. Pun perihal lain yang bergelayut,
semata air anak-anak sungai beserta alirannya, dedaun bergoyangan oleh tiupan
bayu, rasa penasaran yang diberkati misteri. Para pencari ilmu bergandeng
dengan kesuntukannya, kasih sayang disambut kerinduan dalam, lelaki bercampur bersama
perempuan, wewarna saling mematangkan sulaman makna kehidupan.
Cahaya beserta gelap memberi kejelasan, tinggi dan rendah di atas jarak pandang, kecil-besar bertumpu
kehadiran; matahari, bumi berputar di bentangan birunya langit. Kecupan memberi
aroma, semua menyatu bersedekap rasa, laksana bibir pantai dicumbui gelora laut
tiada jemu meremajakan alam. Gerimis hujan dinaungi berkah gravitasi, dan kita menjelma ada dikarena bersama.
Dalam khasana kebahasaan, kata-kata yang
kita miliki sungguhlah elastis, itulah berkah nilai-nilai yang sudah ditanamkan
para leluhur beserta maknanya. Suhu drajadnya memukau bagi berkenan khusyuk
menggali perbendaharaan tersembunyi, yang dipantulkan atas hamparan kecantikan alam Nusantara.
Sampai suatu ketika mencipta citraan
lain
yakni penghubung yang tidak langsung, namun membentuk keunikan rasa pun pada suara dan lainnya. Misalkan kembang ‘Kumis Kucing,’ tanaman ‘Putri Malu,’ atau alunan peribahasa yang secara tidak kentara
membentuk pola bernalar. Kerjanya kata penghubung (sambung) yaitu menentukan
kelas tertentu di suatu bidang kajian yang ditempa. Sejenis rongga antara senar
pada tubuh gitar atau persinggungan, tepatnya pergeseran
dialektika yang menambah tingkatan harmoninya.
***
Guna tidak berlama-lama dan pembaca
suatu saat rela mengangkut harta yang berlimpah
tersebut. Saya turunkan satu kata sambung ‘dan,’ yang tidak menutup kemungkinan
bernilai sebar ke ubun-ubun padanannya, serupa bebutiran jagung di genggaman tangan filsuf Thales, yang ditebarkan ke segenap pulau di penjuru dunia.
Kata ‘dan’ mempunyai kembaran-kembarannya, ialah ‘serta, dengan, tambah, pun, pula,’ di samping wujud lain yang menyerupai, sekuat kemampuan penulis mengola kata-kata demi memakmurkan khasananya
dalam berbahasa. Apalagi di bidang sastra, seyogyanya keahlian
penulis menjadi cerminan guna menambah pamor karyanya yang tidak terikat kuat
aturan tata bahasa. Dan karya susastra dari Persia dapat memberi
contoh sebagai kehadiran karya-karya terbaik yang tidak kaku memakai pedoman membuta,
mungkin di sini kajian filsafat analitik menemui muaranya.
Ada tiga kata ‘dan’ pada paragraf awal esai IK yang
berjudul “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri.” Karena
jarak tulisan saya radak jauh antara kupasan II dan bagian V ini, maka saya
taruh ulang agar tidak berlama-lama membuka lelembar halaman sebelumnya:
“Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata,
menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat
dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara
besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang
lebih otentik melalui puisi.”
Kata ‘dan’ yang pertama bukanlah penghubung yang adil nan seimbang, meski kehendaknya terlihat menyebandingkan,
di sisi adanya indikasi menguatkan. Di antara kata ‘dan’ tersebut (upaya ... perjuangan), tidaklah sepadan nilainya, dapat dibilang
radak njomplang, serupa sekelumit
udaran (uraian) pada laman
sebelumnya.
Andaikan kata ‘upaya’ diganti dengan kata ‘semangat,’ tentu memiliki daya keterkaitan ampuh
saling menopang memakmurkan yang hendak digagas, di sini kembali tercium
keraguan IK pada SCB. Seandainya IK memberi respon sedari sesuatu keraguan
menuju keyakinan, tetaplah dapat disangkal berikutnya bisa
digagalkan. Karna kata ‘semangat’ mencerminkan kata ‘upaya’ yang lebih berlandaskan keyakinan waktu di depannya, yakni perjuangan.
