Nurel Javissyarqi
(kupasan kelima dari paragraf awal, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Saya bayangkan kelas Dr. Ignas Kleden
berdalih bahwa peleburan, pembelokan, perubahan atau perombakan dari ‘bebas’ ke ‘terobos,’ semacam mengikuti hukum situasional nan ditangkap daya
indrawi. Seirama ungkapan filsuf yang berjiwa keragu-raguan kuat, John Langshaw
Austin (1911-1960). Di sini saya menangkap pelahan demi mencapai temuan yang
bukan sekadar main-main, pula tidak asal-asalan memenuhi
halaman.
Di hadapan saya ada gelas bening
berisikan air, yang saya taruh sebatang pena di dalamnya. Pena itu terlihat
tidak lurus alias mengalami pembengkokan, hampir serupa
sulapan paling sederhana. Atau kita kerap terperdaya oleh hadirnya sorot cahaya
yang menentukan jatuhnya bayang-bayang. Ialah keterbatasan pada kemampuan dinaya
tangkap yang menjadi alasan Austin, “kita
sebetulnya tak pernah mengalami secara langsung benda-benda materi, tetapi kita hanya dapat mencerapnya saja dengan data
indrawi (sense data).”
Memang para filsuf mengalami ribuan
keraguan, bahkan hampir setiap waktu. Di samping keyakinan pada temuannya pun
masih selalu terusik oleh rasa ketidakpurnaan jalan yang ditempuh. Tapi
tidakkah setiap sandaran patut diuji, dan hasratnya mendekapi pengertian hakiki demi sampai pada kemungkinan yang terbaik. Maka sokongan juga jegalan terus
hadir, yang iseng menggurit terlempar sedari sejarah pengetahuan. Tetapi
betapan banyak jaman gelap gulita tersebab sloga-sloga belum dewasa, durung
matang sudah didengungkan keras, yang mendatangkan orang-orang tanggung itu tergiur
mengikuti.
Bagi
penyair yang mengandalkan kemampuan puitik saja, apalagi pura-pura puitis dengan tidak memaksimalkan akar-akaran nalar untuk menghisap sumber mata air hayati ke jantung nafasnya, maka otomatis ruhaniahnya tidak mampu mencahayai karyanya.
Maka dapat dipastikan karya-karyanya jatuh pada bentuk hiburan, menyenangkan
para kritikus yang tidak berani menerima tantangan karena mandek terpuaskan, jikalau dihadapkan pada deretan
buku-buku di perpustakaan dari keringat para penemu, yang siang malam menimbang
musik dalam jiwanya. Dan sang peloporlah yang sewaktu-waktu meloloskan gagasan gemilang dari kematangannya
berpijak, lalu menentukan lelangkah dialog yang tidak terbantah kecuali dengan
pengujian sama, baru ditentukan medium pada gagasan selanjutnya.
***
Teks tanpa kehadiran, hanyalah
imajinasi?
Saya ibaratkan realitas adalah pena
dan air di dalam gelas itu gerak kehidupan. Pena yang terlihat bengkok
sebagaimana teks yang hadir melambung, mengendap pun jatuh tergantung daya penulisnya menyatakan kenyataan, sehingga timbullah
jarak yang membentuk suatu paham yang dipegang Austin. Tapi tidakkah terketahui, sekalipun wujud teks mendiami alam fiksi tetap
berpijak realitas, sekurangnya diciptakan dalam kondisi sadar pula berkeadaan mabuk berlebihan. Lebih lanjut, tidakkah batas sadar dan mabuk masih bertumpu pada hukum yang mempunyai
nilai masing-masing? Nilai tersebutlah yang dapat dikategorikan realitas
mendasar, seperti pengamatan mendalam pada kondisi pena dengan sebenarnya.
Saat IK hendak berjarak dengan SCB
dari kata ‘bebas’ ke ‘terobos,’ pastilah mengalami resiko berlainan,
tidak nyambung, mengsle, sengaja direnggangkan sebagai tafsiran berbeda dari
realitas yang
jauh berbeda pula. Tidakkah ini manipulasi? Padahal teks itu
sendiri seperti cermin yang bentuknya menggelombang seperti air dalam gelas.
Dan dikala dua cermin yang parasnya mengombak saling
berhadapan, tidakkah makin kacau gambaran obyek yang ada di tengahnya, saat
sampai di bidang cermin (teks). Olehnya, bentuk pengkajian IK tidak berlandasan
untuk mencari kebenaran dari kredonya Sutardji, malahan membikin kabur demi meloloskan yang diinginkan IK; sama-sama
lolosnya yang digagas SCB di hadapan para kritikus lain yang memujanya?
Pesona kerap muncul berlebihan,
ketajaman pun ketumpulan lebih juga menghantarkan dinaya pukau. Tapi, bagi yang
selalu mawas berdialog dengan penjajakan kian hari mematang, lewat mencari padanan
lain untuk menguji sejauh mana dinaya pamor yang diteliti hingga tahu derajat sebenarnya; apakah iseng, kecerdikan
atau sudah sampai. Ini jauh dari akal-akalan logis pembenaran pula mencari-cari
kebenaran di dalam menopang yang diunggah, namun selektif. Dan IK memulai (dari
kata ‘bebas’ ke ‘terobos’) dengan sengaja
merombak yang dianggapnya kebablasan. Sekiranya dari sana IK tidak mau terjebak menuruti keinginan
tanpa landasan hakiki, lalu berupaya membentuk tafsiran berbeda, tetapi bagi mereka
yang bermata tidak jeli tersebab silau, seolah sudah tepat sasarannya.
***
Seorang kawan fb Zawawi Se memberikan masukan lewat kata ganti pada bagian
V, tepatnya komentar singkat yang mungkin perlu
direnungkan: “upaya=coba-coba?” (kata
‘upaya’ itu kata di awal paragraf IK). Saya
teringat perolehan bagian IV yang menyebutkan: “...kata ‘upaya’ itu masih melihat gelagat bangunan SCB, sebab kata ‘upaya’ memiliki pembatas yang tidak menjatuhkan hukum pula tidak menolak tegas!” Tidak menjatuhkan hukuman pula tidak menolaknya tegas, semacam itulah Ignas berhadapan SCB. Semakin nyatalah bahwa bangunan esainya setengah hati,
ragu-ragu, jangan-jangan coba-coba; Sutardji coba-coba membikin kredo, IK
coba-coba mengupasnya dengan standar keilmuan yang dimilikinya?
Mungkin wujud coba-coba tersebut terbit
lantaran desakan dari kondisi mentalitas SCB yang banyak kritikan waktu itu, seminimal H.B. Jassin awalnya menolak puisi-puisi Sutardji
dimuat dalam majalah Horison. Dan rupanya lelangkah coba-coba IK sebab menghormati ulang tahun SCB, seperti keterangan di bawahnya: “Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan
yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta 19
Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun.” Maka
mau tidak mau ‘coba-coba’ pula menghargai karya penyairnya. Namun tentu kita
teringat adanya makolah, “Kesalahan berulang-ulang, dikupas terus-menerus,
diiklankan senantiasa, dipastikan menjelma ‘benar’ (membentuk takdir pembenaran tersendiri), sebab didukung
oleh banyak lapisan;” apakah sokongan dari para kritikus sebelum generasi SCB,
seangkatannya, lebih-lebih setelahnya. Oleh karenanya upaya apa saja digarap dengan serius demi kukuhkan label menghormati
perjuangannya, atau istilah sejenisnya.
6 Juli 2011 / 28 Malam 29 Juni 2015 / 2 November 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.