Dalam beberapa hal, memang bahasa pun
kata-kata itu ‘bebas’ dipergunakan demi satu nilai tertentu tafsirannya di bidang masing-masing,
kalau berpatokan dasar standarisasi karya atas bentuknya. Tapi usaha ini
menerobos inti dari partikel terkecil untuk mengetahui sejauh mana kata-kata
sebagai wakil suara terdalam atas sikap, watak penulisnya di dalam menentukan
nilai yang disuguhkan, demi menjawab perihal apa saja kemungkinan dibalik yang terucap, terkatakan (teks).
Pembongkaran ini menempuh ke jalan
hakiki, seakan menyelidiki fungsi ruh pada kerjanya tubuh, seperti yakin adanya
Tuhan Yang Esa, meski tidak pernah bermuwajaha secara nyata, namun melalui
firman serta ciptaan-Nya. Mungkin juga perlu ditandaskan di sini, di pelbagai kesempatan pula; bahwa dikala saya
menggunakan kata ‘bebas’ dengan tanda petik pun tidak, bukan bermakna sebebas asap diterbangkan
angin. Tetapi sebebasnya daun-daun berguguran menuruti hukum yang terkandung di
dalamnya.
Kata ‘semangat’ yang mendadak saya munculkan sebagai pengganti kata ‘upaya’-nya IK, ialah berlainan makna jika menelusuri daya pantul asas kelahiran yang menaunginya.
Hanya tidakkah perbedaan, kecondongan, kecuraman nilai yang berlainan, kadang
membentuk pengertian lebih kukuh atau sebaliknya, tergantung konteks yang digapainya.
Dan pengadaan saya sunggah bisa dipertanggungjawabkan kepada kisaran keseluruhan makna yang dibangun IK, jikalau nyata
respek terhadap SCB.
Kata ‘dan’ kedua sekadar pasal sambungan sedari sebelumnya; kabel telephon, tali rantai besi
pengikat gerbong kereta api satu dengan lainnya. Ia digunakan demi mempermudah
tubuhnya berbelok, ketika dihadapkan jalur rel yang berkelok. Buah tata
cara kelenturan juga penguat di atas kehadiran bersama, yang terangkut dengan
disempurnakan oleh apa saja digembolannya.
Ini memperkokoh lolosnya suatu
anggapan,
(pernyataan). Yang muncul kemudian nafas panjang berikhtiar mengajak pembaca menerima
bayu (angin)
ketinggian di puncak pegunungan bersama realitas hawa
udara dengan membawa
kesadaran yang rendah. Lalu menarik nafasan panjang demi
menggapai penerimaan jernih ataupun penyelaman ke dasar sungai dengan tempo
lama, kemudian memperoleh kesadaran lebih yang tidak terkira. Maka yang terjadi
seolah tidak mungkin tersangkal atau berat rasa menolaknya.
Saya kira alunan berkelak-kelok panjang yang menyusup dengan paras anggun tersebut,
sudah diperhitungkan masak-masak oleh IK. Karenanya jika membaca tanpa adanya
kecurigaan, akan terjeblos ke ruang penjara kemauannya. Lantas dengan kesadaran
rendah dalam diri pembaca, ditanamkanlah rasa mengamini. Ini akan sangat kentara disaat menemui kata ‘dan’ di bagian ketiga. Tentu
saja hal-hal tidak mungkin sekalipun tetap diterima, sebab telah tersirap
alunan nada-nada nan jauh membentang indah dalam kata-kata (kalimat) sedurung-nya (sebelumnya).
Demikian sihir IK saya tangkap dalam
mengurai makna kata ‘dan’ serta kalimat, lewat tataran logika. Umpama ada yang tidak berkenan saya bertingkah
demikian, tapi lebih condong bahwa makna kata atau kalimat itu ditentukan penggunaan
dalam berbahasa seperti fahamnya Ludwig Wittgenstein (1889-1951), maka kian
melenceng lewar (keluar) paragraf awal IK tersebut, kala merujuk pada kredonya SCB.
29 Juni 2011 / 27 Malam 28 Juni 2015 / 31
Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.